Wednesday, December 31, 2008

Tarif Murah: Cinta Tetap Tumbuh Bersemi

Impian untuk bisa selalu berdekatan dan bercengkerama dengan orang-orang yang disayangi dan dikasihi setiap saat adalah sesuatu yang diimpikan banyak orang. Ketika seseorang sudah mampu mencapai kondisi seperti itu maka dia akan mampu mengalahkan segala kenikmatan dan kemewahan dunia lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika setiap orang dengan berbagai cara akan selalu berusaha untuk mencapai itu. Salah satu contoh, para perantau saban tahun akan dengan suka rela bersusah payah, bermacet-macetan, berdesak-desakkan, mengeluarkan biaya jutaan rupiah, dan melakukan perjalanan jauh hanya untuk sekedar bertemu dengan sanak saudaranya di kampung halaman. Bukan hanya itu saja, karena inginnya bersanding dengan orang-orang yang dikasihi sampai matipun banyak yang ingin dimakamkan di dekat makam kerabat mereka. Begitu luar biasanya kekuatan kasih dan sayang.
Sayang sekali, kenyataan seringkali bertolak belakang dengan impian banyak orang. Pada saat ini kebanyakan orang sulit menemukan yang namanya cinta dan kasih sayang. Manusia sudah terlalu dalam terjebak dalam kondisi-kondisi yang seringkali memaksa mereka untuk memendam bahkan membunuh rasa cinta. Besarnya perbedaan jarak dan waktu menjadi salah satu aktor penyebabnya.
Demikian pula yang dialami Sadiman, seorang petani berumur sekitar 80 tahun, yang hidup di sebuah desa di kabupaten Klaten Jawa Tengah. Bersama seorang istrinya (keduanya) beliau menikmati sisa hidupnya dengan terus bekerja di sawah dan ladang. Banyak orang yang tidak akan menyangka bahwa di balik kesederhanaannya, beliau adalah seorang yang telah mampu menjadikan anak-anaknya menikmati bangku kuliah. Bagaimana tidak, rumahnya tidak lebih baik dari pada kandang ayam (terbuat dari bambu yang sudah berlubang disana sini), kalau musim hujan selalu bocor pada hampir semua ruangan, beberapa tiang penyangganya sudah keropos, kemana-mana menggunakan sepeda butut yang tidak memiliki rem. Berkat kehendak Tuhan dan ketekunannya yang luar biasa sebagai petani tradisional inilah yang akhirnya mampu membawanya mewujudkan cita-cita hidupnya, yaitu tidak ingin melihat anaknya berada dalam dunia kebodohan. Tanpa pamrih beliau melakukan semuanya untuk anak-anaknya.
Hari-harinya yang sudah semakin senja sering membuatnya terkenang dengan masa-masa sulit yang pernah dilalui bersama dengan istri pertamanya (cerai mati) dan anak-anaknya. Dulu, ketika hari Sabtu tiba pikiran beliau sudah tidak karuan karena seluruh anaknya pulang dan berkumpul di depannya untuk meminta jatah biaya untuk kuliah dan makan. Kehadiran anak-anaknya sama juga dengan menebalnya catatan hutangnya. Karena kalau hanya mengandalkan hasil dari bertani untuk membiayai pendidikan seluruh anaknya mustahil bisa dilakukan. Pernah beliau bermaksud berhutang kepada saudaranya namun ditolak mentah-mentah dengan alasan tidak memiliki uang, padahal perhiasan bergelantungan menghiasi leher istri saudaranya.
Air matanya menetes ketika mengenang masa-masa sulit itu. Bukan air mata kesedihan atau penyesalan karena telah menyekolahkan anak-anaknya. Bukan pula air mata keputusasaan karena banyaknya hutang yang harus ditanggungnya. Namun air mata kebanggaan dan keihlasan karena anak-anaknya telah mampu mewujudkan cita-citanya, ”Biarkan aku seorang petani bodoh asalkan anak-anakku menjadi orang pintar”.
Perjuangan dan kesendirian Sadiman tidak pernah berhenti. Setelah semua anaknya berhasil menjadi seorang sarjana mereka semua pergi merantau, manjauh darinya. Lima orang anaknya bekerja di Jakarta dan seorang lagi di kota Yogya. Sebagai orang desa jarak tersebut terlalu jauh baginya. Sering sekali beliau merasa hidup sendiri, apalagi sejak kepergian istri tercintanya, mBok Karti, untuk selama-lamanya. mBok Karti yang belum pernah merasakan kebahagiaan dan belum sempat melihat hasil dari buah kerja kerasnya selama ini.
Ketika datang rasa sepi itu beliau ingin menulis surat, namun beliau tidak bisa membaca menulis. Beliau pun ingin menggunakan fasilitas telepon seperti kebanyakan orang yang kaluarganya merantau, beliaupun tidak mampu membayar biaya telepon yang sangat mahal. Apalagi untuk sambungan langsung jarak jauh (telepon seluler adalah barang mewah waktu itu). Yang bisa dilakukannya hanyalah menitip salam dan pesan kepada tetangganya untuk anak-anaknya di Jakarta.
Alhamdulillah. Kini semua sudah berbeda. Ruang dan waktu bukan lagi menjadi penghalangnya untuk ”menemui” anak-anak dan cucu-cucunya. Pesatnya kemajuan dan semakin murahnya biaya tehnologi komunikasi membuatnya tidak lagi merasa kesepian seperti dulu.
Rasa kangen tiba-tiba menelusuri relung hatinya. Bayangan anak perempuan terkecilnya tiba-tiba hadir, anak perempuan yang sejak umur tiga tahun ditinggal mbok Karti dan selalu menemaninya ke ladang, di wajahnya. Perlahan-lahan tangannya meraih gagang handphone milik anak lelakinya yang baru saja pulang dari Jogja.
”Undangno Wida, Bapak pingin ngomong”, (Teleponkan Wida, Bapak mau bicara dengannya) katanya kepada anak lelakinya. Handphone terasa panas, Sadiman menghentikan pembicaraannya dengan Wida. Anak lelakinya pun mengecek pulsa yang terpakai. ”Hanya beberapa ratus rupiah saja...”, bisiknya lirih.

