Friday, July 30, 2010

Yang tidak membatalkan Puasa (bekam, donor darah, Mencicipi makanan, menelan ludah,dll)

1. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari )
Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam, aku tidak menganggap puasanya batal.”
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang telah di mansukh (dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri berikut:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.”

Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam“. Sanad hadits ini shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.”

Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.”
Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan membuat lemah. Anas ditanya,
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”

Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.

2. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan,
“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana berkumur-kumur ketika berpuasa.”
Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘. ‘Abdur Rozaq membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata,
“Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”

3. Bercelak dan tetes mata

Thursday, July 29, 2010

Ayat Al Quran tentang Binatang/makanan yang diharamkan

Islam datang, sedang manusia masih dalam keadaan demikian dalam memandang masalah makanan berupa binatang. Islam berada di antara suatu faham kebebasan soal makanan dan keras dalam soal larangan. Oleh karena itu Islam kemudian menyerukan kepada segenap umat manusia:  
 “Hai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan jangan kamu mengikuti jejak syaitan kerana sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (al-Baqarah: 168)  

 Di sini Islam menyuruh manusia supaya suka makan makanan yang baik, yang telah disediakan oleh Allah kepada mereka, yaitu bumi lengkap dengan isinya, dan kiranya manusia tidak mengikuti kerajaan dan jejak syaitan yang selalu menggoda manusia supaya mahu mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah, dan mengharamkan kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah; dan syaitan juga menghendaki manusia supaya terjerumus dalam lembah kesesatan. Selanjutnya mengumandangkan seruannya kepada orang-orang mu'min secara khusus.

Firman Allah:       “Hai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa-apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta bersyukurlah kepada Allah kalau betul-betul kamu berbakti kepadaNya. Allah hanya mengharamkan kepadamu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan kerana Allah. Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa baginya, kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-Baqarah: 172-173)    

Dalam seruannya secara khusus kepada orang-orang mu'min ini, Allah s.w.t. memerintahkan mereka supaya suka makan yang baik dan supaya mereka suka menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat yang memberi nikmat. Selanjutnya Allah menjelaskan pula, bahawa Ia tidak mengharamkan atas mereka kecuali empat macam seperti tersebut di atas. Dan yang seperti ini disebutkan juga dalam ayat lain yang agaknya lebih tegas lagi dalam membatas yang diharamkan itu pada empat macam. Yaitu sebagaimana difirmankan Allah:

“Katakanlah! Aku tidak menemukan tentang sesuatu yang telah diwahyukan kepadaku soal makanan yang diharamkan untuk dimakan, melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi; kerana sesungguhnya dia itu kotor (rijs), atau binatang yang disembelih bukan kerana Allah. Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-An'am: 145)   

 Dan dalam surah al-Maidah ayat 3 al-Quran menyebutkan binatang-binatang yang diharamkan itu dengan terperinci dan lebih banyak. Firman Allah:     

“Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan kerana Allah, yang (mati) kerana dicekik, yang (mati) kerana dipukul, yang (mati) kerana jatuh dari atas, yang (mati) kerana ditanduk, yang (mati) kerana dimakan oleh binatang buas kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala.” (al-Maidah: 3)    

Antara ayat ini yang menetapkan 10 macam binatang yang haram, dengan ayat sebelumnya yang menetapkan 4 macam itu, samasekali tidak bertentangan. Ayat yang baru saja kita baca ini hanya merupakan perincian dari ayat terdahulu.   
 Binatang yang dicekik, dipukul, jatuh dari atas, ditanduk dan kerana dimakan binatang buas, semuanya adalah termasuk dalam pengertian bangkai. Jadi semua itu sekadar perincian dari kata bangkai. Begitu juga binatang yang disembelih untuk berhala, adalah semakna dengan yang disembelih bukan kerana Allah. Jadi kedua-duanya mempunyai pengertian yang sama.



