Friday, August 28, 2009

Melayat/takziyah dan Mendoakan Orang Kafir Diterima Amalannya.

Kita sebagai umat muslim harus membedakan antara muammalah dengan ibdah mahdhoh. Hubungan dengan orang non muslim adalah sebuah muamalah. Sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Masalah Pertama: Bertakziyah kepada Orang Kafir Para ulama telah menyepakati bahwa bertakziyah kepada orang non muslim hukumnya boleh. Termasuk berbuat baik, bermuamalah, bertetangga, saling bertukar hadiah dan seterusnya. Paus Yohanes Pauls II secara nyata belum pernah menyatakan ke-Islaman, sehingga dalam kaca mata syariah dia dihukumi sebagai non muslim. Meski semua orang mengakui bahwa dirinya banyak melakukan berbagai kebaikan. Namun ketika dia meninggal, boleh hukumnya bagi seorang muslim untuk bertakziyah serta mengucapkan bela sungkawa.

Perilaku ini dibenarkan berdasarkan praktek Nabi SAW di masa lalu, dimana beliau pernah mengunjungi jenazah orang kafir. Dan syariat Islam tidak melarang kita untuk melakukan hal ini, karena juga tidak ada nash yang melarangnya. Termasuk yang dibolehkan adalah mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga atau kerabatnya.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Mumtahanah: 8) Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menjenguk seorang Yahudi yang dahulu pernah melayaninya dan akhirnya Yahudi itu masuk Islam. Hal itu diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-adab Al-Mufrad, juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Matalib Al-Aliyah.

Intinya bermuamalah itu boleh selama dalam koridor syariah. At-Tsauri berkata bahwa seorang muslim dibolehkan untuk bertakziyah kepada orang non muslim yang mati, dan kepadanya disunahkan untuk mengucap (lillahis-sultan wal azhamah), kekuasaan dan keagungan hanyalah milik Allah. Al-Hasan berkata bila kamu bertakziyah kepada orang kafir maka ucapkanlah, "Tidaklah menimpamu kecuali kebaikan." Abu Ubdullah bin Baththah berkata, "Yang diucapkan pada saat bertakziah kepada orang kafir adalah: "Semoga Allah memberikan kepada atas musibah ini sesuatu yang lebih baik dari apa yang Allah berikan kepada siapapun dari orang yang memeluk agamamu."

Seorang muslim boleh memilih lafaz manapun yang lebih disukainya dari lafaz-lafaz di atas. Masalah Kedua: Mendoakan Orang Kafir Hukum mendoakan orang kafir itu tergantung dari materi doanya dan pada saat kapan doa itu dipanjatkan. Berdoa kepada Allah SWT untuk orang kafir yang dibenarkan adalah mendoakannya agar mendapatkan hidayat agar masuk Islam. Sebagaimana dahulu Rasulullah SAW berdoa agar Islam dikuatkan oleh salah satu dari dua Umar. Dan akhirnya Umar bin Al-Khattab masuk Islam.
Selain itu doa yang dibolehkan adalah memintakan ampunan untuk orang kafir ketika masih hidup. Hal itulah kita dapatkan dari hadit berikut ini: Dari Abi Abdirrahman Abdillah ibni Mas'ud r.a. berkata, "Seolah aku masih melihat Rasulullah SAW tengah menceritakan seorang nabi di antara para nabi shalawatuhu wa salamuhu alaihim yang dipukul oleh kaumnya hingga berdarah. Nabi itu lalu menyeka darah dari wajahnya seraya berdoa,"Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu"" (HR Muttafaqun 'alaihi)

Namun memintakan ampunan bagi orang kafir yang sudah meninggal dunia hukumnya haram. Dalilnya adalah ketika Rasulullah SAW meminta izin kepada Allah SWT untuk meminta ampunan dari Allah atas ibunya, permintaan itu ditolak Allah SWT. Dalil lainnya adalah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Al-Quran kisah meninggalnya Abu Thalib, di mana saat itu Rasulullah SAW ingin memintakan ampunan kepada Allah SWT atas dosa-dosa Abu Thalib. Saat itu turunlah ayat berikut ini: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.

Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS At-Taubah: 113-114)

Baca Juga:

  1. Apakah Khamar Najis? 
  2. Cara Mengkafani Jenazah (boleh dengan Sutra?) 
  3. Mentalqin Orang yang akan meninggal (dengan Yaasin)

Bunuh Diri dan Arwah Gentayangan

Artikel ini berkaitan dengan pertanyaan seorang teman beberapa waktu yang lalu. Bunuh diri adalah perbuatan yang tidak diridloi Islam. bahkan Islam mengharamkan bunuh diri. Tindakan itu adalah perbuatan orang yang putus asa dan kurang memiliki tingkat keimanan, sehingga solusi yang terpikirkan hanyalah mengakhiri nyawanya sendiri. Namun bahwa adanya arwah yang gentayangan lantaran belum diterima di alam kubur, tentu saja tidak benar. Cerita itu sebenarnya hanya omongan dari mulut ke mulut lalu difilmkan pada masa lalu, kemudian menjadi tontonan masyarakat yang kurang mendidik. Arwah gentayangan itu hanya akal-akalan pembuat cerita horor, baik penulis naskah ataupun komoditas perusahaan film.

Dilihat dari sudut pandang aqidah Islamiyah, sesungguhnya kita tidak mengenal ruh orang meninggal yang bergentayangan. Sebab ruh itu kembali kepada Allah dan tidak lagi berkeliaran di bumi setelah dicabut dari jasad seseorang. Dia tidak bisa menampakkan diri, menakut-nakuti anak-anak atau membalas dendam yang terbawa mati. Ruh orang yang mati tidak sempat gentayangan, sebab dia harus menjawab banyak pertanyaan dari malaikat, serta menunggu di alam barzakh untuk mempertanggung-jawabkan semua amalnya.

Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa ruh itu kembali ke alam dunia dan berinteraksi dengan manusia yang masih hidup. Apalagi gentayangan dan membalas dendam seperti di film horor. Semua itu hanya karangan belaka. Kalaupun ada, maka tidak lain adalah jin yang merupakan makhluq Allah juga menyamar menyerupai orang yang sudah mati. Oleh jin, suasana itu lalu didramatisir sedemikian rupa untuk menakut-nakuti orang. Intinya agar orang-orang itu percaya dan memberikan sesajen, sesembahan atau apaun yang dimintanya. Jin mampu berubah wujud, namun tidak sempurna seperti malaikat yang mampu berubah wujud dengan bentuk yang sangat sempurna. Dalam riwayat hadits disebutkan ketika Jibril as mendatangi Rasulullah SAW dan para shahabatnya dengan menerupai manusia, rambutnya sangat hitam dan bajunya sangat putih, wajahnyaberseri dan tidak nampak datang dari perjalanan jauh. Padahal dia bukan orang setempat dan tidak seorangpun mengenalnya.

Dalam kisah Nabi Yusuf, para wanita Mesir yang terkesima dengan wajah Nabi Yusuf berkomentar bahwa dia bukan manusia, tetapi adalah malaikat. Artinya, malaikat memang punya kemampuan berwujud manusia dengan bentuk yang sangat sempurna. Jin memang punya kemampuan melakukan perubahan wujud meski tidak pernah bisa sempurna. Karena itu dari cerita yang sering kita dengar, penampilan 'hantu' selalu menyeramkan, mungkin tidak berkepala, tidak berkaki atau gosong sebelah dan sebagainya. Ujung-ujungnya jelas perbuatan musyrik. Ini adalah kerja favorit bangsa jin yang kafir. Menyesatkan dan menjerumuskan manusia ke dalam kemusyrikan. Memang terdapat keterangan bahwa ruh yang telah berpisah dari jasad itu selama di alam kubur menunggu hari kiamat akan dapat menyaksikan keluarganya di alam nyata ini. Bahkan mereka akan ikut bergembira bila keluarganya itu berbuat kebajikan dan akan bersedih bila melakukan kejahatan dan kemungkaran.

Bila ada penampakan atau gangguan, sebenarnya bukan arwah saudara anda, melainkan jin yang membonceng memanfaatkan dan mempermainkan rasa takut anda sekeluarga. Jin dan sebangsanya takut dengan ruqyah syar'iyah. Lakukanlah ruqyah yang sesuai dengan syariah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Insya Allah makhluk-makhluk halus itu akan kocar kacir ketakutan. Setelah itu, sinari rumah itu dengan selalu membaca Al-Qur'an Al-Kariem, insya Allah jin jahat tidak berani mengganggu lagi.

Baca juga:
1. Dosa Membunuh manusia
2. Qunut Shubuh

Thursday, August 27, 2009

Beda Fakir dengan Miskin (penerima zakat)

Dalam perkara zakat kita sering dibingungkan dengan istilah fakir dengan miskin. Karena kedua memiliki kemiripan satu sama lain. Namun masing-masing tetap memiliki keunikan yang membedakannya dengan lainnya.

  1. Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Atau mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk di antaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya. Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari udara panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan atau cuaca yang tidak mendukung. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan. Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara fakir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang fakir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang fakir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya. Pembagian kedua istilah ini didasari oleh firman Allah SWT berikut ini: Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (QS Al-Kahfi: 79) Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya. Karena itu Rasulullah SAW diriwayatkan pernah berdoa meminta agar dijadikan orang yang miskin, dengan lafadz: Dari Abi Said A-Khudhri ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Allahumma ahyini miskina, watawaffani miskina, wahsyurni fi zumratil masakin (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim di mana beliau menshahihkannya). (Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin. Matikan aku dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin). Sedangkan kefakiran adalah hal yang selalu Rasulullah SAW berlindung darinya kepada Allah SWT.
  2.  Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin itu lebih buruk keadaannya dari orang fakir. Hal ini didasarkan kepada makna secara bahasa dan juga nukilan dari ayat Al-Qur'an juga. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (QS Al-Balad: 16) Disebutkan di ayat ini bahwa ada orang miskin yang sangat fakir, seolah menggambarkan bahwa keadaannya jauh lebih buruk dari yang lainnya. Dengan demikian, kedua pendapat di atas memang punya dalil yang berdasarkan kitabullah juga.
  3. Masih ada lagi pendapat ketiga, yaitu bahwa fakir dan miskin itu sama saja. Ini adalah pandangan Ibnul Qasim dan Ashabu Malik. 
  4. Ada juga yang mengatakan bahwa fakir adalah mereka yang meminta-minta, edangkan miskin adalah yang tidak meminta-minta. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Baththal. Lebih jauh tentang kajian inisilakan pelajari kitab Nailul Authar karya Asy-Syaukani. Juga kitab Al-Fiqhul Islami wa adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Saudaraku.. Terlepas dari siapa yang lebih buruk keadaannya atau apa perbedaan mereka, yang jelas mereka berdua adalah sama-sama penerima harta zakat yang paling utama. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah: 60).
Silakan baca:
  1. Jumlah, tatacara, Nishob Zakat Mal (emas, perak, Profesi, dsb 
  2. Zakat Fitri/fitrah diganti uang 
  3. Menjaga kemaluan dan lida (menggunjing, mengumpat, ghibah, zina)

Batalkah Puasa, Belum Mandi Wajib Sedang Azan Shubuh Tiba?

Orang yang dalam kondisi berjunub, baik karena hubungan suami istri atau karena mimpi, sehingga kesiangan bangun tidur hingga telah masuk waktu shalat subuh, tetap wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Meskipun dia masih dalam keadaan junub. Keadaannya itu tidak menghalanginya dari berpuasa. Sebab ibadah puasa itu pada hakikatnya tidak mensyaratkan kesucian seseorang dari hadats besar dan hadats kecil. Berbeda dengan shalat, tawaf dan lainnya yang mensyaratkan pelakunya harus suci dari hadats besar dan kecil. Demikian juga bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa di siang hari, bila dia tertidur dan mengalami mimpi hingga keluar mani, meski dirinya tidak suci dari hadats besar, namun puasanya tidak batal. Dia tetap dibenarkan dan wajib untuk melanjutkan puasanya hari itu.