Wednesday, December 24, 2008

Wanita Tidak Bisu

Berbagai upaya untuk meningkatkan peran wanita di Indonesia, bahkan di dunia, terus dilakukan. Hal ini dilakukan demi mengangkat derajat kaum perempuan. Upaya-upaya tersebut ditempuh karena dilatarbelakangi oleh anggapan akan ketidakberdayaan wanita dan nasib mengenaskan yang dialami wanita di berbagai belahan dunia. Khususnya di Indonesia, para aktifis terhadap perempuan, masih menganggap jika wanita masih dipandang sebagai warga kelas dua. Budaya di berbagai daerah di Indonesia masih dipandang selalu berpihak pada laki-laki.
Ada satu hal kelihatannya belum singkron antara upaya peningkatan peran wanita Indonesia dengan konsep yang digunakan para aktifis. Selama ini para aktifis pembel perempuan di Indonesia sering menggunakan konsep-konsep yang diimpor dari Barat. Padahal pandangan orang-orang Barat yang berbudaya Barat dengan Indonesia yang nota benenya budaya Timur sangat bertolak belakang. Tidak mengherankan jika dalam berbagai upayanya para aktifis sering mendapatkan pertentangan hebat dari masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut seyogyanya para aktifis perempuan di Indonesia menggunakan pendekatan dengan konsep-konsep yang diambil dari budaya Indonesia sendir dalam melaksanakan perjuangannya. Sehingga ada kesesuaian antara konsep dengan obyek yang ditangani.
Selama ini pola perjuangan yang diterapkan para aktifis cenderung frontal. Padahal budaya masyarakat Indonesia pada umumnya adalah cenderung tertutup dan sedikit basa-basi. Tidak mengherankan kalau selama ini para aktifis "pembebas" perempuan tidak hanya mendapatkan hambatan dari kaum pria namun juga dari kalangan kaum Hawa sendiri. Untuk itulah perlu adanya langkah yang tersistematis dan bertahap untuk menggugah semangat para Srikandi Indonesia agar menjadi pahlawan bagi dirinya, keluarganya, Indonesianya, dan tentunya dunianya.
Salah satu jalan yang bisa ditempuh guna menjadikan wanita-wanita Indonesia menjadi pejuang adalah dengan menggunakan budayanya untuk menyelesaikan permasalhannya. Sebagaimana diketahui bahwa pada umumnya wanita di Indoensia memiliki sifat tertutup dan diam, sehingga ada pepatah diam berarti tandanya mau. Kebiasaan seperti inilah yang harus dipecahkan dahulu dari dalam diri wanita Indonesia. Suatu saat nanti ketika telah mampu mengurai benang kusut budaya diam tersebut maka jalan yang lainnya akan terasa sangat mudah.
Budaya diam dapat diartikan berupa rendahnya kualitas dalam berkomunikasi para wanita Indonesia. Sehingga tidak begitu salah seandainya perjuangan untuk memberdayakan perempuan adalah membuat mereka bisa "berbicara". Berbicara kepada dirinya sendiri, kepada keluarganya, temannya, dan berbicara kepada orang lain. Untuk menumbuhkan keberanian berbicara inipun bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena dalam kesehariannya mereka sering terkekang dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Permasalahan hambatan berkomunikasi seperti inilah yang masih belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun para aktifis pembela perempuan.
Misalnya dalam berbagai kasus yang dialami para TKW kita di luar negeri, para PJTKI selaku penyalur tenaga kerja Indonesia sebenarnya telah memberikan pelatihan keterampilan, termasuk keterampilan berkomunikasi, namun sayangnya pelatihan berkomunikasi ini belum menghasilkan sesuatu yang menggembirakan. Pelatihan peningkatan kualitas berkomunikasi oleh para agen tenaga kerja masih diterjemahkan sebagai sebuah pelatihan untuk meningkatkan penguasaan berbahasa asing saja, tidak lebih. Calon-calon TKW hanya diajari beberapa kalimat dasar sebagai bekal berbicara. Bahkan tidak sedikit pula PJTKI yang memberikan pelatihan fiktif saja, mereka mengaku telah mengadakan berbagai macam pelatihan keterampilan kepada calon TKI namun kenyataannya tidak pernah melakukannya. Bahkan disinyalir ada PJTKI yang main mata dengan oknum pemerintah.
Ada satu hal yang belum dilakukan pemerintah dan para penyalur tenaga kerja Indonesia sampai saat ini adalah mereka belum membekali para TKW kita dengan kemampuan berkomunikasi yang baik. Komunikasi yang dimaksudkan disini bukan saja peningkatan kemampuan berbahasa yang lancar namun juga pelatihan public speaking. Masih ada kesalahan persepsi antara pemerintah dengan pihak agen. Mereka beranggapan bahwa meningkatkan kemampuan berkomunikasi hanyalah sebatas meingkatkan kemampuan bertutur bahasa saja. Sehingga bahasa-bahasa yang diajarkan hampir pasti selalu yang berhubungan dengan komunikasi harian antara pembantu dengan majikan, tidak lebih. Tidak mengherankan jika kelancaran menyapa, menjawab, dan memenuhi panggilan majikan adalah menjadi tujuan utama pada pelatihan komunikasi ini.
Sejatinya, tujuan akhir dari proses panjang ini adalah menjadikan wanita Indonesia sebagai duta bangsa. Baik sebagai duta budaya, pariwisata, maupun duta investasi. Keberadaan ribuan tenaga kerja Indoensia di luar negeri merupakan aset yang sangat besar sekali dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bangsa. Kita bisa membayangkan seandainya setiap tenaga kerja diberi titipan untuk mempromosikan Indonesia kepada satu orang majikannya atau seorang kenalannya atau seorang temannya di luar negeri maka kita bisa menghitung berapa banyak informasi yang berhasil di jual ke negara lain. Seandainya setiap tenaga kerja wanita kita dalam sekali kontrak kerja berhasil meyakinkan satu keluarga bahwa Indonesia adalah bangsa yang sopan santun, lembut, kaya akan sumber daya alam, dan memiliki keindahan alam yang memukau tentunya nama Indonesia akan semakin membahana di luar negeri. Tidak mustahil pada beberapa tahun ke depan pertumbuhan investasi dan pariwisata Indonesia akan pesat. Sehingga pada beberapa dekade ke depan tidak akan ada lagi anak bangsa yang bekerja sebagai tenaga kasar di luar negeri.
Demikian pula dengan kekuatan jutaan wanita Indonesia di dalam negeri akan bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Kita bisa mengkalkulasi seandainya seorang wanita di Indonesia mampu membimbing seorang anak dengan baik, mampu mengontrol suaminya untuk tidak berbuat sesat, dan memanaje keluarganya menjadi keluarga yang hangat maka sungguh membahagiakan sekali.
Akhirnya, Idealnya para wanita Indonesia memiliki perannya yang sangat starategis melalui keluarga, media massa, organisasi-oraganisasi sosial politik, sebagai profesional, ilmuwan, maupun berbagai peran strategis lainnya baik di dalam maupun luar negeri. Dalam tulisan ini muncul keoptimisan dalam diri penulis jika para Srikandi kita akan bisa mencapi posisi itu. Penulis membayangkan dua dekade ke depan tidak akan ada lagi Sumiyem yang teraniaya di Malaysia, tidak akan ada lagi Sunarsih yang diperkosa di Cina, tidak akan ada pula Saminah di Arab Saudi yang mengemis meminta pembayaran gajinya. Namun akan muncul Kartini-Kartini baru yang membawa perubahan bagi Indonesia dan dunia.

Syirik kecil

Ketika seseorang yang baru sembuh dari sakit ditanya bagaimana dia bisa sembuh biasanya akan menjawab. "Aku sembuh karena diobati Pak dokter" atau "Aku sembuh karena minum obat anu". Dalam kasus-kasus seperti ini Allah hampir selalu tidak pernah memiliki peran di dalam penyembuhan.
Ibnu Abas ra. mengungkapkan bahwa ucapan-ucapan tersebut membawa konsekuensi yang besar pada kita. Karena secara tidak sadar kita telah terjerumus ke dalam jurang kesyirikan. Pasalnya kita lebih mempercayai kehebatan dokter dan kemanjuran obat daripada kekuasaan Allah.
Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa ada orang yang berkata kepada rasulullah SAW, "Inilah yang dikehendaki Allah dan oleh engkau". Maka Nabi SAW bersabda, Apakah kamu menjadikan diriku sekutu bagi Allah? Katakanlah: "Inilah yang dikehendaki oleh Allah semata". (HR Ibnu Murdawaih, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Rasulullah juga bersabda,"Janganlah seseorang diantara kalian berkata: "Ini yang dikehendaki Allah dan dikehendaki si Fulan". Tetapi hendaklah mengatakan: "Ini yang dikehendaki oleh Allah" kemudian "Ini yang dikehendaki Fulan".
Dokter dan obat hanyalah sarana bagi manusia untuk mencapai kesembuhan. Tiada seorang atau sesuatu makhlukpun yang bisa menyembuhkan rasa sakit. Hanya Allahlah yang Maha menyembuhkan. Dan Dialah satu-satunya dzat yang kuasa untuk menyembuhkan. Banyak kasus terjadi seseorang yang hanya menderita sakit ringan dan sudah minum obat yang sangat bagus dan mahal namun tidak juga memperoleh kesembuhan. Sebaliknya, banyak pula yang menderita sakit teramat parah dan hanya diobati seadanya namun karena kehendak Allah maka kesembuhanpun menghampirinya.
Ketika kita sudah menganggap obat dan dokter adalah penyembuh rasa sakit maka kita telah menjerumuskan diri kepada perbuatan yang termasuk dalam kategori syirik Ashghar. Resikonya, amal yang menyertainya akan dan kita telah berbuat dosa dan wajib taubat.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisa: 48)
Alangkah baiknya juka kita, "Alhamdulillah Allah telah memberikan kesembuhan kepadaku melalui obat ini" atau "Alhamdulillah Allah telah menghilangkan rasa sakitku" supaya bahaya syirik bisa kita tolak.