 Silakan baca juga:

Binatang/makanan yang diharamkan untuk Yahudi dan Nasrani

Wednesday, July 28, 2010

Binatang/makanan yang diharamkan untuk umat Yahudi dan Nasrani



Dalam pandangan agama Yahudi dan Nasrani (kitabi), Allah mengharamkan kepada orang-orang Yahudi beberapa binatang laut dan darat. Penjelasannya dapat dilihat dalam Taurat (Perjanjian Lama) fasal 11 ayat 1 dan seterusnya Bab: Imamat Orang Lewi.
            Dan oleh al-Ouran disebutkan sebahagian binatang yang diharamkan buat orang-orang Yahudi itu serta alasan diharamkannya, iaitu seperti yang kami sebutkan di atas, bahawa diharamkannya binatang tersebut adalah sebagai hukuman berhubung kezaliman dan kesalahan yang mereka lakukan. Firman Allah:
            “Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, kecuali (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka. Dan sesungguhnya Kami adalah (di pihak) yang benar.” (al-An'am: 146)
            Demikianlah keadaan orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang Nasrani sesuai dengan ketentuannya harus mengikuti orang-orang Yahudi. Kerana itu Injil menegaskan, bahawa Isa a.s. datang tidak untuk mengubah hukum Taurat (Namus) tetapi untuk menggenapinya.
            Tetapi suatu kenyataan, bahawa mereka telah mengubah hukum Taurat itu. Apa yang diharamkan dalam Taurat telah dihapus oleh orang-orang Nasrani --tanpa dihapus oleh Injilnya-- mereka mahu mengikuti Paulus yang dipandang suci itu dalam masalah halalnya semua makanan dan minuman, kecuali yang memang disembelih untuk berhala kalau dengan tegas itu dikatakan kepada orang Kristian: "Bahawa binatang tersebut disembelih untuk berhala."
            Paulus memberikan alasan, bahawa semua yang suci halal untuk orang yang suci, dan semua yang masuk dalam mulut tidak dapat menajiskan mulut, yang dapat menajiskan mulut ialah apa yang keluar dari mulut.
            Mereka juga telah menghalalkan babi, sekalipun dengan tegas babi itu diharamkan oleh Taurat sampai hari ini.


Silakan baca juga

Ayat-al-quran tentang binatang/makanan haram bagi uma Islam

Saturday, July 24, 2010

Haramkah Puasa Sya’ban Jika Sudah Masuk Setengah Bulan

 Hikmah dari diharamkan atau dimakruhkannya puasa pada paruh kedua bulan sya`ban adalah untuk menghindari `pemanasan` itu sendiri. Tapi kalau puasanya untuk membayar qadha` puasa Ramadhan tahun lalu, tentu saja hukumnya wajib dan tidak terkena larangan untuk melakukan `pemanasan`. Sebab hukum qadha` itu wajib dan harus segera dibayarkan sebelum masuknya bulan Ramadhan berikutnya. Maka larangan tadi menjadi gugur dengan sendirinya.

Larangan untuk melakukan `pemanasan` itu hanya berlaku untuk puasa sunnah, bukan puasa wajib seperti untuk membayar qadha` atau nazar dalam kasus seseorang bernazar puasa yang harus ditunaikan sebelum Ramadhan.

Memang larangan berpuasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya`ban sebagai `pemanasan` ini oleh para ulama diperselisihkan hukumnya. Sebagian menganggapnya haram secara mutlak dan sebagian lainnya hanya memakruhkan saja, tidak sampai mengharamkan. Mazhab Syafi'i yang banyak diikuti oleh penduduk negeri ini termasuk yang mengharamkannya. Namun mazhab Hanbali tidak mengharamkannya.
Penyebab perbedaan pandangan itu adalah masalah perbedaan mereka dalam menilai derajat hadits yang mendasarinya. Dalil yang mendasari hal ini adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila bulan sya’ban telah terlewati separuhnya, maka janganlah berpuasa. (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan yang empat).

Imam As-Suyuti menyebutkan bahwa derajat hadits ini hasan meski imam Ahmad mengatakannya dhaif. Sedangkan Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam 
Kalangan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa puasa sunnah yang dilakukan setelah tanggal 15 Sya`ban itu adalah haram berdasarkan hadits ini. Tentu saja mereka teramasuk kalangan yang tidak mendhaifkannya. Sedangkan Al-Hanabilah tidak mengharamkannya karena menurut mereka hadits ini lemah / dhaif. Jadi kalau Anda mendengar ada yang mengharamkan puasa sunnah pasca tanggal 15 sya`ban, memang ada dalilnya dan ada pendapat dari imam mazhab akan hal itu..