Yang dilarang ketika sedang shaum adalah melakukan hubungan “intim”, karena hal tersebut termasuk hal-hal yang membatalkan shaum, bahkan wajib membayar kaffarat. Atau melakukan onani, yaitu melakukan tindakan yang merangsang dirinya sendiri hingga keluar mani. Atau melakukan percumbuan yang meski tidak sampai melakukan hubungan intim, tetapi sampai keluar maninya. Semua perbuatan itu tentu membatalkan puasa. Berkaitan dengan seseorang yang bangun tidur masih dalam keadaan junub itu boleh puasa. Bahkan hal seperti itu justru pernah dialami langsung oleh Rasulullah SAW.

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bangun pagi dalam keadaan junub padahal telah masuk waktu sholat shubuh. Kemudian Rasulullah SAW melaksanakan mandi wajib, kemudian sholat shubuh dan tetap melanjutkan shaumnya. Salah satu di antara dalil riwayatnya bisa kita lihat dalam hadits berikut ini. Dari Abu Bakar (tabi’in), ia mengatakan bahwa Marwan ra. mengutus dirinya menemui Ummu Salamah ra. untuk bertanya tentang seseorang yang di waktu pagi dalam keadaan junub, apakah ia boleh shaum. Ummu Salamah menjawab, "Rasulullah SAW pernah di waktu pagi dalam keadaan junub setelah berjima’ bukan berihtilam, kemudian beliau tidak berbuka (tetap melanjutkan shaumnya) dan juga tidak mengqadha'-nya." (HR Muslim).

Diolah dari sebuah sumber

Baca Juga:

  1. Tata cara mandi Junub 
  2. Tata cara mandi junub bagi wanita 
  3. Jumlah air dan doa thaharah 
  4. Muntah membatalkan Puasa? 
  5. Menegakkan timbangan (Hukum adil)

Wednesday, August 26, 2009

Hukum Mengucapkan Selamat Hari Raya Non Muslim (Nasrani/Natal)

Mengucapkan selamat Natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekedar basa-basi antar agama. Karena tiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing. Karena itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang dibayangkan. Sama tidak sesederhana bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadatian itu punya makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal cuma dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.

Dalam surat Al-Furqan yang menceritakan tentang sifat ciri-ciri hamba Allah, ada larangan untuk menghadiri ritual agama lain sekaligus haram untuk mengucapkan selamat atas ritual penyembahan berhala itu. Dan orang-orang yang tidak menghadiri Az-Zuur, dan apabila mereka bertemu dengan yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS Al-Furqan: 72). Oleh sebagian ahli tafsir, makna ayat ini bukanlah bersaksi palsu, namun maknanya adalah menghadiri Az-Zuur. Ketika ditanya makna Az-Zuur, jawabannya adalah perayaan atau ibadah orang-orang musyrik. Natal adalah ibadah ritual dan merupakan shalat-nya pemeluk nasrani. Sehingga kita diharamkan menghadiri ibadah itu termasuk dilarang mengucapkan selamat atas ibadah yang mereka lakukan. Semua itu lepas dari urusan bahwa mereka menyekutukan Isa a.s. sebagai anak Tuhan, juga lepas dari urusan trinitas, juga lepas dari urusan bahwa mereka berperang atau berdamai dengan kita. Artinya, meski seandainya ada sekelompok sekte nasrani yang tidak menuhankan Nabi Isa a.s. dan tidak mentrinitaskan beliau, tetap saja kita diharamkan menghadiri Natal itu. Karena masalahnya adalah Natal itu merupakan ritual ibadah agama lain.

Di sinilah titik permasalahannya Pengucapan tahni'ah (ucapan selamat) Natal kepada Nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Benar bahwa muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi bila mereka zimmi. Namun perlu diberi garis tengah yang jelas. Manakah batasan hormat dan ridha di sini. Hormat adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.

Kita hormati nasrani karena memang itu kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang menjadi batas tegas disini. Jangan sampai ada perasaan takut di hati para tokoh agama kita bila belum mengucapkan selamat Natal, maka kita kurang toleran, kurang ramah dan kurang menghargai agama lain. Ini penyakit kejiwaan yang hingga dalam lubuk sanubari kebanyakan kita. Sehingga terkadang menjelma menjadi sikap yang kurang tepat. Bila kita tidak mengucapkan selamat Natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan.

Adanya orang nasrani di republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri di mana umat Islam minoritas, bagaimana mereka diteror, dipaksa, dipersulit, dibuat tidak betah, diganggu dan dianiyaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi di mana pun di mana ada umat Islam yang minoritas baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya. Jadi tidak mengucapkan selamat Natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing.

Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut. Nabi Isa itu memang nabi kita juga dan kita wajib beriman atas kenabiannya. Tetapi dalam perayaan Natal, memang ada masalah mendasar di luar urusan memberi ucapan selamat. Pertama, masalah ketidak-benaran tanggal atau bulan kelahiran Nabi Isa a.s. itu sendiri. Sehingga kalau toh kita ingin mengucapkan selamat Natal pada saat seperti itu, benarkah 25 Desember itu adalah hari lahirnya? Kedua, kalaulah benar beliau lahir pada tanggal itu, apakah bisa dibenarkan mengucapkan selamat atas hari lahir seorang nabi Isa a.s.? Padahal pada hari lahirnya nabi Muhammad sekalipun kita tidak diajarkan untuk saling mengucapkan selamat hari lahir. Bagaimana mungkin pada hari lahirnya Isa kita memberikan ucapan selamat ?

Dikutib dari sebuah sumber (anonymous)

Silakan Baca juga:

  1. Islam agama paling sulit? 
  2. Dosa-dosa besar (1) 
  3. Dosa besar (2) 
  4. Cara-cara Memandikan jenazah

Hukum Memelihara dan Memotong Jenggot

Alhamdulillah. Memelihara jenggot adalah pebuatan yang disyariatkan dan sunnah Rasulullah yang harus diagungkan. Hal ini berdasarkan hadits lbnu Umar, dimana beliau telah meriwayatkan dari Nabi SAW yang mengatakan sebagai berikut: "Berbedalah kamu dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis." (HR. Bukhari). Perkataan i'fa (pelihara) dalam riwayat lain diartikan tarkuha wa ibqaauha (tinggalkanlah dan tetapkanlah). Hadits ini menerangkan alasan diperintahkannya memelihara jenggot dan mencukur kumis, yaitu supaya berbeda dengan orang-orang musyrik. Sedang yang dimaksud orang-orang musyrik di sini ialah orang-orang Majusi penyembah api, dimana mereka itu biasa menggunting jenggotnya, bahkan ada yang mencukurnya. Perintah Rasulullah ini mengandung pendidikan untuk umat Islam supaya mereka mempunyai keperibadian tersendiri serta berbeda dengan orang-orang kafir lahir dan batin, yang tersembunyi maupun yang tampak. Lebih-lebih dalam hal mencukur jenggot ini ada unsur-unsur menentang fitrah dan menyerupai perempuan. Sebab jenggot adalah lambang kesempurnaan laki-laki dan tanda-tanda yang membedakan dengan jenis lain. Namun demikian, bukan bererti samasekali tidak boleh memotong jenggot, karena kadang-kadang jenggot itu kalau dibiarkan bisa panjang dan menjijikkan sehingga dapat mengganggu pemiliknya. Untuk itulah, maka jenggot yang demikian boleh digunting ke bawah maupun ke samping, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi. Hal ini pernah juga dikerjakan oleh sebagian ulama salaf, seperti kata lyadh: "Mencukur, menggunting dan mencabut jenggot dimakruhkan. Tetapi kalau digunting dari panjangnya atau ke sampingnya apabila jenggotnya tebal sekali , maka itu satu hal yang baik." Dan Abu Syamah juga berkata: "Terdapat suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya. Berita yang terkenal, bahwa yang berbuat demikian itu ialah orang-orang Majusi, bahwa mereka itu biasa mencukur jenggotnya." (Lihat Fathul Bari, bab memelihara jenggot) Kami berpendapat: Bahwa kebanyakan orang-orang Islam yang mencukur jenggotnya itu lantaran mereka meniru musuh-musuh mereka dan kaum penjajah negeri mereka dan orang-orang Yahudi dan Kristen. Sebagaimana kelazimannya, bahwa orang-orang yang kalah senantiasa meniru orang yang menang. Mereka melakukan hal itu jelas telah lupa kepada perintah Rasulullah yang menyuruh mereka supaya berbeda dengan orang-orang kafir. Di samping itu mereka telah lupa pula terhadap larangan Nabi tentang menyerupai orang kafir, seperti yang tersebut dalam haditsnya yang mengatakan: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia itu termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud) Kebanyakan ahli fiqih yang berpendapat tentang haramnya mencukur jenggot itu berdalil perintah Rasul di atas. Sedang tiap-tiap perintah asalnya menunjukkan wajib, lebih-lebih Rasulullah sendiri tetah memberikan alasan perintahnya itu supaya kita berbeda dengan orang-orang kafir. Dan berbeda dengan orang kafir itu sendiri hukumnya wajib.Tidak seorang pun ulama salaf yang meninggalkan kewajiban ini. Tetapi sebagian ulama sekarang ada yang membolehkan mencukur jenggot karena terpengaruh oleh keadaan dan memang karena bencana yang telah meluas. Mereka ini berpendapat, bahwa memelihara jenggot termasuk perbuatan Rasulullah yang bersifat duniawiyah, bukan termasuk persoalan syara' yang harus ditaati. Tetapi yang benar, bahwa memelihara jenggot itu bukan sekedar fi'liyah Nabi, bahkan ditegaskan pula dengan perintah dan disertai alasan supaya berbeda dengan orang kafir. Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa berbeda dengan orang kafir adalah suatu hal yang ditekankan oleh syara'. Dan menyerupai orang kafir dalam lahiriahnya dapat menimbulkan perasaan cinta dalam hatinya, sebagaimana perasaan cinta dalam batin dapat menimbulkan perasaan dalam lahir. Hal ini sudah dibuktikan berdasarkan pengalaman. Selanjutnya ia berkata: AI-Qur'an, Hadits dan Ijma' sudah menegaskan perintah supaya berbeda dengan orang kafir dan dilarang menyerupai mereka secara keseluruhannya. Apa saja yang kira-kira menimbulkan kerusakan walaupun tersembunyi, dapat dikaitkan dengan suatu hukum dan dapat dinyatakan haram. Maka menyerupai orang kafir pada lahiriahnya dapat disebut sebagai menyerupai akhlak dan perbuatan yang tercela, bahkan bisa berpengaruh terhadap akidah. Pengaruhnya ini memang tidak dapat dikonkritkan, dan kejelekan yang ditimbulkan akibat dari sikap menyerupai itu sendiri kadang-kadang tidak begitu jelas, bahkan kadang-kadang sukar dibuktikan. Tetapi setiap hal yang menjadi sebab timbulnya suatu kerusakan, syara' menganggapnya suatu hal yang haram. (Lihat kitab Iqtidhaus Shiratil Mustaqim) Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita simpulkan, bahwa masalah mencukur jenggot ini ada tiga pendapat: Pendapat pertama: Hukumnya haram. Yang berpendapat demikian, ialah lbnu Taimiyah dan tain-lain. Pendapat kedua: Makruh. Yang berpendapat demikian ialah lyadh. sebagaimana tersebut dalam Fathul Bari. Pendapat ketiga: Mubah. Yang berpendapat demikian sementara ulama sekarang. Tetapi barangkali yang agak moderat dan bersikap tengah-tengah yaitu pendapat yang menyatakan makruh. Sebab tiap-tiap perintah tidak selamanya menunjukkan wajib, sekalipun dalam hal ini Nabi telah memberikan alasannya supaya berbeda dengan orang kafir. Perbandingan yang lebih mendekati kepada persoalan ini ialah tentang perintah menyemir rambut supaya berbeda dengan orang Yahudi dan Kristen. Tetapi sebagian sahabat ada yang tidak mengerjakannya. Oleh karena itu perintah tersebut sekedar menunjukkan sunnat. Betul tidak ada seorang pun ulama salaf yang mencukur jenggot, tetapi barangkali saja karena mereka tidak begitu memerlukan, karena memelihara jenggot waktu itu sudah menjadi kebiasaan mereka. (Sumber: Al-Halal Wal Haram Fil Islam, Syaikh Muhammad Yusuf Qardhawi) Silakan baca: 1. Hukum menikah dengan pezina 2. Memelihara anjing bagi Muslim 3. Syirik besar dan kecil 4.Sentuhan pria-wanita, membatalkan wudlu?