Membuat Hutan Tersenyum Kembali (Perusakan Hutan Lindung Mandor Kalimantan Barat)

"Jaman reformasi itu semua serba bebas Mas. Dulu waktu presiden Suharto masih berkuasa tidak ada seorangpun yang berani menebang pohon di hutan Lindung Mandor ini. Jangankan menebang, mau masuk buat cari kayu bakar saja harus lapor. Tapi sejak Gus Dur jadi presiden semua bebas. Tiap hari puluhan truk keluar masuk ngambili pohon-pohon besar. Terus ada yang mulai nambang emas. Sekarang semua pada nambang. Tidak ada yang ditakuti lagi. Kami sangat sedih sekali melihat hutan lindung yang menjadi kebanggaan kami hancur musnah, hutan yang sangat bagus, gudangnya anggrek alam, dan merupakan pusatnya anggrek hitam, pandurata ada empat macam, akan tetapi sayang sekali sekarang sudah tidak dapat ditemukan satupun semua sudah rusak dan habis tinggal ranting-ranting ja", kata Pak Samad mantan Penjaga Hutan Lindung Mandor.
Kutipan wawancara di atas hanyalah sedikit dari berbagai keluhan yang sempat terucapkan oleh sebagian masyarakat di sekitar hutan lindung Mandor Kalimantan Barat. Sebelum masa reformasi, keberadaan hutan lindung memang benar-benar mampu menjadi pelindung mereka yang kedua setelah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hutan tersebut menjadi tempat menggantungkan hidup untuk mencari tanaman anggrek dan kayu bakar. Namun keadaanya berubah total, persisnya ketika masa reformasi tiba, seolah-olah semua serba bebas. Hutan Lindung yang selama ini dikeramatkan tiba-tiba seperti tidak bertuan semua orang bebas menjarahnya, dan kinipun yang tersisa hanyalah hamparan pasir putih. Tidak pernah ada yang menyangka bahwa di pasir itu dulu adalah sebuah hutan yang lebat.
Semua mimpi buruk itu bermula dari adanya pendapat dari sebagian masyarakat bahwa di bawah hutan lindung Mandor dijadikan gudang penyimpanan harta karun oleh keluarga Cendana. Kabar tersebut benar-benar terbukti setelah salah seorang penduduk melakukan penggalian tanah di sekitar hutan dia menemukan emas. Tepatnya tanah yang mengandung emas. Diapun meneruskan usaha penggalian, tepatnya penambangan ilegal. Bukan hanya dia saja, masyarakat yang lain pun ramai-rami mengikuti jejaknya. Hutan yang dulunya dianggap keramat mendadak seperti tidak bertaring dan menjadi sasaran massa.
Ada gula ada semut, kabar harta karun di bawah hutan lindung pun tercium masyarakat di luar Mandor, maka hukum alam yang berbicara, aliran migrasi ke Mandor tidak tertahan lagi. Para pendatang tidak hanya datang dari sekitar mandor, namun juga dari luar pulau termasuk dari pulau Jawa dan Cina. Perlahan namun pasti orang-orang dari luar Mandor, yang bermodalkan besar, mulai mendesak masyarakat lokal. Akibatnya bisa ditebak, masyarakat lokal mulai terpinggirkan. Mereka yang tidak memiliki modal untuk melanjutkan penambangan lebih memilih menambang di bekas-bekas lokasi yang pernah ditambang orang lain dengan peralatan yang sangat sederhana, sebagian memutuskan menjadi buruh dari pemodal besar, sebagian menjadi penonton, dan banyak tokoh-tokoh lokal lebih mengambil peran sebagai "petugas" keamanan bagi para penambang. Hingga akhirnya terbentuklah sebuah sistem pengrusakan hutan yang terorgisir. Kuatnya jalinan pengrusakan hutan ini tidak mudah ditembus oleh orang lain, termasuk pemerintah. Karena pemerintahpun mendapatkan "pasokan" dari para cukong. Kisah tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus kerusakan (baca:pengrusakan) hutan di Indonesia. Di luar Mandor masih ada ratusan kasus serupa. Di Indonesia masih ada jutaan hektar hutan yang rusak akibat keserakahan dan ketidakpedulian manusia. Semua pihak harus turun tangan dalam menghadapi bencana ini.
Ada beberapa hal yang bisa ditempuh; Pertama, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang ketat dalam penanganan hutan. Tentunya aturan-aturan yang berpihak pada masyarakat dan hutan, bukannya hukum yang melindungi penguasa, pengusaha, dan pemodal besar. Hukum yang adil bagi semua pihak. Hukum yang bisa membuat hutan tumbuh dengan nyaman.
Kedua, harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan. Misalnya dengan memberdayakan masyarakat agar mereka peduli dengan hutan yang ada di sekitar mereka. Misalnya dengan menjadikan hutan sebagai milik masyarakat adat bukan milik perorangan, penguasa, pengusaha, ataupun pemerintah. Karena selama ini kerusakan hutan banyak disebabkan oleh perubahan status kepemilikan hutan dari hutan ulayat menjadi hutan pemerintah ataupun pribadi. Berbeda ceritanya ketika kepemilikan hutaan masih milik komunal/ adat karena masyarakat adata memiliki kebijakan sendiri dalam menjaga agar hutan tetap lestari. Penyerahan kepemilikan hutan kepada masyarakat adat paling tidak akan mampu mengurangi upaya pengrusakan hutan.
Ketiga, adalah mengembangkan managemen hutan berbasis masyarakat. Dengan sistem ini hutan tidak hanya berdiri sendiri namun ada masyarakat yang menjaganya. Model ini sangat cocog untuk wilayah-wilayah sekitar hutan yang ikatan adatnya tidak terlalu kental seperti di wilayah Jawa dan tidak menutup kemungkinan juga di wilayah yang masih menganut sistem adat yang kuat. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan hutan dengan sistem berlapis. Pada lapisan paling dalam adalah hutan lindung yang berfungsi sebagai penjaga alam. Disusul dengan lapisan berikutnya adalah hutan industri/ hutan rakyat, dan yang terakhir luar adalah hutan tanaman pangan, buah-buahan, dan sebagainya.
Dengan model seperti ini semua pihak akan bisa memeatik manfaat dari keberadaan hutan. Sehingga tujuan utama penyelamatan hutan (hutan lindung) insyaallah akan berjalan dengan baik. Masyarakat setempat akan merasa nyaman karena penghasilan mereka tidak hilang sekaligus juga tidak menglhawatirkan adanya bencana alam yang diakibatkan kerusakn hutan. Pihak pengusaha akan merasa riang karena tetap mampu menjalankan roda perusahaannya dan tidak memecat para karyawan. Pemerintah pun akan senang karena masyarakat sejahtera. Dan akhirnya hutanpun akan semakin bersemangat untuk menghijaukan bumi.