Thursday, July 22, 2010

Rukun Puasa



Puasa itu mempunyai dua rukun yang menjadi inti dari ibadah tersebut. Tanpa kedua hal itu, maka puasa menjadi tidak berarti.
  1. Niat
    Niat adalah azam (berketatapan) di dalam hati untuk mengerjakan puasa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT dan taqarrub (pendekatan diri) kepada-Nya.
Sabda Rasulullah SAW :
Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya.
Kedudukan niat ini menjadi sangat penting untuk puasa wajib. Karena harus sudah diniatkan sebelum terbit fajar. Dan puasa wajib itu tidak syah bila tidak berniat sebelum waktu fajar itu.
Sabda Rasulullah SAW :
Barang siapa yang tidak berniat pada malamnya, maka tidak ada puasa untuknya. (HR. Tirmizy)
Berbeda dengan puasa sunnah yang tidak mensyaratkan niat sebelum terbit fajar. Jadi boleh berniat puasa meski telah siang hari asal belum makan, minum atau mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dari Aisyah RA. Berkata, Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya, “Apakah kamu punya makanan ?”. Aku menjawab,”Tidak”. Beliau lalu berkata,”Kalau begitu aku berpuasa”.
(HR. Muslim)
  1. Imsak (menahan)
    Imsak artinya menahan dari makan, minum, hubungan seksual suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa, dari sejak fajar hingga terbenamnya matahari.
Allah SWT berfirman :
...Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam...(QS. Al-Baqarah : 187)
Yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan hitamnya malam

Wednesday, July 21, 2010

Syarat Syah Puasa

Syarat Syah
Sedangkan syarat syah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang dilakukan oleh seseorang itu menjadi syah hukumnya di hapadan Allah SWT.

o Niat
Bila seseorang berpuasa tapi lupa atau tidak berniat, maka puasanya tidak syah. Maksudnya puasa wajib bulan Ramadhan atau puasa wajib nazar atau puasa wajib qadha`. Namun bila puasa sunnah, maka niatnya tidak harus sejak terbit fajar, boleh dilakukan di siang hari ketika tidak mendapatkan makanan.

o Beragama Islam
Puasa orang bukan muslim baik kristen, katolik, hindu, budha atau agama apapun termasuk atheis tidak syah. Bila mereka tetap berpuasa, maka tidak mendapatkan balasan apa-apa.

o Suci dan haidh dan nifas
Wanita yang mendapat haidh dan nifas, bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak syah.

o Pada hari yang dibolehkan puasa
Bila melakukan puasa pada hari-hari yang dilarang, maka puasanya tidak syah bahkan haram untuk dilakukan. Diantara hari-hari yang secara khusus dilarang untuk berpuasa adalah :
1. Hari Raya Idul Fithri 1 Syawwal.
2. Hari Raya Idul Adha tanggal 10 ZulHijjah.
3. Hari Tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah
4. Puasa sehari saja pada hari Jumat, tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa.
5. Puasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya`ban, yaitu mulai tanggal 15 Sya`ban hingga akhir. Namun bila puasa bulan Sya`ban sebulan penuh, justru merupakan sunnah. Sedangkan puasa wajib seperti qadha` puasa Ramadhan wajib dilakukan bila memang hanya tersisa hari-hari itu saja.
6. Puasa pada hari Syak, yaitu tanggal 30 Sya`ban bila orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat.

Tuesday, July 20, 2010

Syarat Wajib Puasa

Syarat wajib puasa, di mana bila syarat-syarat ini terpenuhi, seeorang menjadi wajib hukumnya untuk berpuasa. Kedua adalah syarat syah puasa, dimana seseorang syah puasanya bila memenuhi syarat-syarat itu.