Kurban Secara Rombongan/patungan/ arisan kurban

Kurban adalah termasuk ritual ibadah mahdhah, yaitu terikat dengan tata cara dan aturan yang baku. Sehingga kita tidak dibenarkan melakukan terlalu banyak improvisasi di dalamnya. Sebab bisa jadi malah merusak ritualitas ibadah tersebut, yang sering diisitlahkan oleh para ulama dengan sebutan: tidak sah. Misalnya masalah patungan untuk membeli hewan qurban, secara tegas memang sudah ada aturan baku yang turun dari langit. Peraturan itu bersifat sakral dan tidak boleh diotak-atik lagi.

Dahulu Rasulullah SAW telah menyampaikannya dengan terang kepada para shahabat, lalu praktek seperti itu telah dilakukan selama ribuan tahun oleh umat Islam hingga hari ini. Khusus masalah patungan atau biasa disebut dengan istilah musyarakah, ada ketentuan resmi dimana dibolehkan untuk menyembelih sapi, kerbau atau unta bersama-sama sebanyak 7 orang dan tidak boleh lebih dari itu. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW: Dari Jabir ra. Berkata, ”Kami menyembelih qurban bersama Rasulullah SAW di Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang." (HR Muslim, Abu Daud dan Tirmizy). Jadi kalau pun ada urunan atau patungan, maka harus ditetapkan hanya tujuh orang saja, tidak boleh lebih dari itu. Dan hewannya tidak boleh kambing, harus sapi, kerbau atau unta. Demikianlah Rasulullah SAW mengajarkan aturan ritual kepada kita.

Aturan ini bersifat suci dan sakral, tidak perlu dipertanyakan sebab dan hikmahnya, apalagi dipertanyakan tujuannya. Dan sikap menerima dan berserah diri kepada aturan main masalah nusuk (penyembelihan) ini sudah menjadi landasan keislaman kita. Bahkan setiap hari dibaca di dalam shalat lima waktu. Yaitu di dalam doa iftitah: Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamaati lillahi rabbil 'alamin. Sesunggunya shalatku, penyembelihan kurbanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah tuhan alam semesta. Bukan hanya niatnya kita serahkan kepada Allah SWT, tetapi tata cara dan aturannya pun harus mengacu kepada apa yang telah Allah gariskan. Agar persembahan kita bisa diterima dan dimasukkan ke dalam database amal kebajikan kita. Kalau kita lakukan tanpa memenuhi prosedur yang dibenarkan, dikhawatirkan nanti di akhirat kita akan kecewa berat. Sebab ternyata di dalam database catatan amal kebajikan kita, tidak ada pahala ibadah penyembelihan hewan qurban, padahal kita merasa sudah melakukannya. Alangkah ruginya kita.

Maka proyek patungan uang untuk membeli hewan qurban yang melebihi 7 orang itu, telah keluar dari tata cara dan aturan baku dalam ibadah ritual. Maka tidak ada pahala atas nama ibadah qurban. Paling-paling pahala menyumbang kepada 7 orang yang dipilih. Yang dapat pahala qurban hanya 7 orang yang dipilih atas namanya itu saja. Dalam pandangan kami, dari pada uang Rp 5.000 atau Rp 10.000 itu buat patungan beli kambing qurban, mungkin malah lebih bermanfaat untuk sedekah yang lainnya saja. Toh sama-sama ibadah juga. Bahkan bisa jadi lebih berguna, misalnya untuk bayaran sekolah, membeli buku bermanfaat atau proyek realistis lainnya. Sementara pada hari Idul Qurban, rasanya sudah terlalu banyak hewan qurban yang disembelih.
Bahkan di beberapa tempat, umumnya hanya dimanfaatkan untuk pesta bakar sate kalangan yang sebenarnya sudah berkecukupan. Jadi buat apa patungan untuk membeli hewan yang tidak bernilai qurban, lalu sekedar untuk makan-makan. Namun ada juga riwayat yang menyebutkan satu ekor kambing untuk satu keluarga, sebagaimana hadits berikut ini. Abu Ayyub berkata, ”Dahulu orang di zaman Rasulullah SAW menyembelih seekor kambing kurban untuknya dan anggota keluarganya, mereka makan dan dan memberi makan orang lain hingga orang semakin berbanga-bangga seperti yang kamu lihat." (HR Ibnu Majah dan Tirmizy).

Diolah dari sebuah sumber (anonymous)
Artikel lain:
1. Waktu-waktu penyembelihan hewan Kurban
2. Kurban sekaligus aqiqah
3. Posisi Sex ala Nabi SAW
4. Doa sembelih hewan  Kurban dan atau aqiqah

Tuesday, August 25, 2009

Batas Waktu Penyembelihan Hewan Qurban

Dari Sulaiman bin Musa dari Jubair bin Muth'im dari Nabi SAW bersabda, "Semua hari tasyrik itu bisa untuk menyembelih qurban." (HR Ahmad dan Ad-Daaruquthuy) Fawaid 1. Hadits ini menjelaskan bahwa waktu untuk menyembelih hewan qurban itu selain hari 'Idul Adha juga terus berlaku selama hari tasyriq. Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Dzul Hijjah. 2. Sehingga waktu yang dibenarkan untuk menyembelih hewan qurban ada 4 hari, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 bulan Dzul Hijjah 3. Batas awalnya adalah setelah selesai shalat 'Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah dan batas akhirnya adalah saat matahari terbenam tanggal 13 Dzul Hijjah. 4. Di luar waktu tersebut, sembelihan itu tidak sah sebagai qurban, karena keluar dari aturan baku yang telah ditetapkan Rasulullah SAW. baca juga: 1. Doa menyambut 1 Syawal 2. Doa keberhasilan Ibadah Ramadhan 3. Hukum pria berhias diri 4. Tunangan/khitbah/Melamar

Apa Arti Taqabballahu Minna Waminkum dan Hukumnya?

Diantara sekian banyak ungkapan atau ucapan selamat (arab: tahni'ah) dalam suasana hari 'Ied Al-Fithr, nyaris semuanya tidak ada riwayatnya yang berasal dari Rasulullah SAW. Kecuali lafadz taqabbalallahu minaa wa minka, yang maknanya, "Semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal Anda." Namun riwayat yang menyebutkan hal ini oleh banyak ulama tidak lepas dari kritik. Salah satunya adalah Al-Baihaqi yang mendhaifkannya. Beliau membuat satu bab khusus dalam kitabnya, As-Sunan Al-Kubra, dinamai bab itu dengan "Bab apa-apa yang diriwayatkan tentang ucapan sesama orang-orang pada hari 'Ied: taqabbalallahu minaa wa minka." Di dalam bab tersebut, Al-Baihaqi menyebutkan banyak hadits yang berisikan lafadz tersebut, namun beliau mendhaifkan hadits-hadits itu. Sebagai gantinya beliau menuliskan sebuah riwayat yang bukan hadits dari Rasulullah SAW, melainkan hanya riwayat yang menjelaskan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendiamkan ungkapan tersebut. Bahwa Adham maula Umar bin Abdil Aziz berkata,"Dahulu kami mengucapkan kepada Umar bin Abdil Aziz pada hari 'Ied, "taqabbalallahu minaa wa minka, ya amiral mukminin", maka beliau pun menjawabnya dan tidak mengingkarinya. (Lihat As-Sunan Al-Kubra, oleh Al-Baihaqi jilid 3). Tapi sebagaimana kita ketahui bersama, meski sebuah hadits itu dianggap dha'if, tapi selama tidak sampai tingkat kedhaifan yang parah, masih bisa dijadikan landasan amal dalam hal-hal yang bersifat keutamaan. Maksudnya, meski dha'if tetapi tidak palsu, jadi hanya lemah periwayatannya tetapi tetap hadits juga. Dan jumhur ulama pada umumnya bisa menerima hadits dha'if asal tidak terlalu parah, paling tidak untuk sekedar menjadi penyemangat dalam keutamaan amal-amal (fadhailul a'mal). Apalagi bila kita merujuk kepada landasan syar'i tentang pengucapan selamat kepada seseorang, yang dalam bahasa arab disebut dengan istilah tahni'ah. Sebenarnya syariat Islam punya landasan syar'i secara umum. Yaitu yang bersumber dari peristiwa diterimanya taubat seorang shahabat nabi SAW, yaitu Ka'ab bin Malik. Saat Allah mengumumkan bahwa taubatnya diterima, berduyun-duyun para shahabat yang lain bahkan termasuk Rasulullah SAW ikut memberikan ucapan selamat. Sekedar menyegarkan ingatan, shahabat Ka'ab bin Malik adalah salah satu di antara mereka yang membolos tidak ikut perang Tabuk. Lalu sebagai hukumannya, beliau diboikot untuk tidak boleh diajak berbicara bahkan diasingkan selama beberapa lama. Setelah selesai masa hukumannya, Allah SWT kemudian menerima taubatnya. Saat itu kemudian Rasulullah SAW pun ikut memberikan ucapan selamat. Ketika Aku mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW, beliau sambil menurunkan wajahnya karena bahagia bersabda,"Berbahagialah dengan hari terbaik yang melawatimu semenjak kamu dilahirkan ibumu." (HR Bukhari) Maka ucapan selamat itu datang dari mulut nabi SAW sebagai ungkapan ikut berbahagia yang sedang dirasakan oleh Ka'ab saat itu. Dan sebenarnya, siapapun sah-sah saja mengungkan rasa turut berbahagia dengan beragam ungkapan, tanpa harus diatur-atur secara baku. Sebagaimana setiap orang dibolehkan mendoakan temannya dengan lafadz yang disukainya. Diolah dari sebuah sumber (Anonymous) Baca Juga: 1.Jenis, tata cara, dan jumlah (cara menghitung) Zakat Mal 2. Menjaga kemaluan dan lidah 3. Berhadats, mendahului imam, dan doa i'tidal

I'tikaf Ramadhan(waktu, sunat, dan hal terlarang)