Guru: Pahlawan yang Terlupakan (Perjuangan dari Sekolah Bambu di Desa Terpencil)

Disaat rekan-rekannya sesama guru di perkotaan sibuk berdemo dan memperjuangkan haknya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, sosok ini justru semakin asyik dengan kesendiriannya di sebuah SD yang sangat terpencil, SD Hampang. Sebuah sekolah yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota, fasilitas memadai, apalagi tunjangan yang sepadan. Sumardi, pria berumur 33 tahun ini rela menghabiskan waktunya untuk mengabdikan dirinya demi memberantas kebodohan dan keterbelakangan masyarakat Dayak di desa Hampang Kecamatan Halong Kalimantan Selatan.
Setiap harinya dia harus melakukan perjalanan naik turun gunung untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris kepada anak didiknya. Jalan yang sangat tidak layak harus ditempuhnya setiap hari demi pengabdiannya sebagai guru. Bahkan, kalau sedang musim hujan dia sering harus menginap di salah satu rumah penduduk di balik bukit yang hanya ada satu dua rumah.
Menjadi seorang guru memang menjadi cita-citanya sejak muda. Selepas menyabet gelar sarjana dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sumardi kemudian melanjutkan S2nya di Universitas Negeri Malang Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Setelah itu beliau menjadi dosen di IAIN Barabai Kalsel jurusan Tarbiyah. Pada suatu hari beliau mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan masyarakat Hampang yang anak-anaknya tidak pernah mengenal sekolah. Keprihatinan yang sangat mendalampun mulai merasukinya.
Pendekatan kepada masyarakatpun dilakukannya. Alhamdulillah sedikit demi sedikit masyarakat setempat mulai tumbuh kesadarannya untuk merelakan anak-anak mereka bersekolah. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama beberapa orang anak mulai mau diajak bersekolah.
Selama satu tahun pak Sumardi bersama beberapa orang anak mengadakan sekolah di bawah pohon bambu. Mereka memilih melakukan aktifitas belajar mengajar di salah satu rumpun bambu yang memiliki "ruangan" yang berdiameter kurang lebih 6 meteran. Dengan beratap dan berdindingkan tanaman bambu yang masih hidup Sumardi bersama anak didiknya dengan penuh semangat berbagi ilmu. Merekapun tidak pernah mengeluh meskipun setiap kali hujan harus mengehentikan proses belajarnya. Dan juga menjadi sesuatu yang sangat biasa ketika pak Sumardi dan anak didiknya harus bersama-sama membakar sampah untuk mengusir nyamuk-nyamuk yang tidak jera-jeranya menggigiti mereka. Tidak hanya itu saja pak Sumardipun harus merelakan anak-anaknya tidak masuk sekolah pada saat musim panen tiba. Dimana mereka semua membantu orang tuanya ke ladang.
Seiring perjalanan waktu, tahun 2007 perhatian dari pemerintah daerah mulai tampak. Pemda membangunkan dua lokal gedung sederhana (dari papan) beserta sedikit sarana mengajar berupa meja-kursi dan papan tulis. Meskipun jauh dari mencukupi namun pak Pumardi bersama tiga orang rekannya sudah bersyukur karena anak-anak tidak lagi terganggu oleh hujan dan nyamuk.
"Bagi saya bekerja sama saja. Artinya ketika bekerja kita harus total dan profesional. Kalau bukan saya siapa lagi yang akan memperhatikan mereka. Saya merasa berdosa jika membiarkan mereka dalam kebodohan. Sehingga saya memutuskan untuk keluar dari IAIN dan memilih mengabdi di sini", ungkap pak Sumardi berkaca-kaca.
Keteguhannya untuk selalu menjadi guru di SD terpencil ini tidak tergoyahkan meskipun beliau hanya mendapatkan imbalan 700 ribu setiap bulannya. Dirinyapun tampak sabar meski harus menyadap karet sepulang mengajar seperti kesabarannya ketika menantikan kedatangan donatur yang baik hati yang bersedia untuk membangunkan lokal baru. Agar anak didiknya bisa melanjutkan sekolah sampai kelas enam, tidak hanya sampai kelas tiga saja seperti saat ini. Harapan tersebut selalu tumbuh di hatinya seperti tumbuhnya semangat masyarakat Hampang untuk menyekolahkan anaknya ke SD yang diampunya. Atau seperti terbukanya masyarakat Hampang yang rela membangun bangunan dari bambu dan atap rumbia untuk menampung mereka dalam kelas Kejar Paket A.

Menggugat KTP Miskin

Kekuatan sebuah kartu identitas yang bernama Kartu Tanda Penduduk bagi orang-orang miskin sudah tidak terbantahkan lagi. Dengan secarik kartu itulah seseorang bisa mendapatkan seratus ribu secara cuma-cuma setiap bulannya. Dengan kartu tersebut seseorang bisa mendapatkan beberapa kilogram beras murah. Dengan itu seseorang bisa mendapatkan kartu KMS, dan dengan itu pula seseorang yang sebenarnya mampu secara ekonomi bisa menasbihkan dirinya sebagai keluarga miskin. Sebaliknya, tanpa kartu tersebut seseorang yang sebenarnya sangat layak mendapatkan hak untuk program-program kemiskinan terpaksa harus menelan pil pahit dan harus puas menjadi penonton saja.
Begitu vitalnya peran KTP dalam menentukan nasib sebuah keluarga menjadi miskin atau tidak. Banyak sekali masyarakat yang statusnya miskin bahkan sangat miskin, bertempat tinggal di bantaran sungai, jembatan, dan permukiman-permukiman liar dengan serta merta dicap sebagai "keluarga mampu" (tidak mendapatkan bantuan dari program-program untuk masyarakat miskin). Sementara itu mereka yang memiliki satu buah mobil, dua sepeda motor, sebuah warung cukup besar, memiliki usaha industri rumah tangga dengan beberapa tenaga kerja, dan dua anaknya kuliah di perguruan tinggi dengan bangganya menempelkan stiker besar Keluarga Menuju Sejahtera 3 di pintu depannya (kebetulan bertetangga dengan penulis). Sungguh ironis sekali.
Sudah bukan rahasia lagi jika keberadaan masyarakat miskin yang tidak ber KTP ini hampir selalu tidak bisa terdeteksi oleh BPS meskipun tempat tinggal mereka tepat berada di depan rumah mitra BPS atau pejabat pemerintah. Secara de facto mereka diakui keberadaanya, namun secara dejure tidak bisa ditemukan. Aparat pemerintah "kesulitan" menemukan mereka karena orang-orang miskin itu tidak memiliki kartu sakti, KTP. Padahal kelompok masyarakat seperti inilah yang memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi.
Orang-orang miskin yang tidak memiliki tanda pengenal ini selalu menjadi warga kelas dua. Ketiadaan KTP pada mereka ini selalu menjadi alasan yang manjur bagi aparat pemerintah untuk menolak menyalurkan bantuannya. Banyak pejabat yang memilih membagikan bantuan kepada mereka yang mampu asal ber KTP daripada kepada yang benar-benar miskin namun tidak memiliki identitas. Banyak pula pejabat yang dengan entengnya berkata,"Orang-orang yang menderita gizi buruk itu bukan warga kami. Meskipun mereka hidup di sini". Sungguh terlalu.
Jadi, menjadi sesuatu yang sangat dimaklumi seandainya daerah-daerah yang menjadi sentra-sentra beras di Indonesia tiba-tiba muncul kasus gizi buruk. Menjadi sesuatu yang sangat biasa ketika di daerah yang kaya tiba-tiba terdengar berita meninggalnya seorang warga karena kelaparan. Dan inilah salah satu permasalahan utama dalam program pengentasan di Indonesia, dimana para pejabat lokal masih menggunakan batas administrasi yang sangat tegas bagi para penduduknya. Hanya penduduk lokal (yang berKTP setempat) saja yang berhak menjadi sasaran program.
Setahu penulis, tidak ada peraturan yang menyebutkan jika seorang tidak memiliki KTP setempat maka tidak berhak mendapatkan bantuan. Di dalam UUD 45 pun tidak ada ayat/pasal yang menyatakan bahwa hanya orang yang berKTP setempatlah yang berhak ditanggung kehidupannya oleh pemerintah daerah. Bukankah,"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara dan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan" (UUD 45 pasal 34 ayat 1-2).
Dalam program jangka panjang kita memerlukan sebuah regulasi baru dalam pengelolaan keluarga miskin di Indonesia, terutama dalam pendataannya. Dalam hal ini kita sangat membutuhkan sebuah perbaikan sistem pencatatan kependudukan di Indonesia agar KTP bisa berlaku secara nasional. Sehingga warga kota Yogyakarta mendapat perhatian yang sama ketika sedang berada di Jakarta begitu pula sebaliknya. Dan impian kita pada suatu saat nanti tidak akan ada lagi warga Surabaya atau Semarang namun yang ada adalah warga Indonesia.
Dalam jangka pendek pemerintah daerah perlu segera mengatasi kesenjangan antara penduduk miskin ber KTP dengan yang tidak. Keduanya harus mendapatkan perlakuan yang seimbang, paling tidak tidak terlalu berat sebelah agar kemiskinan bisa dipukul secara merata. Pemerintah daerah bisa melakukannya dengan memanfaatkan dan memaksimalkan peran lembaga adat, sosial, maupun keagamaan yang ada. Misalnya bekerja sama dengan Bazais (badan amal, zakat, infak, dan shodaqoh) untuk menyalurkan dana mereka kepada masyarakat miskin agar tidak hanya dalam bentuk zakat tahunan, namun berkembang menjadi penyaluran bantuan untuk ekonomi produktif tanpa bunga dan agunan.
Akhirnya, seluruh bangsa Indonesia sangat menantikan sebuah kebijakan yang mampu memenuhi syarat ketepatan sasaran dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Mereka yang hidup dan telah menjadi bagian dari masyarakat di suatu kampung akan mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan haknya. Sehingga bukan hanya penduduk miskin yang ber KTP lokal saja yang bisa menikmati subsidi dari pemerintah namun juga seluruh masyarakat yang benar-benar membutuhkan tanpa terkecuali.