  1. Syarat Wajib
    Syarat wajib maksudnya adalah hal-hal yang membuat seorang menjadi wajib untuk melakukan puasa. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi pada diri seseorang, maka puasa Ramadhan itu menjadi tidak wajib atas dirinya. Meski kalau dia mau, dia tetap diperbolehkan untuk berpuasa.
Diantara syarat-syarat yang mewajibkan seseorang harus berpuasa antara lain yaitu :
    • Baligh
      Anak kecil yang belum baligh tidak wajib puasa. Namun orang tuanya wajib memerintahkannya puasa ketika berusia 7 tahun dan bila sampai 10 tahun boleh dipukul. Persis seperti pada masalah shalat.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Perintahkan anak-anak kamu untuk mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka karena tidak menegakkan shalat ketika berusia 10 tahun.(HR. Abu Daud dan Hakim dan dishahihkan dalam Al-Jamius Shaghir).
Meski demikian, secara hukum anak-anak termasuk yang belum mendapat beban / taklif untuk mengerjakan puasa Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
Telah diangkat pena dari tiga orang : Dari orang gila hingga waras, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga mimpi.(HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy).
    • Berakal
      Orang gila tidak wajib puasa bahkan tidak perlu menggantinya atau tidak perlu mengqadha`nya. Kecuali bila melakukan sesuatu secara sengaja yang mengantarkannya kepada kegilaan, maka wajib puasa atau wajib menggantinya.
Hal yang sama berlaku pada orang yang mabuk, bila mabuknya disengaja. Tapi bila mabuknya tidak disengaja, maka tidak wajib atasnya puasa.
    • Sehat
      Orang yang sedang sakit tidak wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Namun dia wajib menggantinya di hari lain ketika nanti kesehatannya telah pulih.
Allah SWT berfirman :
...Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...(QS. Al-Baqarah : 185).
Jenis penyakit yang membolehkan seseorang tidak menjalankan kewajiban puasa Ramadhan adalah penyakit yang akan bertambah parah bila berpuasa. Atau ditakutkan penyakitnya akan terlambat untuk sembuh.
    • Mampu
      Allah hanya mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang yang memang masih mampu untuk melakukannya. Sedangkan orang yang sangat lemah atau sudah jompo dimana secara pisik memang tidak mungkin lagi melakukan puasa, maka mereka tidak diwajibkan puasa.
Allah SWT berfirman :
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin...(QS. Al-Baqarah : 184)
    • Tidak dalam perjalanan (bukan musafir)
      Orang yang dalam perjalanan tidak wajib puasa. Tapi wajib atasnya mengqadha` puasanya.
Dalam hadits Rasulullam SAW disebutkan :
Bahwa Hamzah Al-Aslami berkata,"Ya Rasulallah, Aku kuat tetap berpuasa dalam perjalanan, apakah aku berdosa ?". Rasulullah SAW menjawab,"Itu adalah keringanan dari Allah Ta`ala, siapa yang berbuka maka baik.
Dan siapa yang lebih suka berpuasa maka tidak ada dosa".(HR. Muslim>

Monday, July 19, 2010

Haramkah Puasa Sya’ban Jika Sudah Masuk Setengah Bulan



Hikmah dari diharamkan atau dimakruhkannya puasa pada paruh kedua bulan sya`ban adalah untuk menghindari `pemanasan` itu sendiri. Tapi kalau puasanya untuk membayar qadha` puasa Ramadhan tahun lalu, tentu saja hukumnya wajib dan tidak terkena larangan untuk melakukan `pemanasan`. Sebab hukum qadha` itu wajib dan harus segera dibayarkan sebelum masuknya bulan Ramadhan berikutnya. Maka larangan tadi menjadi gugur dengan sendirinya. 




Larangan untuk melakukan `pemanasan` itu hanya berlaku untuk puasa sunnah, bukan puasa wajib seperti untuk membayar qadha` atau nazar dalam kasus seseorang bernazar puasa yang harus ditunaikan sebelum Ramadhan.




Memang larangan berpuasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya`ban sebagai `pemanasan` ini oleh para ulama diperselisihkan hukumnya. Sebagian menganggapnya haram secara mutlak dan sebagian lainnya hanya memakruhkan saja, tidak sampai mengharamkan. Mazhab Syafi'i yang banyak diikuti oleh penduduk negeri ini termasuk yang mengharamkannya. Namun mazhab Hanbali tidak mengharamkannya.



Penyebab perbedaan pandangan itu adalah masalah perbedaan mereka dalam menilai derajat hadits yang mendasarinya. Dalil yang mendasari hal ini adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila bulan sya’ban telah terlewati separuhnya, maka janganlah berpuasa. (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan yang empat). 

Imam As-Suyuti menyebutkan bahwa derajat hadits ini hasan meski imam Ahmad mengatakannya dhaif. Sedangkan Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadits ini shahih.



Kalangan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa puasa sunnah yang dilakukan setelah tanggal 15 Sya`ban itu adalah haram berdasarkan hadits ini. Tentu saja mereka teramasuk kalangan yang tidak mendhaifkannya. Sedangkan Al-Hanabilah tidak mengharamkannya karena menurut mereka hadits ini lemah / dhaif. Jadi kalau Anda mendengar ada yang mengharamkan puasa sunnah pasca tanggal 15 sya`ban, memang ada dalilnya dan ada pendapat dari imam mazhab akan hal itu..

Dalil dan hukum Puasa Sya’ban

Dari Usamah bin Zaid berkata: Saya bertanya: “Wahai Rasulullah saw, saya tidak melihat engkau puasa disuatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban”. Rasul saw bersabda:” Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah)


Namun, ada hadits lain yang melarang puasa Sya’ban jika sudah masuk setengah bulan menuju Ramadhan. Kecuali yang biasa puasa Senin Kamis. Jadi pada prinsipnya dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban tapi jangan disamakan dengan bulan Ramdhan. Wallahu ‘alam.