I'tikaf adalah berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di dalam kitab Al-Muhalla, Ibnu Hazm menyebutkan bahwa i'tikaf itu adalah berdiam di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT pada waktu tertentu, baik siang atau malam hari. (Lihat al Muhalla jilid 5) Adalah Rasulullah SAW diriwayatkan bahwa beliau selalu menjalankan i'tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Di antara dalilnya adalah hadits berikut ini Dari A'isyah ra, Ibnu Umar ra. dan Anas ra. berkata, "Rasulullah SAW itu beri'tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan." (HR Bukhari Muslim) Disebutkan bahwa beliau melakukannya hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya, beliau beri'tikaf hanya selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata, "Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i'tikaf bukan sunnat." Namun ada juga keterangan bahwa suatu ketika Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad, "Tahukah anda hadits yang menunjukkan keutamaan I'tikaf?" Imam Ahmad menjawab, "Tidak, kecuali hadits lemah." Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah i'tikaf itu sendiri. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama' salafus shaleh senantiasa melakukan ibadah ini. Syarat dan Rukun I'tikaf. Untuk bisa sah dalam melakukan i'tikaf, seseorang harus memenuhi kriteria sebagai muslim, berakal dan suci dari janabah (junub), haidh dan nifas. Dan i'tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas. Sedangkan rukun i'tikaf itu sederhana saja, yaitu yang penting melakukan niat, kemudian berdiam di masjid, tidak keluar-keluar lagi. Semua aktifitas selama beri'tikaf itu dilakukan di dalam masjid. Termasuk makan, tidur dan yang lainnya. Kecuali buang air atau mandi, tentu saja. Hal-hal yang disunnahkan waktu i'tikaf Disunnahkan dalam beri'tikaf untuk memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Bentuknya bisa saja dengan melakukan shalat-shalat sunnah, atau membaca Al-Qur'an, atau mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do'a dan sebagainya. Juga dimungkinkan untuk disampaikan pengajian, ceramah, taklim, diskusi ilmiah, tela'ah buku dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah (ritual). Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah. Yang Boleh dan Tidak Boleh Bagi Orang yang Beri'tikaf Di antara yang boleh dilakukan oleh seseorang yang sedang beri'tikaf di masjid antara lain: a. Keluar dari tempat i'tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah. b. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan. c. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya. d. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid. Sedangkan diantara yang tidak boleh dilakukan atau membatalkan i'tikaf antara lain: a. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i'tikaf yaitu berdiam di masjid. b. Murtad atau keluar dari agama Islam. c. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk d. Mendapat haidh atau nifas bagi wanita e. Bersetubuh dengan istri f. Pergi shalat jum'at bagi mereka yang membolehkan i'tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jumat Waktu beri'tikaf Khusus untuk i'tikaf di bulan Ramadhan, waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke 21 hingga terbenam matahari pada malam 1 Syawwal. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW: Siapa yang ingin i'tikaf bersamaku, hendaklah ia beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan. (HR Bukhari). Yang dimaksud dengan 10 hari di sini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Sedangkan berakhirnya, yaitu setelah terbenam matahar pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied. Diolah dari berbagai sumber Silakan buka: 1.Tahajud di Bulan Ramadhan 2. Suntik, Infus dan tindakan media ketika Puasa (batal ga Ya?) 3. Obat asthma dan medis ketika puasa 4. Anak tiri dan angkat, dapat warisan?

Monday, August 24, 2009

Mendapat Hadiah,rikaz, Perlukah dizakati?

Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa seorang yang menerima hadiah sama kasusnya dengan mendapat harta rikaz. Sehingga setiap hadiah yang diterima seseorang, dikenakan kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebesar 20 % dari nilai total hadiah itu. Misalnya Anda mendapat hadiah berupa mobil dari hasil undian hadiah dengan nilai 100 juta. Maka menurut pendapat ini anda wajib mengeluarkan Rp 20 juta (1/5) untuk zakat. Kelemahan pendapat ini adalah pada qiyas yang kurang tepat antara hadiah dengan harta rikaz. Dimana umumnya ulama tidak mau terlalu mudah mengqiyaskan keduanya. Sehingga bila kita merujuk kepada pendapat umumnya para ulama, mereka mengatakan bahwa zakat hadiah itu tidak ada dalam syariat Islam. Sebab zakat itu harus didasari dari nash-nash yang sharih, jelas dan disebutkan secara eksplisit baik dalam Al-Qur'an Al-Kariem maupun dalam As-Sunnah An-Nabawiyah. Bukan hasil pengembangan ijtihad atas nash-nash tersebut. Apalagi kita tahu bahwa zakat itu bagian dari rukun Islam, maka segala ketentuannya harus benar-benar mengacu kepada dalil-dalil yang qathi' secara dilalahnya. Dan ternyata memang kita tidak menemukan dalil sharih, jelas dan eksplisit tentang zakat hadiah. Padahal zakat lainnya seperti emas, perdagangan, pertanian atau pun peternakan telah jelas-jelas disebutkan. Pendapat tidak adanya zakat untuk penerima hadiah umumnya dipegang oleh para ulama baik salah maupun khalaf, termasuk salah satunya adalah Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Beliau termasuk yang menolak keberadaan zakat hadiah, lantaran hanya merupakan pengembangan dari ijtihad dan qiyas yang menurutnya tidak bisa dijadikan landasan. Menurut beliau, harta yang wajib dizakati itu sudah ada ketentuannya sendiri, serta harus berdasarkan dalil yang secara lengkap menyebutkan jenis kekayaannya. Harta rikaz sendiri dikenal dalam fiqih Islam sebagai harta karun peninggalan umat terdahulu yang ditemukan begitu saja oleh seseorang secara kebetulan. Bahkan para fuqaha memberikan batasan bahwa rikaz itu hanyalah yang berbentuk emas atau perak, yang merupakan peninggalan umat non Islam di masa lalu (jahiliyah), serta dipendam di dalam tanah. Kalaupun ada perluasan, sebagian ulama masih membolehkan barang temuan yang berbentuk besi, kuningan, tembaga, perunggu dan jenis logam lainnya sebagai rikaz. Yang juga telah disepakati para ulama adalah bahwa rikaz itu harta peninggalan orang yang hidup di masa lalu dalam keadaan non Islam (jahiliyah). Sedangkan peninggalan dari sejarah Islam, tidak disebut dengan rikaz, melainkan luqathah. Dan tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat luqathah, karena seseorang yang menemukan luqathah harus mengembalikannya kepada yang pemiliknya. Maka amat jauhlah qiyas antara hadiah dengan luqathah atau pun dengan rikaz. Keduanya nyaris sama sekali tidak mirip, sehingga sulit sekali menerima pendapat yang menyamakan antara kedua. Para ulama umumnya kurang menerima pendapat bahwa seorang yang mendapat hadiah kita samakan dengan orang yang mendapat rikaz atau luqathah. Diolah dari sebuah sumber (anonymous) Baca Juga: 1.Zakat Profesi jaman Nabi SAW 2. Besarnya dosa memakan riba/bunga bank 3.Jenis, jumlah, dan tata aturan Zakat MAl 4. Cara Mengganti puasa yang telah beberapa tahun 5. Sex ala nabi SAW, untuk mendapat anak laki-laki

Bolehkah Zakat Fitrah/ fitri Diganti Dengan Uang (Konversi Zakat Fithr dengan Uang)?

Sebenarnya kalau kita lihat filosofi zakatul fithr adalah zakat yang bersifat "cepat tanggap." Maksudnya, zakat itu diberikan pada malam lebaran atau paling lambat pada pagi hari tanggal 1 Syawwal sebelum kita melakukan shalat 'idul fithr, lalu para penerimanya bisa langsung menikmatinya di hari yang sama. Dari segi bentuknya, zakat ini memang berbentuk bahan pangan yang bisa mengenyangkan. Sehingga di hari fithr itu, diharapkan tidak ada lagi orang yang harus menahan lapar karena kemiskinannya. Semua orang harus terisi perutnya di hari itu, karena hari itu adalah hari raya fithr, yaitu hari raya dimana semua orang tidak puasa. Kata fithr itu sendiri berasal dari ifthar, yang maknanya berbuka puasa. Dan berpuasa pada hari fithr itu sendiri hukumnya haram. Maka amat wajar bila Rasulullah SAW mensyariatkan untuk memberikan makanan pokok di hari itu kepada fakir miskin. Sebab dengan memberi mereka makanan langsung, bisa segera dimakan. Sedangkan kalau memberi dalam bentuk uang, belum tentu segera bisa dibelikan makanan. Bayangkan di zaman itu tidak ada restoran, rumah makan, mall, super market 24 jam dan sebagainya. Padahal waktu membayar zakat fitrah itu pada malam lebaran. Bisa-bisa di hari raya, orang miskin itu punya uang tapi tidak bisa makan. Ini hanya sebuah analisa. Namun Imam Abu Hanifah membolehkan mengganti makanan itu sesuai dengan harganya. Pendapat beliau nampaknya lebih sesuai dengan kondisi sekarang ini. Uang di masa kita ini telah menjadi alat tukar yang sangat praktis. Dan bahan-bahan makanan di hari raya fithr itu di zaman kita ini masih tersedia. Karena itu para ulama di masa kini melihat bahwa dengan membayar zakatul fithr menggunakan uang, lebih banyak mashlahatnya ketimbang dengan beras atau bentuk makanan yang lainnya. Meski demikian, perlu juga dilihat realita sebenarnya. Justru tepat pada hari lebaran, begitu banyak warung atau restoran yang tutup lantaran pemiliknya pada pulang kampung. Paling tidak, sebagain besar warung tegal di Jakarta ikut tutup. Jadi kalau ada seorang miskin ingin beli makanan di hari raya fithr, boleh jadi dia agak sedikit mengalami kesulitan juga. Yaitu bila dia ingin makan di 'warteg' favoritenya. Jenis Makanan Kita tahu bahwa jenis makanan tiap orang berbeda-beda. Dan nilainya pun pasti berbeda. Untuk ukuran kita di Jakarta pada tahun 2005 ini, katakanlah sekali makan di warung nasi pinggir jalan paling murah seharga Rp 5.000 hingga Rp 10.000. Tapi kadangkala kita masuk restoran mewah yang tiap orang bisa kena harga hingga puluhan bahkan ratusan ribu untuk sekali makan. Tetapi memang yang seperti tidak terjadi setiap hari. Jadi yang kita tetapkan sebagai ukuran adalah makanan yang paling sering kita makan atau yang menjadi standar menu makan kita sehari-hari, bukan yang kadang-kadang kita makan. Namun juga tidak salah kalau kita ingin melebihkan pemberian kita kepada fakir miskin di hari yang berbahagia itu. Silahkan lebihkan dari porsi biasanya dan insya Allah akan lebih baik. Besar harta yang harus dikeluarkan adalah satu sha' gandum, kurma atau makanan sehari-hari. Bila dikonversikan ke bentuk beras menjadi 2, 176 kg. Dalam mazhab Hanafi, pembayarannya boleh dikonversikan dalam bentuk uang seharga 1 sha' itu sesuai dengan jenis makanan di negeri masing-masing. Kapan Dibayarkan Zakat Fithr diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat Iedul Fithr dan boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu. Bahkan ada juga yang membolehkan sejak awal Ramadhan. Diolah dari sebuah sumber (Anonymous) Baca Juga: 1.Zakat Profesi jaman Nabi SAW 2. Besarnya dosa memakan riba/bunga bank 3.Jenis, jumlah, dan tata aturan Zakat MAl 4. Sex ala nabi SAW, untuk mendapat anak laki-laki

Menjual Kulit Hewan Qurban untuk Kepentingan Masjid dan Panitia

Hewan yang disembelih untuk qurban itu ditujukan untuk tiga hal, yaitu dimakan sendiri, dihadiahkan atau disedekahkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah membagi daging kurban menjadi tiga, sepertiga untuk keluarganya, sepertiga untuk fakir miskin dan tetangga dan sepertiga untuk orang meminta-minta" (H.R. Abu Musa al-Asfihani dalam Wadlaif) Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. bersabda, "Makanlah sebagian, simpanlah sebagian dan bersedekahlah dengan sebagian."

Adapun panitia penyembelihan hewan qurban sesungguhnya secara syar'i tidak diisyaratkan untuk dibentuk, sehingga dari segi pembiayaan pun tidak dialokasikan dana secara syar'i. Hal ini berbeda dengan amil zakat, yang memang secara tegas disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem sebagai salah satu mustahiq zakat. Siapa yang menjual kulit qurban (udhiyyah) itu maka tidak dianggap qurban baginya. (Hadis riwayat al-Hakim) Maka bila seseorang meminta jasa orang lain (tukang jagal) untuk disembelihkan hewan qurban miliknya, tetapi dengan imbalan berupa kulit hewan itu menjadi milik tukang jagalnya, maka tidaklah termasuk qurban, sesuai hadits di atas.