Harus Menyejahterakan Petani dan Nelayan

Kesadaran pemerintah terhadap sasaran program-program pengentasan kemiskinan sebenarnya sudah tepat, yakni petani dan nelayan. Sayangnya selama ini pemerintah masih terjebak dengan berbagai "prasarat" yang harus menyertai program-program tersebut. Program-program pengentasan kemiskinan harus menunjukkan tingkat partisipasi yang besar dari masyarakat, harus memenuhi persyaratan pengarusutamaan gender, harus lebih mengutamakan sasaran yang bersifat kelompok, dan yang tidak boleh ditinggalkan adalah harus mampu meningkatan angka PDRB. Namun, pemerintah sering melupakan satu keharusan yang sangat sederhana namun sangat vital, yakni harus memperbaiki harga jual hasil panen?
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa petani dan nelayan (PdN) merupakan masyarakat penyumbang angka kemiskinan tertinggi Indonesia. Totalnya hampir menyentuh angka 27 juta KK. Artinya kalau setiap keluarga dihitung rata-rata memiliki anggota keluarga 4 orang maka jumlahnya mencapai 128 juta jiwa. Pemerintahpun kini tengah berupaya untuk menciptakan berbagai program yang khusus diarahkan kepada kedua sektor ini. Mulai dari revitalisasi pertanian, reformasi agraria, bantuan bibit gratis, pemberian lahan pertanian gratis, ugrade pengetahuan bagi nelayan, pemberdayaan masyarakat pesisir, pemberdayaan perempuan nelayan dan sebagainya.
Bervariasinya kebijakan pemerintah terhadap PdN tidak membuat masyarakat lega. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat PdN sudah terlalu jenuh dengan semua itu. Bertahun-tahun mereka melaksanakan kebijakan-kebijakan dari pemerintah nyatanya nasib mereka tidak pernah berubah, tetap saja berada di bawah garis kemiskinan. Jadi jangan menyalahkan PdN kalau mereka menjual bibit-bibit dan peralatan-peralatan modern bantuan pemerintah, membeli beras atau barang-barang selektronik dengan dana-dana dari bantuan permodalan, atau mengobral lahan-lahan pertaniannya kepada para tuan tanah. Kalau demikian, artinya bukan kebijakan-kebijakan seperti itu yang dibutuhkan PdN.
Ada satu indikator yang bisa dijadikan ukuran keberhasilan program bagi PdN, yakni harga jual hasil panen. Bagaimana pun baik, sempurna, dan berbelit-belitnya sebuah program, bagi petani dan nelayan, kalau hasil akhirnya tidak bisa memperbaiki harga jual panen maka semuanya tidak akan ada artinya. Sebaliknya, bagaimanapun sederhananya sebuah kebijakan apabila mampu memperbaiki dan menyetabilkan harga jual panen petani dan nelayan maka itulah kebijakan yang tepat.
Benarlah yang dikatakan banyak ahli bahwa program-program untuk PdN dari pemerintah banyak mengalami kendala ketika berada di level masyarakat. Mulai dari kredit macet sampai kepada berbagai penyimpangan lainnya. Karena selama ini para PdN memiliki kekhawatiran terhadap program-program yang dicanangkan pemerintah. Mereka dihinggapi perasaan takut terhadap dampak ikutan yang lebih membahayakan apabila mengikuti kemauan pemerintah. Sederhananya, kebijakan dan program bagi petani dan nelayan selalu saja memfokuskan pada bagaimana caranya meningkatkan hasil produksi di bidang pertanian dan kelautan. Pemerintah berusaha sekuat tenaga agar para petani dan nelayan mampu meningkatkan hasil panennya sebesar-besarnya. Karena dengan meningkatnya jumlah hasil panen maka secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Anggapan pemerintah tidak selalu seirama dengan masyarakat sasaran. Meningkatnya hasil panen petani dan nelayan tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya pendapatan mereka. Kita bisa mengamati perilaku sebagian dari mereka yang sering membuang hasil panennya ketika musim panen tiba. Para petani dan nelayan berpikir dari pada dijual murah dan merugi, lebih baik membuangnya ke laut. Dalam pandangan PdN keberhasilan meningkatkan produksi dalam jumlah yang banyak berarti pula jatuhnya harga jual panen dan meruginya mereka.
Jadi, memang benar lahan-lahan petani perlu di benahi administrasinya, irigasinya perlu diperlancar, ketersediaan pupuk perlu dijaga, hama-hama harus segera mendapatkan penanganan yang tepat. Para nelayanpun sangat senang apabila areal tangkapnya dilindungi dari gangguan kapal-kapal asing, mendapat upgrade pengetahuan di bidang kelautan, nelayan-nelayan tradisional mendapatkan kemudahan untuk mendapatkan pinjaman dana dari koperasi, peralatan-peralatannya di modernisasi, dan hasil panennya meningkat. Namun bisakah pemerintah menjamin/memproteksi harga jual gabah/padi dan hasil laut agar selalu baik dan stabil.
Apabila pemerintah mampu menjaga harga jual hasil panen PdN tetap baik maka insyaallah pemerintah tidak perlu susah-susah mengajak masyarakat petani dan nelayan untuk tetap setia pada pekerjaan mereka. Pemerintah tidak perlu repot-repot mencegah urbanisasi, pemerintahpun tidak harus memberikan berbagai bantuan gratis yang menyedot anggaran besar secra rutin, dan tentunya pemerintah tidak akan lagi dipusingkan dengan semakin tingginya angka kemiskinan.

Tuesday, December 23, 2008

Tips menikah cepat, murah, syar'iyyah

Pingin nikah tapi: ga punya uang, abis ke PHK, ngga punya modal, tuna wisma, dan lebih parah lagi nggak punya kenalan....? Temukan jawabnya disini. di buku laris ini... "Menikah Dalam 27 Hari" Penerbit Lingkar Pena Jakarta

