Monday, November 16, 2009

Pantangan-pantangan (hal-hal yang diharamkan) ihram dan Akibatnya bila melanggar

Maaf sebelumnya..karena adanya pesanan untuk menulis permasalahan haji maka saya sekali lagi minta maaf berani menampilkan artikel tentang haji. Artikel dibawah ini hanya kutipan saja karena saya belum berhaji. Tulisan ini bersumber Fatwa-Fatwa Haji oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin via alsofwah.or.id. Mohon doanya agar saya segera bisa berhaji. Pantangan-pantangan ihram ialah hal-hal yang tidak boleh dilakukan disebabkan ihram, atau hal-hal yang haram dilakukan disebabkan telah berihram, yaitu terdiri dari dua macam: Pertama, pantangan-pantangan di saat berihram dan tidak berihram, yaitu yang disyaratkan di dalam firman Allah Subhannahu wa Ta'ala : “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerja-kan haji maka tidak boleh rofats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (Al-Baqarah: 197). Kata “fusuq” (kefasikan) pada ayat tersebut adalah umum mencakup kefasikan di saat ihram dan di luar ihram. Kedua, adalah pantangan-pantangan khusus yang disebabkan ihram, yaitu apabila seseorang dalam keadaan ihram maka ia tidak boleh melakukan pantangan-pantangan tersebut, namun jika ihramnya selesai ia boleh melakukannya. Di antara pantangan (larangan) ihram itu ialah melakukan hubungan suami-istri (jima’) dan itu merupakan larangan yang paling berat dan paling besar dosanya. Dalilnya adalah firman Allah Subhannahu wa Ta'ala : “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji maka tidak boleh rofats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (Al-Baqarah: 197). Yang dimaksud “Rofats” pada ayat ini adalah jima’ dan segala pengantarnya. Apabila seseorang melakukan persetubuhan sebelum melakukan tahallul awal di waktu berhaji, maka mengakibatkan lima perkara, yaitu: Pertama: Ia berdosa. Kedua: Seluruh rangkaian ibadah hajinya batal. Ketiga: Wajib meneruskan ibadah haji yang sedang ia lakukan. Keempat: Wajib membayar fidyah, yaitu menyembelih seekor unta dan membagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin. Kelima: Wajib mengqadha (melakukan haji kembali) pada tahun berikutnya. Itulah beberapa akibat buruk yang harus dihindari oleh setiap orang beriman di dalam melakukan ibadah haji dan harus dijauhi. Termasuk pantangan juga adalah bercumbu dengan syahwat, mencium, memandang dengan nafsu birahi dan segala sesuatu yang dapat membangkitkan nafsu syahwat (pengantar jima’), karena hal-hal tersebut dapat mengantar kepada persetubuhan. Termasuk pantangannya adalah mencukur rambut kepala, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, “Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya.” (Al-Baqarah: 196). Mencukur bulu anggota tubuh lainnya dan memotong kuku juga oleh para ulama dikatagorikan dalam hukum mencukur kepala. Pantangan lain juga adalah melangsungkan akad nikah; Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda, “Orang yang sedang ihram itu tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan dan tidak boleh melamar.”( Dikeluarkan oleh Muslim (no. 41) dalam kitab An-Nikah ) Pantangan yang lain adalah melamar (meminang). Seorang yang sedang ihram tidak boleh melamar wanita, baik ihramnya itu adalah ihram haji ataupun ihram umrah. Termasuk pantangan juga adalah membunuh binatang buruan; Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan sedangkan kamu dalam keadaan ihram.” (Al-Maidah: 95) Pantangannya juga adalah menggunakan wangi-wangian sesudah berniat ihram, baik pada tubuh, pakaian, tempat makanan atau tempat minuman. Jadi, seseorang yang sedang ihram tidak boleh memakai wangi-wangian dalam bentuk apa pun, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah bersabda tentang lelaki yang meninggal karena jatuh dari untanya, áÇ ÊÍäØæå (Jangan kamu mengoleskan wangi-wangian padanya.)( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1265, 1266) dalam kitab Al-Jana’iz, Muslim (no. 93, 94) dalam kitab Al-Hajj ) Hanuth adalah berbagai bahan wangi-wangian yang dioleskan pada tubuh janazah di saat dikafankan. Adapun bekas atau sisa bau farfum yang dipakai sebelum berihram itu tidak mengapa dan tidak wajib dihilangkan. Aisyah Radhiallaahu anha pernah menuturkan, “Aku pernah mengoleskan farfum pada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam untuk ihramnya sebelum beliau berniat ihram.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1539) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 33) dalam kitab Al-Hajj. Lafazh tersebut adalah lafazh Muslim ) Dan Aisyah mengatakan, “Aku masih melihat bekas (plek, warna) farfum kasturi pada sendi-sendi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam di saat beliau sedang dalam keadaan ihram.( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1538) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 39) dalam kitab Al-Hajj ) Pantangan lainnya adalah memakai gamis (kemeja atau yang serupa), celana, surban dan sepatu bagi kaum laki-laki. Demikianlah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberikan jawabannya ketika ditanya tentang pakaian apa yang dipakai oleh lelaki yang sedang ihram? Maka sabdanya: “Tidak boleh memakai gamis, celana, jaket, surban dan sepatu, kecuali bagi orang yang tidak mempunyai kain, maka ia boleh memakai celana, dan orang yang tidak mempunyai sandal maka boleh memakai sepatu.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1542) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 1) dalam kitab Al-Hajj ) Apa pun yang semakna dan searti dengan pantangan-pantangan tersebut di atas maka hukumnya adalah sama dengannya, seperti kaos, kaos oblong, peci, baju misylah, jas dan lain-lain adalah termasuk dalam katagori yang tertera di dalam nash hadits di atas dan hukumnya pun sama. Adapun jam tangan, cincin, alat bantu dengar, kaca mata, ikat pinggang yang mempunyai kantong tempat menyimpan uang dan benda berharga lainnya, tidak termasuk dalam katagori pantangan, baik secara nash ataupun secara substansi. Maka barang-barang tersebut boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram. Perlu diketahui bahwa banyak orang awam yang salah mema-hami perkataan para ulama: ”Orang yang berihram tidak boleh memakai pakaian yang berjahit”. Mereka memahami bahwa yang dimaksud “pakaian yang berjahit” adalah setiap kain yang mempunyai jahitan. Maka dari itu banyak mereka yang menanyakan tentang hukum memakai ikat pinggang yang berjahit (biasanya berwarna hijau), kain ihram yang bertambal jahitan, sandal yang ada jahitannya dan hal lain yang serupa, dengan anggapan bahwa yang dimaksudkan oleh para ulama tentang pakaian berjahit adalah pakaian apa saja yang mempunyai jahitan; padahal maksud para ulama bukan demikian, maksud mereka adalah memakai pakaian yang menyelubungi tubuh, sebagaimana pakaian kita sehari-hari. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam di atas (yang artinya): “Jangan memakai kemeja, celana ...”. Jadi, kalau seseorang (yang berihram) berselimutkan gamisnya tanpa mengenakan-nya, maka tidak mengapa baginya; dan kalau ia menjadikan gamisnya sebagai sarung ihramnya yang ia lipatkan pada anggota badan antara pusat dan lututnya juga tidak mengapa, karena yang demikian itu tidak dianggap memakai gamis. Termasuk pantangan di dalam berihram juga adalah menu-tup kepala bagi laki-laki, yaitu tutup kepala yang menempel, seperti peci, surban imamah (kain yang melilit di kepala) dan ghuthrah (kain penutup kepala biasa orang Saudi, pent). Adapun bernaung di bawah payung, atau di bawah atap kendaraan, atau pakaian yang di jadikan payung di atas kepala maka boleh-boleh saja, sebab yang diharamkan itu adalah menutup kepala bukan menaunginya. Ada hadits shahih dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang bersumber dari Ummi Hushain Radhiallaahu anha beliau menuturkan, “Aku pernah melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sedang mengendarai untanya, sedangkan Usamah memegang tali kendali unta beliau dan Bilal menaungi (memayungi) Rasulullah dengan pakaiannya. Di dalam ungkapan lain ia menuturkan: “Memayungi Rasulullah dari terik panas dengan kainnya hingga Rasulullah melontar Jumrah ‘Aqabah”.( Dikeluarkan oleh Muslim (no. 312) dalam kitab Al-Hajj ) Tidak diharamkan bagi orang yang sedang ihram membawa tas kopernya di atas kepala, karena yang demikian itu tidak dimaksud-kan untuk menutup kepala, melainkan membawa koper. Pantangan lainnya ialah bercadar bagi wanita, karena cadar merupakan pakaian untuk wajah. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah melarang perempuan mengenakan cadarnya di saat dalam keadaan berihram.( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1838) dalam kitab Jaza’ Ash-Shaid ) Jadi, yang dibenarkan bagi wanita di saat berihram adalah membuka wajah, kecuali kalau di sekelilingnya ada laki-laki yang bukan mahram-nya. Apabila di sekelilingnya ada laki-laki bukan mahramnya maka ia wajib menutup wajahnya, dan tidak mengapa kain penutupnya menempel pada kulit mukanya. Pantangan lain juga adalah memakai sarung tangan, baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Jadi, perempuan dan laki-laki jangan memakai sarung tangan di waktu sedang berihram, karena sarung tangan itu termasuk pakaian, sama dengan sepatu (khuff) bagi laki-laki.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com