Demikian juga dengan panitia penyembelihan dan pendistribusian hewan qurban, seharusnya mereka punya kas tersendiri di luar dari hasil hewan yang diqurbankan. Boleh saja panitia mengutip biaya jasa penyembelihan kepada mereka yang meminta disembelihkan. Hal seperti ini sudah lumrah, misalnya untuk tiap seekor kambing, dipungut biaya Rp 30.000 s/d Rp 50.000. Biaya ini wajar sebagai ongkos jasa penyembelihan hewan dan pendistribusian dagingnya, dari pada harus mengerjakan sendiri. Tetapi panitia penyembelihan hewan qurban dilarang mengambil sebagian dari hewan itu untuk kepentingan penyembelihan. Baik dengan cara menjual daging, kulit, kepada atau kaki. Demikian pula dengan masjid, tidak perlu masjid dibiayai dari hasil penjualan daging qurban, sebab daging atau pun bagian tubuh hewan qurban itu tidak boleh diperjual-belikan. Termasuk dalam hal ini jasa para tukang potong, haruslah dikeluarkan dari kas tersendiri, di luar dari hewan yang dipotong. Ali ra. berkata, "Aku diperintah Rasulullah menyembelih kurban dan membagikan kulit dan kulit di punggung onta, dan agar tidak memberikannya kepada penyembelih" (Bukhari-Muslim).

Memberikan kulit atau bagian lain dari hewan kurban kepada penyembelih bila tidak sebagai upah, misalnya pemberian atau dia termasuk penerima, maka diperbolehkan. Bahkan bila dia sebagai orang yang berhak menerima kurban ini lebih diutamakan sebab dialah yang banyak membantu pelaksanaan kurban. Bagi pelaku kurban juga diperbolehkan mengambil kulit hewan kurban untuk kepentingan pribadinya. Aisyah r.a. diriwayatkan menjadikan kulit hewan kurbannya sebagai tempat air minum. Diolah dari beberapa sumber

Silakan baca juga:
1. Kurban sekaligus Aqiqah
2. Aqiqah diganti uang shodaqoh
3. Doa sembelih hewan kurban dan atau aqiqah

Friday, August 21, 2009

Hukum Makanan Hasil Peragian

Berkaitan dengan makanan peragian/fermentasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

  1. Makanan hasil peragian itu beramacam-macam tingkatannya. Tidak semua tingkatan haram, karena secara spesifik belum tentu di semua tingkatan sudah berubah menjadi khamar. Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa maksimal suatu makanan atau obat itu mengandung 1% alkohol, untuk bisa diperbolehkan atau masih ditolelir kehalalannya. Sedangkan secara fiqih, selama makanan itu belum menjadi khamar, meski sudah mulai berubah rasanya, hukumnya masih halal.
  2. Tidak setiap zat yang mengandung alkohol termasuk dalam kategori khamar. Dan sebaliknya, tidak semua khamar itu mengandung alkohol. Karena bila ditilik secara ilmu kimia, banyak dari jenis makanan yang alami termasuk buah-buahan memiliki kandungan zat yang disebut sebagai Alkohol seperti nasi dan sebagainya.
Tentu saja kita tidak bisa mengatakan bahwa nasi itu adalah khamar karena secara alami mengandung kadar tertentu dari zat yang dikenal dengan nama Alkohol. Jadi untuk menentukan apakah suatu benda termasuk khamar, bukan dengan adanya alkohol atau tidak, tetapi dengan melihat apakah zat itu memabukkan atau tidak bila dikonsumi oleh masyarakat umum. Bila memabukkan, maka hukumnya adalah khamar tapi bila tidak maka bukan khamar.
Contohnya seperti perasan buah anggur. Pada tahap tertentu, perasan anggur dapat menjadi khamar dan pada tahap yang lain di mana bila diminum tidak memabukkan secara umum, maka bukan khamar. Karena itu dalam literatur fiqih sering dituliskan bahwa bila khamar bila telah berubah menjadi khall (cuka), hukumnya menjadi halal dan sebaliknya. Maka dari itu sebagian besar ulama tidak memasukkan alkohol sebagai sebagai barang najis, karena bukan khamar. Dan tidak mengapa menggunakan parfum yang mengandung alkohol dalam shalat karena tidak termasuk benda najis.
Dan kenajisan khamar sendiri sebagaimana yang disebutkan Al-Quran, bukan jenis najis secara fisik. Demikian menurut sebagian ulama. Karena dalam ayat itu dikaitkan dengan judi, anak panah sebagai rijs yang merupakan perbuatan setan.
  • Sebenarnya yang lebih tepat memang bukan sertifikat halal, tetapi sebaliknya, yaitu sertifikat haram. Sebab kalau dibandingkan, jumlah makanan yang halal dibandingkan yang haram, tentu jauh lebih banyak yang halal. Apalagi mengingat kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Al-Ashlu fil Asy-ya'i al-ibahah. Artinya, hukum asal segala sesuatu itu boleh. Jadi asumsi dasar kita tentang semua makanan itu seharusnya halal, kecuali yang secara tegas terbukti mengandung unsur-unsur yang dihalalkan. Itu pun setelah melalui uji laboratorium. Logika bahwa segalanya hukumnya haram kecuali yang dibolehkan itu memang ada di dalam fiqih, tetapi khusus dalam kasus hubungan seksual. Bunyi kaidahnya adalah: Al-Ashlu fil Abdha'i At-Tahrim, artinya bahwa hukum dasar hubungan seksual itu adalah haram. Kecuali lewat jalur yang dibenarkan seperti pernikahan. Sedangkan dalam masalah hukum makanan, hukum dasarnya adalah halal, kecuali yang tertentu, maka hukumnya haram. Kalau menggunakan logika sebaliknya, maka lembaga yang memberi sertifikat halal itu akan kehabisan waktu, karena jumlah makanan yang beredar di tengah masyarakat itu tidak terhingga. Bahkan kebanyakan tidak ada mereknya. 
  • Kalau logika berpikirnya adalah bahwa segala sesuatu itu hukumnya haram, kecuali yang ada label halalnya, bagaimana dengan sekian banyak bahan makanan lainnya yang tidak ada ada labelnya? Haruskah kita berangkat dari asumsi bahwa semua produk makanan itu haram? Kecuali yang ada label halalnya? Bagaimana mungkin kita mengklaim sebuah makanan itu tiba-tiba menjadi haram? Siapakah yang mengharamkannya? Sedangkan kaidah fiqhiyah menyebutkan: Al-Yaqinu Laa Yazuulu bisy-syakki. Artinya, hukum awal yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak bisa berubah hukumnya hanya berdasarkan rasa syak (keraguan). Logika ini pun agak kurang sejalan dengan metodologi Al-quran dan As-sunnah ketika menyampaikan masalah halal haram. Di dalam kedua sumber syariat itu tidak pernah disebutkan satu persatu nama-nama makanan yang halal. Akan tetapi yang disebutkan hanyalah yang haram saja. Mengapa? Karena yang halal itu jumlahnya tak terhingga. Sedangkan yang haram itu jumlahnya tertentu saja dan terbatas. 
Namun barangkali lembaga sertifikasi resmi yang ada di negeri ini punya pertimbangan lain yang tidak kita ketahui, wallahu a'lam bishshawab

Baca Juga:
  1. Hikmah haramnya Babi 
  2. Patung/gambar yang diperbolehkan 
  3. Mengugurkan kandungan hasil Pemerkosaan 
  4. Hukum software bajakan 
  5. Sex melalui anus dan saat haid/mens

Deposito di Bank Syariah, Apakah Tetap Riba/bunga?


Deposito biasanya terkait dengan pembungaan uang pada bank-bank konvensional. Namun di dalam bank syariah, yang disebut dengan deposito itu tentu bentuknya berbeda dengan yang di bank konvensional. Karena itu kemudian deposito itu disebut dengan deposito syariah. Artinya, pendepositoan uang dilakukan berdasarkan konsep bagi hasil, bukan berdasarkan pembungaan uang yang ribawi. Bank syariah punya produk deposito yang dijamin 100% aman dari riba. Sebab uang itu memang tidak ditanamkan dengan sistem bunga, melainkan sistem bagi hasil. Juga ada aturan bahwa bank syariah tersebut tidak dibenarkan menanamkan uang deposito pada institusi yang punya produk haram, seperti pabrik minuman keras, narkoba, pabrik rokok atau pruduk-produk haram lainnya.

Dengan demikian, pemutaran uang depostio itu tidak sampai melewati wilayah yang diharamkan, tetapi hanya terbatas pada wilayah dunia usaha yang bersih dan halal. Sehingga bagi hasilnya pun dijamin halal pula. Apalagi di setiap bank syariah sudah bisa dipastikan ada dewan pengawas syariahnya. Dewan itu terdiri dari para pakar yang paham dengan hukum perbankan syariah. Maka insya Allah bahwa apa yang bisa diberikan oleh bank syariah di negeri ini sudah mengarah kepada hal-hal yang positif. Walaupun harus kita akui bahwa masih ada di sana sini produk-produk bank syariah yang masih perlu disempurnakan. Dan masih ada wilayah yang menjadi ikhtilaf para ulama.

Namun lepas dari semua itu, toh pada intinya ada sebuah alternatif yang sudah bisa dipastikan lebih sesuai dengan hukum-hukum syariah. Dan yang menggembirakan adalah bahwa kalau dibandingkan dengan deposito konvensional, deposito syariah pun bisa memberikan hasil yang tidak kalah bersaing. Sehingga tidak sedikit orang yang tidak punya motivasi syar'i yang menanamkan uangnya di deposito syariah. Bahkan di beberapa negara di Eropa, telah demikian banyak bank yang menerapkan sistem syariah, meski pemilik dan nasabahnya bukan muslim.

Dan sungguh ironis dengan keadaan di Indonesia yang nota bene sebuah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sebab masih begitu banyak bankir yang beragama Islam tapi menjalankan bank dengan sistem konvensional. Juga begitu banyak umat Islam yang masih asyik dengan bank konvensionalnya. Padahal bank konvensional terbukti rapuh dihantam badai krisis, sedangkan bank syariah terbukti mampu bertahan.

Artikel Lain:

  1. Zakat Profesi jaman Rasulullah SAW 
  2. Indonesia Terjerat Riba 
  3. Sejarah Dinar-Dirham Nusantara 
  4. Teknik Sex ala Nabi SAW

Aqiqah diganti uang untuk shodaqoh Orang Miskin

Menyembelih hewan 'aqiqah termasuk perkara ibadah dalam Islam. Dan sebagaimana pengertian ibadah ritual, maka segala bentuk dan tata caranya harus sesuai dengan prosedur yang telah digariskan oleh syariat Islam. Seyogyanya umat Islam tidak mengada-ada atau membuat aturan sendiri yang kadang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk masalah aqiqah Rasulullah SAW pernah bersabda: Untuk anak laki-laki 2 ekor kambing yang sama (ukurannya) dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. (HR Ahmad dan Tirmidzi) Dan dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan aqiqah untuk kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husein masing-masing satu ekor kambing (HR Abu Daud) Tujuan utama dari proses ibadah ini adalah prosesi pembelihan hewan itu sendiri. Termasuk dalam hal menumpahkan darahnya. Kemudian membagi-bagikan daging tersebut kepada fakir-miskin.