Monday, December 22, 2008

Ranjau Calon Penulis Sukses (4): Romantisme Semu

Ketika ingin menulis, banyak calon penulis sukses yang merasa sangat terganggu dengan keramaian dan kesemrawutan di sekitar tempatnya untuk menulis. Mulai dari tangisan anak-anak, perselisihan tetangganya, suara jrang-jreng-jrang-jreng anak kost di samping kamarnya, sampai dengan berserakannya mainan keponakannya yang baru berumur empat tahun. Berulang kali dia duduk di depan komputer namun berulangkali pula suara berisik membuyarkan konsentrasinya. Puluhan kali dia membereskan sekitar tempat duduknya, namun ratusan kali pula keponakannya mengacaukannya. Akibatnya dia tidak pernah bisa menulis. Banyak calon penulis sukses yang terjebak dalam romantisme yang dikarang oleh banyak penulis yang seringkali menghambat kesuksesannya. Sebuah rumah yang tenang, suara gemercik air, merdunya nyanyian burung Kutilang yang diyakininya akan membuat dirinya akan total menulis. Atau sebuah gubug di tengah sawah yang diselimuti sejuknya alam pegunungan, suara air terjun, dan kicauan burung kenari adalah suasana yang sangat dahsyat untuk menuangkan segala gagasan yang ada di dalam kepala. Padahal calon penulis sukses tersebut hidup di tengah-tengah keramaian Jakarta, di antara himpitan pabrik di Surabaya, atau di dalam tenda pengungsian di Meulaboh. Kita tidak akan pernah menjadi penulis sukses jika selalu terhipnotis dengan kenyamanan seperti itu karena itu hanya romantisme semu. Romantisme semu seperti di atas harus segera dilepaskan dari pikiran kita. Jangan pernah menunda membuat sebuah tulisan hanya karena selalu berpeluhnya kita dengan keramaian, kebisingan, kesemrawutan, dan ketidakteraturan. Berbagai ketidaknyamanan tersebut adalah bagian dari nafas kita yang kalau dilepaskan akan ikut meregangkan nyawa kita. Karena di tempat seperti itulah jemari kita bisa melenggang merangkai kata. Di sanalah pikiran kita bisa merajut makna. Wahai calon penulis sukses….! Jadikanlah ketidakrapian dan kesemerawutan di rumahmu sebagai bumbu yang sangat sedap dalam artikel anda. Fungsikan keramaian dan kebisingan sebagai pemanis dalam tulisan anda. Pandanglah dengan hati, dengarkan dengan mata, lihatlah dengan telinga, kerjakan dengan perasaan, dan rasakan dengan tangan dan kaki semua sudut tempat tinggalmu yang berantakan dan sangat bising. Disanalah berjuta inspirasi terpendam. Semua ketidakteraturan itu akan menjadi menu yang sangat istimewa untuk menghasilkan karya tulis yang luar biasa. Anda tidak sendiri. Masih banyak calon penulis sukses yang lebih buruk dari anda. Namun mereka mampu menghasilkan tulisan yang sangat baik. Dan, jangan pernah anda membayangkan saya menulis selalu pada kondisi yang romantis. Sering sekali saya mengetik sambil memangku anak saya yang berumur 6 bulan. Tidak jarang saya menulis sambil mengganti celananya yang basah, menggendongnya keluar rumah karena menangis, menikmati bisingnya ibu-ibu yang belanja sayur di sebelah rumah, atau merasakan merdunya raungan motor tetangga. Dan Alhamdulillah berkat Allah yang selalu menjaga hati kita, saya bisa terus mengembangkan tulisan-tulisan saya. Jadikan kebisingan dan kesemrawutan sebagai romantisme sejati anda.

Pancasila = Hantu


Mengingat-ingat kisah-kisah masa kecil memang benar-benar mengasyikkan. Saat itu saya di takut-takuti kakak saya, “Awas lho... aja metu magrib-magrib mengko digondol Wewe” (Awas jangan main keluar rumah ketika magrib nanti diculik Wewe). Anehnya, saya yang saat itu belum ngerti apalagi ketemu dengan wewe kok ya takut mendengar nama itu. Demikian pula ketika saya sudah besar, ketika menginjak jenjang sekolah menengah atas. Begitu mendengar pelajaran Pancasila (waktu itu PMP) nyali saya pun langsung ciut. Saya tidak tahu mengapa saya selalu takut dengan pelajaran tersebut.
Namun yang pasti ketika mendengar kata Pancasila yang langsung tertera dalam benak saya adalah sebuah kumpulan sila-sila, deretan aturan-aturan, nilai-nilai, norma-norma, sampai dengan seabrek pasal-pasal yang sangat banyak dan harus dihafalkan. Akibatnya (bagi saya) Pancasila bukan lagi menjadi sesuatu yang harus diamalkan namun lebih mirip dengan wewe, SEREM. Di dalam masyarakat Jawa salah satu fungsi hantu adalah sebuah lakon rekaan yang berfungsi sebagai alat control social. Hantu digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan agar orang-orang berpikir dua kali untuk berurusan dengannya. Wewe digambarkan sesosok wanita menakutkan yang memiliki kemampuan untuk membawa atau menculik anak-anak kecil ketika petang hari, hal ini mengandung pesan agar anak-anak kecil ketika sudah petang menjelang magrib tidak berkeliaran di luar rumah. Wewe diciptakan agar anak-anak hanya beribadah dan belajar ketika petang hari, bukan keluyuran di luar rumah Genderuwo, digambarkan sebagai seorang laki-laki tinggi besar dengan bau yang sangat tidak enak, suka memba-memba (menyamar) menjadi seorang lelaki beristri dan senang mengganggu istri orang yang sedang sendirian. Kemunculannya merupakan sarana bagi masyarakat Jawa untuk mengingatkan kepada para wanita bersuami untuk bisa menjaga kehormatannya ketika sedang ditinggal suaminya. Disamping itu para wanita diberi peringatan agar mengenal dengan baik karakter suaminya masing-masing. Sehingga dia bisa membedakan benar-benar antara suaminya dengan lelaki lain meskipun secara fisik sangat mirip. Kuntilanak, terkenal sebagai wanita nakalnya dunia gaib, merupakan perlambang (peringatan) kepada para wanita agar selalu menjadi wanita baik-baik ketika hidup di dunia. Karena kebiasaan tersebut akan dibawa sampai mati dan menyebabkan ruhnya tidak diterima Tuhan ,klambrangan.
Beberapa jenis hantu di atas hanyalah sedikit dari puluhan bahkan ratusan jenis hantu yang diciptakan masayarakat Jawa. yang masing-masing membawa pesan tersendiri. Semua jenis hantu tersebut berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang sengaja diciptakan masyarakat Jawa untuk mencapai dunia kemasyarakatan Jawa yang harmonis.
Manusia Jawa selalu dituntut untuk berhubungan seharmonis mungkin dengan saudaranya, tetangganya, dan orang lain walaupun memiiki permasalahn pribadi. Suami dituntut untuk mesra dengan istrinya ketika dimuka umum meskipun mereka sedang mengurus proses perceraian, seseorang sangat dianjurkan untuk bermuka manis dengan tetangganya meskipun diantara mereka sedang berebut batas pekarangan, dan sebagainya. Utamanya keharmonisan permukaan itulah yang selalu menjadi idaman masyarakat Jawa meskipun di dalamnya penuh dengan gejolak (Suseno,1993). Pun dengan Pancasila, sila-sila, simbol-simbol, maupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan ”hantu” ciptaan bangsa Indonesia untuk membatasi masyarakat Indonesia tidak keluar jalur dari pribadi Indonsia. Tujuannya adalah agar dicapai sebuah keharmonisan berbangsa Indonesia.

