Friday, January 2, 2009

Menjadi Manusia Pancasila


Pancasila selalu menjadi rujukan banyak pihak terhadap kepemilikan watak mulia seseorang. Ini wajar, sebab Pancasila diyakini sebagai sebuah formulasi dari nilai-nilai kebaikan manusia. Sehingga seseorang yang dikatakan sebagai manusia Pancasila pasti memiliki berbagai hal terpuji dan perlu dicontoh. Jika dalam dunia perkayuan sangat gampang, yang dinamakan kayu yang baik adalah panjang, lurus, mulus, tidak ada matanya dan sebagainya. Demikian juga dengan pakaian, pakaian yang baik bisa dilihat dari jenis kainnya, kualitas jahitannya, keawetannya, dan lain-lain. Lalu bagaimana seseorang bisa dikatakan sebagai manusia Pancasila? Indikator semacam apa yang bisa dijadikan ukuran?
Apakah manusia Pancasila cukup diukur dengan melihat siapa yang hafal lima sila dari Pancasila ataukah bisa dilihat dari orang yang selalu menyertakan nama Pancasila dibelakangnya; Paijo Pancasila, mBah Darmo Pancasila, Ponikem Pancasila? Indikator seseorang untuk memiliki label Pancasila di belakangnya sangat sulit dilakukan. Jika indikatornya hanya diukur dari bagaimana dia mampu menghafalkan lima sila yang ada, itu semua orang juga bisa disebut Pancasila. Bahkan orang-orang yang sering melakukan korupsi pun sangat banyak yang bisa dikatakan sebagai manusia Pancasila. Pemaknaan manusia Pancasila lebih dari itu. Sayangnya, selama ini kita masih terjebak dalam kondisi dimana Pancasila masih sebatas bahan perdebatan dan seminar saja. Orang-orang sering mendiskusikan panjang lebar nilai-nilai dan keutamaan Pancasila. Namun mereka lupa untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut. Bukankah seharusnya Pancasila dijadikan bahan refleksi dan koreksi diri, kemudian menjadi salah satu landasan untuk bertingkah laku yang baik, dan pada akhirnya akan mendorong (memotivasi) orang lain berbuat yang lebih baik?

Seseorang bisa dikatakan sebagai manusia Pancasila jika mampu membawakan dirinya pada posisi yang tepat, sesuai kewajiban dan haknya. Manusia Pancasila harus mampu menempatkan dirinya menjadi rekan sesama manusia sekaligus menjadi hamba Tuhan pada saat yang bersamaan. Dua sifat kemanusiaan dan ke Illahian ini harus di terapkan secara bersama-sama, tidak terpisah. Ketika seseorang bekerja, maka dia harus sadar bahwa dia tidak sekedar mencari uang. Akan tetapi dia seharusnya juga memiliki kesadaran bahwa hasil pekerjaannya akan bermanfaat bagi orang lain dan tidak melanggar ketentuan Allah. Karena esensi dari Pancasila adalah perpaduan antara nilai-nilai kemanusiaan dan sifat ke-Tuhanan. Ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa sifat Pancasila dari seseorang adalah abadi (jangan dibaca kekal). Artinya seseorang tidak selamanya (kekal) menjadi manusia Pancasila, sebaliknya dia juga tidak akan kekal menjadi pengkhianat Pancasila. Bisa saja pada jam sembilan pagi dia adalah seorang Pancasila sejati, namun pada setengah jam berikutnya dia akan berposisi sebagai penentang Pancasila nomor wahid. Begitu seterusnya, antara jiwa pancasila dan jiwa penentangnya akan selalu hadir terus menerus (abadi). Seorang yang di mata masyarakat dicap sebagai penjahat dan sampah masyarakat tiba-tiba berubah menjadi seorang Pancasila. Pun, dengan orang-orang yang selama ini selalu mengagung-agungkan dan menyebut-nyebut ”Pancasila...Pancasila...Pancasila..” bisa jadi dia menjadi agen pemberontak Pancasila sejati.
Ki Ageng Suryo Mentaram dalam Kawruh Begja mengatakan bahwa kebahagiaan dan kesedihan itu abadi sifatnya. Ketika seseorang sedih karena kematian kerabat dekatnya, tiba-tiba dia merasa bahagia karena kehadiran saudara lain yang tidak pernah berkunjung ke rumahnya. Begitu juga ketika seseorang sedang bahagia karena kehadiran sang buah hati mendadak hatinya sedih karena persediaan dananya tidak mencukupi untuk biaya persalinan. Kebahagiaan – kesedihan datang silih berganti dan tidak pernah berhenti (abadi). Begitu juga dengan jiwa Pancasila selalu timbul tenggelam bersama jiwa pemberontak terhadap Pancasila. Pada saat tertentu sebagai pahlawan Pancasila dan pada detik berikutnya menjadi pengkhianat Pancasila. Sebagai manusia, kita tidak mungkin menghilangkan salah satu dari keduanya. Namun jangan khawatir Allah telah membekali hati kepada setiap manusia untuk memilih jalan mana yang diinginkannya. Apakah memilih berjiwa Pancasila ataukah menjadi pemberontak dan pengkhianat. Dan tentunya kita juga tidak terlalu perlu menempatkan label Pancasila di belakang nama kita agar dihormati orang lain. Yang penting dari yang terpenting adalah:
APLIKASINYA....MANA...?

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com