Bila ketiga hal itu dihilangkan, maka esensi ibadah menjadi hilang. Dengan demikian, kalau niatnya melakukan ritual ibadah 'aqiqah, haruslah berbentuk hewan yang disembelih. Tidak dalam bentuk yang lain. Kalau Aqiqah diganti dengan uang tunai dan langsung dibagi-bagikan kepada fakir miskin, maka hal tersebut tidaklah termasuk ibadah ritual 'aqiqah. Namun sebagai sedekah biasa saja. Hal ini dikuatkan oleh para ulama, di antaranya Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Beliau berkata, "Setiap millah (agama) memiliki ibadah sholat dan sembelihan tersendiri, yang tidak dapat digantikan dengan hal-hal lainnya

Oleh karena itu kalau seseorang membayar dam haji tamattu' atau haji qiran dengan nilai uang yang berlipat-lipat jumlahnya, hal tersebut tidak akan dapat menggantikannya. Demikian pula halnya sembelihan yang lainnya seperti qurban dan 'aqiqah (Ath-Thiflu Wa Ahkamuhu). Bahkan dalam kitab Al-Asbah Wan Nadzhoir, Imam As-Suyuthi menyatakan bahwa perbedaan antara kurban dengan aqiqah adalah bahwasanya qurban boleh menggunakan sapi, unta maupun kambing sedangkan aqiqah hanya boleh menggunakan kambing saja. (lihat kitab Al-Asbah Wan Nadzhoir ).

Maka kalau dengan menyembelih sapi atau unta saja udah tidak termasuk 'aqiqah, apalagi bila hanya dengan menggunakan uang semata. Dengan demikian silakan anda mengeluarkan uang, lalu uang itu anda serahkan kepada seseorang yang akan melaksanakan penyembelihannya. Jadi intinya tetap harus ada proses penyembelihan seekor kambing.
Wallahualam bishshowaf
Diolah dari sebuah sumber (anonymous)
Baca Juga:

  1. Qurban sekaligus Aqiqah 
  2. Doa agar Kusyu Ibadah dan sholat 
  3. Islam Agama yang sulit? 
  4. Syarat Hewan Qurban

Thursday, August 20, 2009

Mengapa Surat At-Taubah Tanpa Bismillah

Memang benar tidak ada lafadz basmalah pada surat yang kesembilan, yaitu surat At-taubah, atau sering disebut juga dengan nama surat Baro'ah. Disebut dengan Baro'ah yang bermakna pemutusan hubungan, karena isinya merupakan bentuk pemutusan hubungan dengan musuh-musuh Islam saat itu. Pada penulisan surat At-Taubah dalam mushaf Al-Qur’an, lafadz basmalah tidak dicantumkan dipermulaan surat tersebut. Hal tersebut berbeda dengan surat-surat yang lainnya yang mencantumkan basmalah di permulaan ayat.
Ada beberapa penjelasan dari para ulama mengapa basmalah tersebut tidak dicantumkan di permulaan surat At-Taubah.

1. Pendapat Pertama Al-Mubarrid berpendapat bahwa merupakan kebiasaan orang Arab apabila mengadakan suatu perjanjian dengan suatu kaum kemudian bermaksud membatalkan perjanjian tersebut, maka mereka menulis surat dengan tidak mencantumkan basmalah di dalamnya. Maka ketika turun surat baro’ah (At-taubah) yang memutuskan perjanjian antara Nabi SAW dengan orang-orang musyrik, beliau mengutus Ali bin Abi Thalib ra. kemudian membacakan surat tersebut tanpa mengucapkan Basmalah di permulaannya. Hal ini sebagaimana kebiasan yang berlaku di bangsa Arab.

2. Pendapat Kedua Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang sebab basmalah tidak ditulis di permulaan surat Baro’ah. Ali bin Abi Thalib ra. menjawab, "Basmalah adalah aman (mengandung rasa aman) sedangkan Baro’ah turun dengan pedang (berkaitan dengan peperangan)."

3. Pendapat Ketiga Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Ibnu Abbas ra, bahwa beliau ra. pernah bertanya kepada Utsman bin al-Affan ra, "Apa yang menjadi alasan Anda mencantumkan surat At-Taubah setelah surat Al-Anfal, tanpa mencantumkan basmalah di antara keduanya?" Beliau menjawab bahwa Rasulullah SAW apabila turun suatu ayat, maka beliau akan memanggil para penulis wahyu dan berkata, "Cantumkan ayat-ayat ini di surat yang disebutkan di dalamnya anu dan anu. Surat Al-Anfal merupakan surat-surat yang pertama diturunkan di Madinah, sedangkan Baro’ah merupakan surat yang terakhir turun. Dan ternyata kisah yang terkandung di dalam kedua surat tersebut saling menyerupai, sehingga aku mengira bahwa surat Bara'ah termasuk surat Al-Anfal. Kemudian Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menjelaskan hal tersebut.

Oleh karena itu aku menggandengkan kedua surat tersebut dan tidak mencantumkan basmalah di antara keduanya dan menempatkannya dalam As-Sab’u Ath-Thiwal. (Tafsir Fathul-Qadir karya Imam Ali As-Syaukani II/415-416). Itulah beberapa pendapat mengenai alasan tidak dicantumkannya basmalah di permulaan surat At-Taubah.
Oleh karena itu jika kita membaca surat tersebut dari permulaannya, maka kita hanya disunahkan mengucapkan ta’awudz saja tanpa basmalah. Demikian halnya jika kita membaca dari pertengahannya. Kita juga cukup membaca ta’awudz saja. Apabila kamu membaca al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.(QS An-Nahl: 98)

Silakan Baca:
1. Urut-urutan Turunnya Surat-surat Al Qur'an
2. Doa lailatul Qadar
3. Hukum membeli dan menggunakan Software bajakan

Memusnahkan Serpihan Al-Qur'an dengan Dibakar?

Memusnahkan ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah tidak terpakai lagi, mungkin karena sudah rusak atau tercerai-berai dari jilidannya, bisa saja dengan cara dikumpulkan menjadi satu lalu dibakar. Dengan demikian, potongan ayat itu akan musnah terbakar menjadi abu, sehingga tidak lagi menjadi masalah di kemudian hari. Praktek membakar sebagian potongan ayat seperti ini dibenarkan dalam ajaran agama, bila demi menjaga kesucian dan kehormatan ayat-ayat itu sendiri. Atau demi kepentingan lain yang memang dirasa perlu.
Sebagaimana yang terjadi di masa khalifah Utsman bin Al-Affan radhiyallahu 'anhu. Di masa itu, mushaf telah mengalami pembenahan dari sudut bentuk rasam-nya, kemudian rasam itulah yang dijadikan standar teknik penulisan huruf-huruf Al-Qur'an. Dikenal pula sebagai rasam Utsmani. Atas kebijakan khalifah, semua teks Al-Qur'an yang lainnya dikumpulkan dan dibakar. Sehingga umat Islam hanya mengenal satu rasam saja, yaitu rasam Utsmani yang kita kenal sekarang ini.

Latar belakang khalifah dalam itu karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur'an yang disaksikannya sendiri di daerah-daerah. Umat Islam saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Beliau kemudian menyalin beragam teks tulisan Al-Qur'an itu menjadi satu huruf, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca. Sedangkan sisanya dibakar agar tidak menjadi masalah dikemudian hari. Ada yang mengatakan bahwa setelah terbentuk satu mushfah dengan rasam yang standar, lalu dibuat tujuh buah mushaf salinannya dan dikirimkan ke Mekkah, Syam Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan, "Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: 'telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Bahrain, Yaman dan sebuah ditahan di Madinah."

Silakan Baca

  1. Hukum Nikah Mut'ah 
  2. Keajaiban Bilangan Al Qur'an 
  3. Bencong/Gay Menurut Islam

Terapi Masalah dengan Juz al-Qur'an Berdasarkan Tanggal Lahir

Al-Quran Al-Kariem disebutkan sebagai obat di dalam salah satu ayatnya, namun bila cara penggunaannya bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, maka hal itu terlarang. Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS Al-Isra': 82) Di antara cara yang dilarang misalnya membuat pil dari kertas al-Quran yang ditumbuk, atau membakar kertas yang bertuliskan ayat al-Quran lalu abunya dicelupkan ke dalam air dan airnya diminum. Termasuk yang dilarang adalah menuliskan ayat-ayat al-Quran pada jimat (tamimah) yang pada hakikatnya justru menghina al-Quran.

Ada seorang dukun yang menuliskan ayat al-Quran pada sepatu kuda (ladam). Padahal sepatu itu tempatnya di bawah dan diinjak-injak, bahkan oleh seekor kuda. Juga ada dukun tertentu yang memerintahkan untuk menulis lafaz ayat suci al-Quran dengan menggunatakan tinta dari darah haidh seorang wanita. Semua praktek itu adalah kemungkaran yang harus dihindari. Setan telah melakukan tipu daya dan membisikkan kesesatan di hati korbannya serta menjadikan hal demikian terlihat baik dan indah. Padahal di sisi Allah SWT merupakan kemungkaran yang nyata. Dan aku (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka , lalu mereka benar-benar memotongnya , dan akan aku suruh mereka , lalu benar-benar mereka merubahnya.

Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS An-Nisa: 119) Demikian pula dengan kasus terapi juz Al-Quran itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Setiap juz Al-Quran itu tidak pernah disebutkan punya karakter tersendiri yang dikait-kaitkan dengan nasib dan garis tangan seseorang. Ini adalah sebuah ajaran yang menyesatkan dan keluar dari nash-nash yang sharih dan rajih. Apalagi sampai mengaitkannya dengan tanggal kelahiran. Justru hal-hal yang demikian sangat kuat aroma kemusyrikannya. Sebab para ahli nujum dan peramal biasanya bekerja dengan berpatokan pada tanggal lahir seseorang. Lalu mengaitkannya dengan hal-hal yang sangat tidak masuk akal. Semua ini tidak lain adalah bisikan setan jahat yang dihiasi dengan lambang-lambang yang berbau agama. Padahal di dalamnya tidak lain hanyalah tipu daya yang menyesatkan.

Haram hukumnya bagi kita untuk percaya pada khurafat semacam itu dan harus bertaubat sebelum Allah mengutus Izrail mencabut nyawa. Sebab ini merupakan perkara yang terkait dengan dosa syirik, dimana Allah SWT tidak akan mengampuni di akhirat, kecuali bila bertaubatnya sejak masih hidup di dunia. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisa: 48) Semoga Allah SWT melindungi kita dari berbagai macam tipu daya setan dan pengikut-pengikutnya serta menjadian kita sebagai orang-orang yang muslim yang komitmen dengan warisan syariah dari Rasulullah SAW.

Wednesday, August 19, 2009

Antara Ta'aruf dan Khitbah

Banyak pertanyaan mengenai Taaruf dengan Khitbah. Pada prinsipnya keduanya dibedakan dalam hal materi pembicaraan yang di lakukan. Adakah kalimat-kalimat yang dimaksudkan untuk mernyatakan maksud untuk menikahi, baik yang bersifat eksplisit (terbuka) maupun yang bersifat implisti (sindiran). Kalau baru sekedar ziarah atau berkunjung, tanpa menyentuh sama sekali materi tentang keinginan untuk mengawini/menikahi tentu saja tidak bisa dikatakan khitbah. Dan secara syar'i, wanita tersebut masih sangat dimungkinkan untuk menerima khitbah dari laki-laki lain. Namun bila sudah menyampaikan maksud dan keinginan untuk menikahi, lalu orang tuanya juga memberikan pernyataan persetujuannya atas lamaran anda, barulah wanita itu menjadi makhtubah (sudah dalam posisi dilamar), sehingga tidak boleh baginya menerima lagi lamaran dari pihak lain tanpa seizin dari anda. Adapun kebesertaan orang tua (dari pihak laki-laki) dalam masalah lamaran sama sekali tidak menjadi bagian syarat untuk sebuah lamaran. Bahkan hingga nanti akad nikah sekalipun, sebenarnya tidak ada keharusan bagi orang tua (dari pihak laki-laki) untuk hadir. Sebab yang dibutuhkan adalah dalam sebuah lamaran dan akad nikah adalah wali dari pihak wanita. Semua itu kalau kita bicara dari sudut pandang syariah. Adapun kalau kita melihat dari sudut pandang kebiasaan, 'urf atau kelayakan yang umumnya berlaku,itu sebuah kewajaran bila datang bersama dengan kedua orang tua atau sanak famili terdekat. tentu akan sangat layak. Sebab secara tidak langsung akan menunjukkan keseriusan dari pihak keluarga. Untuk lebih jelasnya silakan baca buku kisah sejati "Menikah Dalam 27 Hari" karya Muhammad Adzdzikra Artikel lain: 1. Adab meminang/ melamar 2. Hikmah Haramnya Patung 3. Islam Agama Paling sulit? 4. Sex Ala NAbi SAW

Sholat Tahajud di bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan tempat kita menangguk pahala yang sedemikian besar. Pahala itu kita dapatkan dengan melakukan beragam bentuk ibadah, baik ritual formal (mahdhah) ataupun bentuk-bentuk lain. Tentunya, semakin banyak kita bisa melakukan beragam ibadah, akan semakin besar pahala yang akan didapat.Salah satu ibadah yang paling favorit untuk dikerjakan di bulan Ramadhan adalah shalat malam. Baik berupa shalat tarawih maupun shalat tahajjud.