Wednesday, December 17, 2008

Ranjau Calon Penulis Sukses (3) Istilah Asing

Setelah membaca tulisan dari penulis terkenal biasanya kita akan langsung bersemangat untuk membuat sebuah tulisan yang senada. Entah karena terpengaruh oleh nyawa yang ada di dalam tulisan tersebut, terkesan dengan kemampuan penulis dalam memilih kata-katanya, atau karena gaya bahasanya yang sangat memukau. Ini yang kita harapkan. Celakanya bila yang terjadi sebaliknya. Setelah membaca sebuah tulisan kita langsung keder dengan tulisan tersebut. Misalnya ketika secara kebetulan kita bertemu dengan sebuah buku/tulisan yang menggunakan istilah-istilah asing yang sangat banyak. Tidak jarang kita akan mengalami yang namanya kalah sebelum bertanding. Dalam hati kita mungkin akan muncul ketakutan dan kekhawatiran, ”Ohhh…ternyata menulis harus menggunakan istilah-istilah asing yang ruwet to….”
Selama ini masih ada sebuah kesalahan pemahaman bahwa kualitas tulisan dan kualitas penulis sangat ditentukan oleh berapa banyaknya istilah-istilah asing yang digunakan. Semakin banyak istilah asingnya maka akan semakin menambah kualitas penulis dan tulisannya. Dengan kata lain, ketika seseorang menulis dan menggunakan istilah-istilah asing yang banyak dalam tulisannya maka dia akan dianggap sebagai orang pintar. Sedangkan ketika menggunakan sedikit saja maka dianggap penulis biasa saja.
Pemahaman seperti itu perlu segera diluruskan. Jangan sampai hanya karena kita tidak menggunakan istilah-istilah asing maka semangat menulis kita menurun. Ingatlah pada tulisan saya terdahulu, bahwa kita menulis bukanlah untuk mendapatkan pujian, sanjungan, maupun imbalan namun dengan tulisan kita bisa mengabdikan diri kita. Untuk itu janganlah memedulikan apa kata orang. Biarkan saja mereka mengatakan bahwa tulisan kita miskin dengan istilah asing. Jangan pedulikan pula jika kita dikatakan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Jangan pula merasa minder ketika tulisan kita dikatakan tidak berbobot.
Saudaraku calon penulis sukses.
Bobot tulisan tidak ditentukan oleh seberapa banyak penulis menggunakan istilah asing. Bobot tulisan sangat bergantung pada bagaimana tulisan tersebut mampu dimanfaatkan, diambil hikmahnya, mampu menjadi pencerahan, dan mampu menjadi sarana perubahan ke arah yang lebih baik kepada orang lain. Untuk itu janganlah merasa rendah diri dengan sedikitnya istilah asing yang engkau gunakan.
Sejatinya, orang yang banyak menggunakan istilah asing tidak lebih baik dari pada penulis yang menggunakan istilah-istilah lokal (Indonesia). Bahkan secara pribadi saya mengatakan bahwa penulis yang terlalu banyak bermain dengan istilah asing justru menunjukkan kelemahan dia. Karena dia tidak mampu menerjemahkan istilah asing ke dalam istilah lokal. Sehingga para pembaca akan menemui banyak kesulitan untuk memahami apa yang dia sampaikan. Ketika seorang penulis menggunakan istilah asing (kecuai untuk istilah baku dalam kazanah ilmiah) yang tidak mampu difahami dengan baik oleh pembacanya maka dia belum berhasil menjadi penulis sukses. Sebaliknya seorang penulis yang menggunakan kata-kata sederhana dan mudah dimengerti maka dialah penulis sukses.
Sebagai penulis lokal (Indonesia) kita wajib menguasai dengan baik istilah-istilah lokal. Alasananya sangat sederhana, karena kita hidup di negeri Indonesia. Kecuali jika kita berada di negeri orang maka mau tidak mau kita harus menggunakan sebanyak mungkin istilah yang difahami masyarakat setempat.
Untuk itu, ”Hai para calon Penulis Sukses, gunakan sesedikit mungkin istilah-istilah asing” agar tulisanmu bermanfaat bagi orang lain. Orang yang mampu menggunakan bahasanya sendiri untuk menyampaikan informasi di negeri sendiri adalah orang yang cerdas. Namun ketika seorang penulis memaksakan menggunakan istilah asing untuk dipublikasikan di dalam negerinya maka orang tersebut tidak tahu diri.
Sebagai penutup tulisan ini ada sebuah kisah yang menggugah. Ketika saya sedang melakukan penelitan di Papua. Saya menyaksikan betapa orang-orang Indonesia berusaha sebisa mungkin untuk berbicara dengan bahasa Inggris kepada tenaga-tenaga ekspatriat di sana. Bagi saya, itu adalah perilaku yang berlebihan dan merendahkan diri sendiri. Secara logika seharusnya orang-orang asing itulah yang harus belajar dan mahir berbahasa Indonesia. Bukan kita yang menyesuaikan mereka namun merekalah yang seharusnya menyesuaikan dengan kita. Akhirnya, Saya merasa sangat senang ketika seorang teman saya berkata, ”Ini Indonesia, negeri saya. You, orang asing di sini. Seharusnya You bicara dengan bahasa Indonesia. Bukan saya yang berbicara bahasa Inggris”, sebagai jawabnya ketika dia berbicara dengan seorang bule yang meminta teman saya untuk berbicara dengan bahasa Inggris kepadanya.
Anda setuju?

Ranjau Calon Penulis Sukses (2)

Sering sekali ada lontaran pertanyaan sederhana namun sangat susah untuk menjelaskannya, “Bagaimana seandainya kita ingin menulis namun hanya memiliki waktu yang sedikit?” Pertanyaan seperti ini sering dilontarkan mereka yang hanya memiliki “sedikit” waktu yang bisa digunakan untuk menulis diantara berbagai kesibukan yang lain. Dan alasan seperti ini pulalah yang sering menjadikan para calon penulis sukses berpikir ulang untuk melanjutkan langkahnya menjadi penulis sukses.
Sebenarnya, sedikit atau luangnya waktu yang dimiliki oleh seseorang sangat bergantung pada bagaimana orang tersebut menyikapi waktu tersebut. Bagi orang yang super sibuk, seperti anda, mungkin tidak ada waktu yang bisa disisakan untuk sekedar menulis. Mungkin anda beranggapan banyak hal yang jauh lebih penting dari pada sekedar menulis, bekerja misalnya. Kalau seperti ini maka anda sebaiknya berhenti saja membaca artikel ini. Akan tetapi bagi anda yang merasa bahwa menulis adalah aktifitas penting meskipun ”tidak memiliki” waktu untuk itu maka silakan anda melanjutkan membacanya.
Saudaraku…!
Ada satu hal yang wajib kita ketahui, bahwa Allah menciptakan waktu 365 hari dalam setahun, 30 hari dalam sebulan, 7 hari dalam seminggu, dan setiap harinya selama 24 jam kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Orang-orang yang saat ini menjadi orang terkenal maupun mereka yang kebetulan tidak beruntung menjadi seorang papa semuanya memiliki jatah waktu yang sama, 60 detik setiap menitnya. Kalau toh kondisi yang saat dialami oleh manusia tidak seragam itu bukan karena Allah membeda-bedakan jatah waktunya.
Kunci kesuksesan bagi seseorang ada pada satu hal yaitu managemen waktu yang baik. Anda yang saat ini kebetulan sebagai pekerja kantoran atau karyawan pabrik yang harus pergi pagi dan pulang malam tentunya memiliki waktu yang sama luangnya dengan Pak Amien Rais yang baru saja menyelesaikan buku “Selamatkan Indonesia”. Atau mungkin anda yang saat ini sedang menunggu panggilan wawancara dari sebuah perusahaan mungkin memiliki waktu yang sempit seperti para tukang ojek yang menanti penumpang.
Dua perbandingan di atas, antara seorang Amien Rais dengan Tukang Ojek, paling tidak menunjukkan kepada kita bagaimana seseorang menyikapi waktu sibuk dan senggangnya untuk melakukan sesuatu. Sesibuk apapun Amien Rais yang jelas sampai saat ini beliau sudah mampu menghasilkan puluhan judul buku dan tulisan yang tidak terhitung lagi. Sebaliknya seorang tukang ojek yang memiliki waktu luang berjam-jam setiap harinya namun tidak juga menghasilkan satu artikel pendekpun (maaf saya tidak bermaksud untuk menyepelekan tukang ojek). Amien Rasi bisa memanage waktu sempitnya menjadi waktu luang dan tukang ojek membiarkan waktu luangnya menjadi sempit.
Sekarang lihatlah pada diri anda. Anda seperti apa?
Permasalahan waktu sempit atau luang sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapi putaran bumi terhadap matahari tersebut. Hanya anda sendirilah yang mengetahui kapan anda merasa nyaman untuk menulis, nyaman untuk beristirahat, bagaimana kondisi pisik dan psikis anda, dan kapan anda merasa luang. Sebagai calon penulis sukses kita harus mampu menjaga semangat untuk menulis, mencari waktu yang efektif untuk menulis (bukan lamanya waktu yang kita miliki), dan memiliki hasil tulisan yang bermanfaat bagi orang lain.