Friday, July 16, 2010

Cara menentukan arah kiblat manual

Pada Hari ini Umat Islam di seluruh Indonesia diimbau untuk menera (mengukur) ulang arah kiblat, Jumat (16/7) hari ini, pukul 17.27 wita. Dalam ilmu falak (astronomi), hari ini dikenal dengan yaum rashdil qiblah (hari untuk mencocokkan arah kiblat), karena matahari tepat berada di atas Kakbah.

Berdasarkan data hisab Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nadhlatul Ulama (NU), yaum rashdil qiblah terjadi hari ini. MUI mengimbau kepada umat Islam dan para pengurus masjid di seluruh Indonesia untuk mencocokkan keakuratan arah ibadah salat.
“Daerah mana pun yang mampu menerima sinar matahari pada jam itu (pukul 17.27 wita), kita bisa menera arah kiblat. Arah lawan bayangan itulah arah kiblat berada, karena jam itu posisi matahari tepat berada di atas Kakbah,” kata Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam di Jakarta, Kamis (15/7).
Posisi matahari pada jam itu atau pukul 12.27 waktu Arab Saudi, tepat berada di atas Kakbah berlaku di seluruh dunia. Jika pada bagian Indonesia tengah dan timur pada waktu itu masih bisa menerima sinar matahari, maka masjid-masjid di daerah itu bisa melakukan tera ulang dengan toleransi kurang lebih lima menit.

“Tepatnya 16 Juli dengan waktu toleransi H-2 sampai H+2 juga masih akurat. Toleransi waktu plus minus lima menit masih akurat,” imbuhnya.
“Secara otomatis konsekuensi tentang kiblat kita minta kepada masyarakat Muslim pengurus masjid menera ulang melalukan ijtihad sederhana menentukan arah kiblat,” katanya.
Data terjadinya rashdil qiblat ini, juga diaminkan oleh Lajnah Falakiyah Pengurus Besar (PB) NU. Peristiwa ini akan membantu umat Islam dalam meluruskan arah kiblat dengan cara yang sederhana karena pada momen itu matahari benar-benar berada di atas Kakbah sehingga segala sesuatu yang berdiri tegak bayangannya menuju kiblat. Karenanya, PBNU juga mengimbau umat Islam agar meluruskan arah kiblatnya.

Cara menentukan arah kiblat manual atau sendiri. :
Ambil Trilpeks kira² berukuran 2 x 1. lubangi tengah tengah tripleks tersebut kira² diameter  5 cm.  Kemudian angkat tripleks tersbut dan arahkan ke matahari.  Arah bayangan yang melewati lubang yang berdiameter 5 cm. itulah arah kiblat. (Pengukuran di lakukan antara jam 16.00 – 1700)


http://milimeterst.wordpress.com/2010/07/16/menentukan-arah-kiblat-hari-ini-tanggal-16-juli-2010/

Friday, July 2, 2010

Batasan Waktu Sebagai Musafir dan Cara Menjamak/Qosor





Seseorang boleh disebut musafir apabila meninggalkan rumah untuk keperluan yang tidak dilarang agama.  Hanya saja sebagai musafir ada yang membatasi dalam hal jarak dan waktunya. Sebagian ahli fiqih memberikan pengertian kepada kita, selama kita pergi meninggalkan rumah untuk beribadah maupun mencari nafkah dan tetap dikualifikasikan sebagai musafir maka diperbolehkan untuk menjamak sholatnya. Meski demikian ada juga ahli fiqih yang tidak membatasi jumlah waktunya dan jaraknya.

Sholat-sholat yang bisa dijamak
  1. Dhuhur dengan Ashar
  2. Magrib dengan Isya

Sholat yang tidak bisa dijamak
  1. Ashar dengan Magrib
  2. Isya dengan Shubuh
  3. Shubu dengan Shuhur

Selain dengan model dijamak, seorang musafir juga bisa melakukannya dengan Qoshor (meringkas)
  1. Dhuhur : dua rakaat   
  2. Ashar   : dua rakaat
  3. Isya     : dua rakaat

Misalnya:
seeorang yang bekerja di Yogyakarta sementara rumahnya di Klaten, maka pada suatu waktu jika Sholat Dhuhur dan Ashar tidak dijamak maka ia akan kehilangan sholat Ashar. Atas dasar ini maka ulama membolehkan untuk menjamaknya.

Wallahualam bishshowab

Template by : kendhin x-template.blogspot.com