Secara khusus Al-Qur'an Al-Kariem telah menganjurkan kita untuk melakukan shalat tahajjud. Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji..(QS Al-Isra': 79) Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam".(HR Muslim) Rasulullah SAW ditanyakan tentang shalat yang paling utama setelah shalat maktubah (shalat wajib 5 waktu), beliau SAW menjawab,"Shalat di tengah malam.".(HR Jamaah kecuali Bukhari) Dari Amru bin Abasah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jarak paling dekat antara Tuhan dengan hamba-Nya pada saat malam di bagian akhir. Bila kamu mampu menjadi salah satu diantara orang yang mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah.".(HR Tirmizy dan beliau menshahihkannya).

Maka bila di malam-malam di luar Ramadhan, shalat tahajjud di malam hari sangat disunnahkan, apalagi bila di dalam bulan Ramadhan. Tentu lebih dianjurkan lagi. Sayang sekali bila malam-malam Ramadhan itu terlewat begitu saja dengan tidur. Seharusnya kita memanfaatkannya dengan shalat malam, sebagaimana dalil-dalil di atas. Pengertian Shalat Witir Sebagai Penutup Shalat Adapun tentang shalat witir yang merupakan shalat penutup untuk seluruh shalat malam, memang ada hadits yang menyebutkan demikan. Diantaranya adalah hadits berikut ini: Dari Ibni Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jadikanlah shalatmu yang terakhir pada malam hari shalat witir (ganjil)".(HR Muttafaq 'alaihi)

Namun pernyataan bahwa shalat witir adalah penutup shalat, bukan berarti bahwa siapa saja yang telah terlanjur melakukan shalat witir saat shalat tarawih, menjadi tidak boleh melakukan shalat tahajjud di malam harinya. Hadits di atas menjadi salah satu hujjah yang kuat, bahwa meski seseorang telah melakukan shalat witir sebelumnya, dia masih diperkenankan untuk tetap melakukan shalat lagi di malam itu. Dan setelah itu tidak perlu lagi melakukan shalat witir. Sebab dia sudah melakukan shalat witir sebelumnya, padahal tidak ada dua kali shalat witir dalam satu malam. Dari Qais bin Thalq Ra, ia berkata, "Thalq bin Ali pernah mengunjungi kami di suatu hari di bulam Ramadhan. Ia tinggal bersama kami sampai saatnya berbuka, kemudia ia melaksanakan shalat Qiyam Ramadhan bersama kami pada malam itu dan serta menutupnya dengan shalat witir. Kemudian ia pulang ke masjidnya dan melaksanakan shalat bersama sahabat-sahabatnya. Ketika tiba saatnya untuk melaksanakan shalat witir ia menyuruh salah seorang untuk maju. Ia berkata, "Laksanakan shalat witir bersama sahabat-sahabatmu karena aku mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dua witir pada satu malam." (Shahih Abi Daud, Shahih Tirmidzy , Shahih Ibnu Majah).

Dan diperkuat lagi dengan hadits lainnya yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan shalat witir, namun setelah itu beliau masih melakukan lagi shalat sunnah. Dari Abi Salamah ra. dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat malam dua rakaat setelah witir, beliau melakukannya dalam keadaan duduk..(HR Muslim) Ini adalah pendapat kebanyakan ulama, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaukani di dalam kitab Nalul Authar bab Shalat At-Tathawwu'. Ketika Ibnu Umar ra. ditanyakan tentang masalah ini, beliau memberikan jalan keluar, yaitu bila seseorang bisa memastikan bahwa menjelang akhir malam bisa bangun untuk shalat tahajjud, sebaiknya pada saat tarawih tidak melakukan shalat witir terlebih dahulu. Namun bila tidak mampu bangun malam dan takut terlewat witirnya, boleh baginya shalat witir di saat shalat tarawih.

Namun dalam kenyataannya, di dalam bulan Ramadhan kita terbiasa bangun sebelum shubuh untuk melakukan sahur. Bahkan banyak diantara kita yang bangun terlalu awal, beberapa jam sebelum shubuh. Maka manfaatkanlah kesempatan bangun sahur itu untuk melakukan shalat witir, agar bisa memposisikan shalat witir itu sebagai shalat yang paling akhir dari rangkaian shalat malam kita. Diolah dari sebuah sumber (anonymous)

Silakan Baca juga:

  1. Cara Mengganti Puasa beberapa tahun lalu 
  2. Patung/gambar yang diperbolehkan dalam Islam 
  3. Keutamaan Sholat Jamaah 
  4. Sex saat haid/mens 
  5. Hal-hal yang membatalkan Wudlu

Tuesday, August 18, 2009

Hukum Transfusi Darah dan Infus di Bulan Puasa

Apakah transfusi darah yang dilakukan orang berpuasa itu membatalkan puasa atau tidak, masalahnya memang berbeda dengan masalah bekam. Masalah berbekam memang disebutkan dalam nash, baik yang menyebutkan boleh atau tidak. Sehingga ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum berbekam. Khusus masalah transfusi darah, kita tidak akan menemukannya di dalam nash-nash syar'i secara langsung. Masalah ini tidak pernah disebutkan baik di dalam Al-Qur'an maupun di dalam sunnah nabawiyah, sebab di masa itu memang belum lagi dikenal transfusi darah. Sehingga tidak ada ayat atau hadits yang menjelaskan apakah transfusi darah membatalkan puasa atau tidak. Sehingga para ulama umumnya berijtihad dengan mengambil prinsip-prisip yang terkait dengan hal-hal yang membatalkan puasa. Transfusi darah itu paling tidak melibatkan dua pihak, yaitu pihak donor dan pihak penerima. Kalau kita melihat dari sisi pendonor darah, maka sebagian ulama menetapkan bahwa mengeluarkan darah secara sengaja dalam jumlah yang cukup banyak membatalkan puasa. Namun jika darah yang diambilnya itu sedikit, seperti sekedar setetes dua tetes untuk sample, maka tidak membatalkan puasa. Sedangkan darah yang didonorkan itu biasanya memang lumayan banyak, maka untuk lebih hati-hatinya, sebaiknya tidak dilakukan pada siang hari bulan puasa, agar tidak membatalkan puasa. Meski masalah ini masih menjadi perbedaan para ulama, karena ulama berbeda pendapat antara membatalkan dan tidaknya, apabila ia mengganti berarti telah keluar dari perbedaan. Sedangkan kalau kita lihat dari sisi penerima donor darah, sebagian ulama mengatakan bahwa menerima donor darah termasuk ke dalam kategori makan atau minum, meski secara fisik tidak melakukan gerakan makan atau minum. Masuknya darah dari luar tubuh ke dalam pada hakikatnya memberikan makanan juga, meski tidak melalui mulut, tenggorokan, lambung dan perut. Darah itu langsung menjadi makanan yang diedarkan ke dalam tubuh, sebab pada hakikatnya setiap makanan yang kita telan pun akan dicerna dan diserap oleh tubuh dengan media darah. Dan darah dari donor itu pun sebenarnya mengandung zat-zat makanan yang bisa langsung diserap oleh tubuh. Jadi menurut mereka, pada hakikatnya menerima darah donor itu sama saja dengan memakan makanan. Karena itulah sebagian ulama cenderung mengatakan bahwa orang yang menerima donor dari orang lain menjadi batal puasanya. Di antara mereka antara lain Syiekh Abdullah bin Jaarullah dan juga Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahumallah. Mereka juga mengatakan bahwa selain menerima donor darah, menerima makanan lewat selang infus juga membatalkan puasa. Karena secara prinsip keduanya sama-sama dalam hakikat memakan makanan. Diolah dari sebuah sumber (anonymous) Silakan Baca juga: 1. Penggunaan Obat Asthma, suntik, dan medis dalam Puasa 2. Cara Mengganti Puasa yang telah Lewat Beberapa Tahun 3. Fidyah 4. Gambar Posisi Sholat

Penggunaan Obat Asma dan Tindakan Medis Lain (suntik, Injeksi, kumur, sikat gigi) Saat Puasa

Obat hirup inhaler yang digunakan oleh penderita penyakit tertentu seperti asma tidak termasuk yang membatalkan puasa. Sebab pada hakikatnya, tidak terjadi proses makan atau minum atau yang semakna dengannya. Hal ini telah difatwakan oleh banyak ulama, di antaranya majma' fiqih Islami dan juga para mufti di Saudi Arabia, seperi Syeikh bin Baz dan lainnya. Dalam muktamar rutinnya yang ke-10 di Jeddah tahun 1997, Majma' Fiqih Islami setelah melakukan kajian panjang atas makalah-makalah kedokteran, juga setelah berkonsultasi langsung dengan para dokter ahli, serta bekerja sama dengan berbagai lembaga lain yang terkait di Darul-Baidha' (Rabat) Maroko tahun, menetapkan tindakan-tindakan kedokteran yang tidak membatalkan puasa, sebagai berikut:

  1. Obat tetes mata, obat tetes pada hidung dan obat tetes pada telinga. Semuanya tidak termasuk hal yang membatalkan puasa. 
  2. Meletakkan alat tertentu di bawah lidah untuk kepentingan pengobatan tertentu seperti sakit di dada/jantung, tidak membatalkan puasa. 
  3. Memasukkan alat tertentu ke dalam kemaluan wanita, seperti kamera untuk pendeteksian dan lainnya, termasuk juga bila dokter wanita memasukkan jari ke dalamnya untuk melakukan pengecekan dan pemeriksaan, tidaklah termasuk hal yang membatalkan puasa yang bersangkutan. 
  4. Memasukkan alat untuk melihat ke dalam rahim wanita dan termasuk juga spiral tidak termasuk yang membatalkan puasa. 
  5. Memasukkan alat lewat saluran kencing, baik berupa kamera, zat tertentu sebagai obat atau alat lainnya. Semua itu tidak termasuk yang membatalkan puasa. 
  6. Menanam gigi, mencabutnya, membersihkannya di dokter, menggosok gigi biasa serta menggunakan kayu siwak, semua tidak termasuk yang membatalkan puasa. Asalkan tidak ada materi yang tertelan. 
  7. Berkumur-kumur dengan air atau zat tertentu, juga tidak membatalkan puasa. Termasuk juga spayer yang disemprotkan ke dalam mulut, selama tidak masuk ke dalam tenggorokan, tidak termasuk yang membatalkan puasa. 
  8. Suntikan obat di kulit atau di urat tidak membatalkan puasa. Dengan pengecualian infus yang bersifat makanan (nutrisi). 
  9. Penggunaan oksigen untuk pernafasan juga tidak membatalkan puasa. 
  10. Penggunaan obat bius/anestetic tidak membatalkan, selama tidak memberikan pengaruh makanan kepada pasien. 
  11. Penggunaan obat yang bisa diserap oleh kulit seperti cream, salep, plester dan sejenisnya, tidak membatalkan puasa. 
  12. Memasukkan unbub daqiq pada saluran darah untuk pemetaan/pengecekan kesehatan tidak membatalkan puasa. 
  13. Memasukkan kamera pemeriksaan lewat dinding perut untuk mengecekan pelaksaan operasi wilayah tersebut, tidak termasuk yang membatalkan puasa. 
  14. Pengambilan sampel dari hati atau organ-organ lainnya untuk pemeriksaan yang diperlukan, tidak termasuk yang membatalkan puasa. 
  15. Memasukkan kamera ke dalam perut bila tidak disertai dengan memasukkan zat tertentu, tidak membatalkan puasa. 
  16. Memasukkan alat atau zat tertentu ke dalam otak kepala, tidak termasuk yang membatalkan puasa. 
  17. Muntah yang tidak disengaja tidak membatalkan puasa, kecuali yang disengaja. Demikian fatwa dari Majma' Fiqih Islami terkait dengan tindakan-tindakan pengobatan/kedokteran kepada pasien yang sedang dalam keadaan puasa. Semoga fatwa ini bermanfaat buat kita semua. Amien. Diolah dari sebuah sumber (anonymous)