Hantu Kontrol Sosial

Sebagaimana sudah menjadi kesepakatan umum bahwa yang namanya hantu adalah mahluk yang bebas ruang dan waktu. Dia tidak bisa dibatasi oleh tebalnya tembok atau lamanya waktu. Kapapanpun dan dimanapun juga makhluk gaib bisa hadir. Keganjilan, keanehan, kegelapan, kemisterian dunia alam gaib hampir pasti selalu menjadi pembicaraan khalayak ramai, dan selalu saja mengasyikkan dan mendebarkan. Ketidaklogisan dari kisah serta perilaku makhluk halus tidak akan ada orang yang berani menyangkalnya. Paling-paling orang yang tidak mengalami peristiwanya sendiri akan bergumam, “Ah mana ada hantu, omong kosong saja”. Semua kejadian yang mengikutinya dianggap sebagai kebenaran meskipun sangat tidak masuk akal. Orang-orangpun tidak akan protes ketika mendengar kalau seorang hantu wanita bisa menembus dinding, kita juga akan diam saja ketika mendengar cerita bahwa seorang wanita cantik mampu meminum air mendidih satu baskom dengan tanpa merasakan sakit sedikitpun. Orang yang tidak percaya pada makhluk haluskpun tidak akan menyangkal semua peristiwa aneh yang menyertainya. Dunia hantu ibaratnya sebuah dunia yang penuh dengan kebebasan. Bebas dari prasangka, bebas dari ketidakmasukakalan, bebas bertingkah laku seperti apapun. Namanya juga hantu......! Demikian pula, setiap orang bebas menafsirkan apapun terhadapnya. Karena demikian bebasnya dunia penafsiran terhadap hantu maka perbincangan terhadapnyapun kian hari kian sengit. Dan tidak akan pernah ada habisnya. Setiap orang menafsirkan berdasarkan pengelamannya masing masing. Akibatnya konsep tentang makhluk halus banyak sekali, sebanyak orang yang menafsirkannya. Biarlah pembicaraan mengenai keanehan hantu menjadi lahannya para dukun dan ahli supranatural. Bagi masyarakat Jawa keberadaan dunia makhluk halus/hantu (memedi) bukan hanya sekedar sebagai pelengkap dunia saja namun mereka memiliki fungsi yang besar dalam mengatur keharmonisan alam. Pertama, mereka dijadikan sebagai media rekontruksi social. Oleh masyarakat Jawa keberadaan memedi-memedi jaman dahulu dihadirkan kembali ke dalam kehidupan masyarakat sekarang ini agar kehidupan pada masa lampau hidup kembali pada jaman sekarang. Hal ini bisa dijelaskan misalnya dengan banyaknya hantu-hantu yang menampakkan wajah mengerikan (hancur), suara tangisan seseorang pada lokasi tempat terjadinya tabrakan maut, wujud manusia yang hangus di bekas tempat kebakaran, hantu tuan Sinyo atau Noni Belanda di rumah-rumah atau bangunan tua bekas tempat tinggal orang Belanda, hantu “berdarah biru” dilokasi-lokasi bekas keratin/ pesanggrahan dan sebagainya. Kedua, memedi (hantu) sengaja diciptakan oleh orang jawa untuk menjaga ketertiban social masyarakatnya. Dengan memedi orang Jawa berusaha sekuat tenaga untuk menghindari terjadinya kekacauan budaya atau nilai-nilai Jawa. Hal ini sangat penting dilakukan karena demi menjaga keharmonisan alam masyarakat Jawa. Hal ini tercermin dari banyaknya wujud memedi atau cerita memedi rekaan yang dilakukan masyarakat Jawa. Wujud dan cerita-cerita hantu sengaja dihadirkan ke tengah-tengah masyarakat agar masyarakat melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kejadiannya sama persis dengan mitos, dimana ceritanya tidak jelas asal usulnya namun keberaannya diakui oleh banyak pihak. Ketiga, memedi/ hantu hadir untuk membantu meringankan beban masyrakat Jawa dalam menghadapi kehidupan. Dengan memedi, masyarakat Jawa membagi beban kerja/ tanggung jawab secara bersama-sama. Sehingga merekapun dapat lebih menikmati hidup dengan kerja yang tidak terlalu berat. Dalam kasus ini termasuk pula adanya pengeksploitasi dunia memedi oleh media massa/ oknum tertentu demi mengeruk modal yang besar. Dengan membaca buku ini kita akan memperoleh pemahaman yang cukup baik berkaitan dengan konsep hidup orang Jawa, bagaimana masyarakat Jawa memaknai kehidupan mereka, hubungan mereka dengan dunia lain dan sebagainya.

Ranjau Calon Penulis Sukses (1)

Semangat menulis bisa diibaratkan seperti gelombang. Kadang datangnya tinggi, besar, menggulung, dan menerjang apa saja yang ada di hadapannya, kadang kala hanya berbentuk aluran lembut yang menmbulkan suara kecipak-kecipik yang sangat enak didengarkan di telinga, pada lain kesempatan nyaris diam seperti tak beriak namun mengisyaratkan nuansa mistis dan membawa pesan kematian. Seperti itulah gambaran semangat menulis yang menghinggapi setiap orang. Kadang kala semangat kita untuk menulis begitu menggebu-gebu sampai mengalah setiap keinginan yang lainnya, kadang biasa saja, tidak jarang pula semangat untuk menulis yang mati enggan hiduppun ogah.

Ada satu hal yang sangat penting bagi para calon penulis sukses (saya lebih suka menggunakan itilah calon penulis sukses dari pada penulis pemula) untuk menyikapi kondisi semangat menulisnya yang pasang surut seperti itu. Ketika dalam kondisi ON atau bersemangat untuk menulis maka harus bisa menjaganya agar tidak padam dan sesegera mungkin menyalurkannya menjadi sebuah, dua buah atau banyak tulisan. Pada kondisi semangat sedang redup maka harus semaksimal berusaha membuatnya semakin menyala. Dan, ini yang paling penting, ketika dalam kondisi sekarat maka mau tidak mau harus sekuat tenaga menghidupkannya kembali. Jangan sampai semangat menulis yang ada dalam diri kita menjadi mati total. Ada banyak hal yang menyebabkan semangat untuk menulis seorang calon penulis sukses mati atau meredup.

Salah satunya adalah tema tulisan sudah habis. Banyak calon penulis sukses yang merasa sempitnya dunia kepenulisan karena hampir semua tema ”SUDAH DI TULIS” oleh penulis-penulis yang lain. Para calon penulis sukses merasa bahwa mereka tidak memiliki satu tema pun untuk di tulis karena kalau memaksakan menulis tema tersebut akan kalah bersaing juga dengan penulis yang telah eksis. Sehingga mereka tidak jarang menjdi minder untuk menulis sesuatu yang sudah di tulis penulis lain. Padahal bisa saja calon penulis sukses menuliskan dari sudut pandang yang lain, atau berdasarkan pengalamannya untuk mendapatkan nafas yang lebih khas dari tema yang sama yang telah diusung penulis lain. Kalau kita menyadari bahwa kita semua adalah makhluk Allah mak kita tidak perlu merasa kehabisan tema.

Sejatinya ide dan tema itu berserakan di sekitar kita. Bahkan tema mengalir di dalam aliran darah kita. Keberadaanya sama dekatnya antara nafas dengan urat leher kita. Ingatlah bahwa Allah menciptakan ilmu di dunia ini luas dan tidak terhingga. Seandainya pohon dan ranting dijadikan pena dan air laut sebagai tintanya maka ilmu Allah tidak akan habis di tulis. Karena ilmu Allah itu semakin dipelajari maka akan semakin banyak berkembang. Semakin banyak yang menuliskannya maka akan semakin banyak kekurangannya. Untuk membuktikan bahwa ilmu Allah ada di mana saja. Ambilah satu contoh kecil. Sesuatu yang sangat dekat denganmu. Misalnya RAMBUT.

Kalau engkau merenungkan dan menuliskan tentang Rambut maka saya sangat yakin engkau akan menghasilkan tulisan yang luar biasa. Misalnya dari rambut kita bisa mengembangkan menjadi Rambut Padi Sebagi Bahan Bakar Alternatif, Rambut Gimbal Salah Satu Trend Remaja Saat Ini, Santet Dengan Media Rambut, dan sebagainya. Sangat banyak bukan? Hai para calon penulis sukses…!! Hidupmu, nafasmu, gerak tubuhmu selalu penuh dengan ilmu Allah. Bahkan seandainya engkau tertidurpun ilmu-ilmu Allah akan menghampirimu dengan sendirinya.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com