Undangan Buka Puasa dari Non Muslim

Pada hakikatnya Islam mengajarkan kita hidup saling berbagi dan tolong menolong, baik kepada sesama muslim atau pun kepada kalangan non muslim. Karena semua adalah makhluk ciptaan Allah SWT juga. Dan yang terpenting adalah bahwa semua manusia adalah anak Adam as, mereka tidak najis sebagaimana najisnya anjing atau babi. Sedangkan ayat Al-Qur'an yang menyatakan bahwa orang-orang musyrik itu najis, maksunya bukan najis secara fiqih, melainkan najis secara majazi. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis , maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.(QS Allah SWT-Taubah: 28) Maka tidak ada masalah bagi kita untuk bergaul secara baik-baik dengan orang yang agamanya bukan Islam, selama dia tidak memerangi kita. Bahkan khusus untuk ahli kitab (baca: yahudi dan nasrani), Allah SWT telah halalkan sembelihan dan wanita mereka untuk dinikahi. Sebagaimana yang tercantum di dalam Al-Qur'an: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(QS Al-Maidah: 5) Selama orang kafir itu tidak menghidangkan makanan yang haram dimakan oleh seorang muslim, berarti makanan mereka pun halal untuk kita. Apalagi bila undangan itu sama sekali tidak merupakan jebakan yang membuat kita harus mengorbankan idealisme atau agama. Selama undangan itu tidak punya dampak apa-apa kecuali sekedar mereka ingin menghormati kita yang muslim, maka pada dasarnya tidak ada larangan untuk menerima undangan itu. Dan kedudukan non muslim dalam syariat Islam ada beberapa macam. Ada non muslim yang jahat dan kerjanya membunuh umat Islam serta membuka front berdarah tanpa malu-malu. Mereka ini termasuk kafir harbi yang wajib diperangi serta halal darahnya. Kita diwajibkan untuk terjun ke medan perang untuk membunuh mereka. Pilihannya hanya satu, membunuh atau dibunuh. Sikap ini sesuai dengan firman Allah SWT: Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu ; dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu , maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. (QS Al-Baqarah: 191) Kelak kamu akan dapati yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah , merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta menahan tangan mereka , maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata mereka. (QS An-Nisa: 91) Tetapi ada juga non muslim yang tidak secara langsung melancarkan permusuhan atau peperangan pisik. Mereka hidup berdampingan dengan umat Islam secara damai dan saling menghormati agama masing-masing. Mereka ini kita sebuah kafir zimmy. Kepada kalangan non muslim yang begini, kita tidak boleh memerangi mereka. Juga tidak boleh mengambil harta benda mereka. Kita harus berbuat baik manakala mereka berbuat baik. Silakan baca Artikel berikut: 1. Transfusi darah dan Infus ketika Berpuasa 2. Haruskah niat Puasa setiap malam? 3. Muntah Membatalkan puasa? 4. Keutamaan dan Pahala Dzikir 5. Hukum membeli dan Gunakanan software bajakan 6. Zakat Profesi

Cara Mengganti Puasa yang Telah Lewat Beberapa Tahun

Memang sudah seharusnya setiap muslim dan muslimah memberikan perhatian dalam masalah agamanya. Termasuk salah satunya ketika tidak bisa full puasa Ramadhan. Betapa banyak saudara dan saudari kita yang agak sedikit melalaikan masalah seperti ini. Yaitu melupakan pernah berhutang kepada Allah SWT, padahal sebagai orang yang sudah 'aqil baligh, beban kewajiban itu sudah ditetapkan dan tetap akan dihitung sebagai beban hutang yang harus dibayarkan. Kalau tidak dibayar di dunia ini, dikhawatirkan nanti di akhirat kelak kita akan mendapatkan masalah besar. Padahal panasnya api neraka itu sedemikian pedih. Siksa di akhirat itu akan jauh lebih menyakitkan, ketimbang pengorbanan kita sekarang di dunia. Apalah artinya puasa qadha' beberapa hari di dunia ini, bila dibandingkan dengan pedihnya siksa neraka. Sungguh bila kita merenungkan hal seperti ini, mungkin kita ingin puasa sepanjang hidup, shalat sepanjang malam, berzakat dengan semua harta yang ada serta apapun yang bisa dilakukan di dunia ini. Intinya, berapa pun harga yang diminta Allah SWT pasti akan kita berikan, asalkan jangan sampai dimasukkan ke dalam neraka. Jangan sampai kita dijadikan bahan bakar neraka, sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya. Jangan sampai kita harus berhadapan dengan para malaikat penjaga neraka yang kasar dan keras itu. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim: 6) Jadi jika telah meninggalkan puasa dalam beberapa tahun, silahkan dihitung-hitung sendiri saja, kira-kita berapa hari setiap bulan Ramadhan yang paling mungkin anda tinggalkan puasa. Mungkin anda bisa mulai dari menghitung lama kebiasaan hari-hari haidh anda setiap bulannya. Lalu anda kalikan dengan jumlah Ramadhan yang telah anda lewati selama ini. Lalu mulailah lalukan puasa dengan niat mengganti puasa yang anda tinggalkan itu. Barangkali tidak harus setiap hari anda lakukan puasa qadha' itu, bila anda tidak sanggup. Anda bisa saja memanfaatkan keutamaan hari Senin dan hari Kamis, di mana pada hari itu amal-amal tiap hamba dinaikkan ke langit. Dan Rasulullah SAW sangat suka pada saat yang demikian, beliau sedang dalam keadaan berpuasa. Misalnya, Anggaplah anda haidh tiap bulan selama 7 hari, lalu anda katakan bahwa selama 5 tahun ini anda ingin menggantinya, maka jumlahnya 35 hari. Kalau tiap hari Senin dan Kamis anda berpuasa dengan niat mengganti, maka hanya dalam 9 bulan anda sudah bisa melunasi hutang-hutang puasa anda. Dan tidak ada salahnya bila setelah selesai qadha' puasa, anda masih terbiasa puasa sunnah Senin Kamis. Selain berpahala besar, juga puasa itu baik untuk kesehatan, selain juga bisa untuk merampingkan badan agar tidak kegemukan. Semoga Allah SWT menguatkan niat baik anda memudahkan jalan bagi anda untuk melaksanakan niat baik itu. Selamat berpuasa Semoga bermanfaat

Saturday, August 15, 2009

Melafadzkan Niat Puasa dan Haruskah Tiap Malam?

Lafadz niat untuk puasa tidak pernah kita dapat dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Artinya, beliau SAW memang tidak pernah memberi contoh atau pun memerintahkan kita untuk melafadzkan niat. Yang diwajibkan adalah berniat itu sendiri dan tempatnya memang di dalam hati. Prinsipnya adalah menyengaja dalam hati atau ketetapan di dalam hati kita bahwa “esok hari saya akan melakukan puasa”. Sedangkan pelafalannya seperti yang sering kita dengar bukanlah termasuk syarat dari niat. Sehingga bila di dalam hati kita terbersit untuk melakukan puasa, syahlah niat itu dan cukuplah dengan itu. Syarat adanya niat ini hanya berlaku pada puasa wajib seperti ramadhan ini. Sedangkan pada puasa sunnah, tidak disyaratkan adanya niat sejak malamnya. Sehingga puasa sunnah bisa dilakukan dengan cara 'improfisasi'. Artinya bila pada sejak pagi hingga siang hari seseorang kebetulan belum makan atau minum, maka kalau lantas berniat untuk puasa saja, boleh dilakukan. Dan hal itu sering terjadi pada diri Rasulullah SAW. Dimana beliau tidak mendapatkan makanan pada pagi hari, lantas beliau berniat untuk puasa saja. Dari Aisyah ra. berkata,"Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya, "Apakah kamu punya makanan?." Aku menjawab,"Tidak." Beliau lalu berkata,"Kalau begitu aku berpuasa." (HR Muslim) Kedudukan niat ini menjadi sangat penting untuk puasa wajib. Karena harus sudah diniatkan sebelum terbit fajar. Dan puasa wajib itu tidak syah bila tidak berniat sebelum waktu fajar itu. Sabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang tidak berniat pada malamnya, maka tidak ada puasa untuknya. (HR Tirmizy) Apakah niat harus setiap malam / di awal ramadhan saja, para ulama berbeda pendapat: 1. Jumhur Ulama: Harus Setiap Malam Menurut jumhur ulama, niat itu harus dilakukan pada setiap malam yang besoknya kita akan berpuasa secara satu per satu. Tidak bisa digabungkan untuk satu bulan. Logikanya adalah karena masing-masing hari itu adalah ibadah yang terpisah-pisah dan tidak satu paket yang menyatu. Buktinya, seseorang bisa berniat untuk puasa di suatu hari dan bisa berniat tidak puasa di hari lainnya. Oleh karena jumhur ulama mensyaratkan harus ada niat meski tidak perlu dilafazkan pada setiap malam hari bulan ramadhan. 2. Kalangan Fuqaha Al-Malikiyah: Boleh Niat Untuk Satu Bulan Sedangkan kalangan fuqaha dari Al-Malikiyah mengatakan bahwa tidak ada dalil nash yang mewajibkan hal itu. Bahkan bila mengacu kepada ayat Al-Qur'an Al-Kariem, jelas sekali perintah untuk berniat puasa satu bulan secara langsung dan tidak diniatkan secara hari per hari. Ayat yang dimaksud oleh Al-Malikiyah adalah: …Siapa yang menyaksikan bulan (Ramadhan) itu hendaklah dia berpuasa…(QS Al-Baqarah: 185) Menurut mereka, ayat Al-Qur'an Al-Kariem sendiri menyebutkan bahwa hendaklah ketika seorang mendapatkan bulan itu, dia berpuasa. Dan bulan adalah isim untuk sebuah rentang waktu. Sehingga berpuasa sejak hari awal hingga hari terakhir dalam bulan itu merupakan sebuah paket ibadah yang menyatu. Dalam hal ini mereka membandingkannya ibadah haji yang membutuhkan masa pengerjaan yang berhari-hari. Dalam haji tidak perlu setiap hari melakukan niat haji. Cukup di awalnya saja seseorang berniat untuk haji, meski pelaksanaannya bisa memakan waktu seminggu. Diolah dari sebuah sumber (anonymous) baca juga: 1. Muntah Yang Membatalkan Puasa 2. Adab Sebelum tidur 3. Amalan Utama Ramadhan 4.Keutamaan Shubuh dan Ashar 5. Sex Ala Nabi SAW

Template by : kendhin x-template.blogspot.com