Puasa ‘Arafah ialah puasa sunat pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah yang disunatkan bagi mereka yang tidak melakukan ibadah haji. Kelebihan berpuasa pada hari ini ialah ia dapat menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lalu dan dosa setahun yang akan datang, sebagaimana hadith yang telah diriwayatkan daripada Abu Qatadah al-Anshari ra:
Dan Rasulullah SAW ditanya tentang berpuasa di hari ‘Arafah. Maka Baginda bersabda: “Ia menebus dosa setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang.” (Hadith Riwayat Imam Muslim)
Manakala bagi mereka yang melakukan ibadah haji pula adalah disunatkan untuk tidak berpuasa pada hari ‘Arafah dan adalah menyalahi perkara yang utama jika mereka berpuasa juga pada hari itu berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ummu al-Fadhl binti al-Harith:
Ramai di kalangan sahabat Rasulullah SAW yang ragu-ragu tentang berpuasa pada hari ‘Arafah sedangkan kami berada di sana bersama Rasulullah SAW, lalu aku membawa kepada Baginda satu bekas yang berisi susu sewaktu Baginda berada di ‘Arafah lantas Baginda meminumnya. (Hadith Riwayat Imam Muslim)
Juga daripada hadith yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada Hari ‘Arafah bagi mereka yang berada di ‘Arafah. (Hadith Riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’ie; at-Thabrani dari Aisyah rha) [1]
Disunatkan juga berpuasa pada hari ke 8 Dzulhijjah di samping berpuasa pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) sebagai langkah berhati-hati yang mana kemungkinan pada hari ke 8 Dzulhijjah itu adalah hari yang ke 9 Dzulhijjah (Hari ‘Arafah). Bahkan adalah disunatkan berpuasa lapan hari, iaitu dari hari yang pertama bulan Dzulhijjah hingga ke hari yang kelapan sama ada bagi orang yang mengerjakan haji atau tidak mengerjakan haji, bersama-sama dengan hari ‘Arafah.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra:
Rasulullah SAW bersabda: “Tiada amal yang soleh yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih disukai daripada hari-hari ini (sepuluh hari pertama dalam bln Dzulhijjah).” (Hadith Riwayat al-Bukhari)
Dalam hadith yang lain yang diriwayatkan dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari beberapa isteri Nabi SAW:
Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan puasa sembilan hari di awal bulan Dzulhijjah, di hari ‘Asyura dan tiga hari di setiap bulan iaitu hari Isnin yang pertama dan dua hari Khamis yang berikutnya. (Hadith Riwayat Imam Ahmad dan an-Nasa’ie)
Adapun berpuasa pada hari Aidiladha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) adalah diharamkan berdasarkan hadith yang diriwayatkan dari Umar ra:
Bahawasanya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari, iaitu ‘Eid al-Adha dan ‘Eid al-Fitr. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud)
Serta hadith yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
Rasulullah SAW telah mengirimkan Abdullah Ibn Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingati Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan) [2]
Demikian Tata Cara Puasa Arafah dan Fadlilah/ Keutamaannya.
Allahu a’lam bisshawab..
——————————————————
[1] al-Imam as-Syaf’ie rh berpendapat; “Disunatkan puasa pada hari ‘Arafah bg mereka yang tidak mengerjakan ibadah haji. Adapun bg yang mengerjakan ibadah haji, adalah lebih baik untuknya berbuka agar ia kuat berdoa di ‘Arafah.” Dari pendapat Imam Ahmad rh pula; “Jika ia sanggup berpuasa maka boleh berpuasa, tetapi jika tidak hendaklah ia berbuka, sbb hari ‘Arafah memerlukan kekuatan (tenaga).” Begitu juga dengan para sahabat yang lain, lebih ramai yang cenderung untuk tidak berpuasa pada hari ‘Arafah ketika mengerjakan ibadah haji
[2] Ulama Syafi’iyyah membenarkan untuk berpuasa pada hari tasyrik hanya untuk keadaan tertentu seperti bersumpah, qadha puasa di bulan Ramadhan serta puasa kifarah (denda). Puasa tanpa sebab tertentu pada hari-hari ini (puasa sunat) adalah ditengah.
Artikel lain:
Tata cara, sunnah, dan do'a ketika WUKUF Arafah
sumber: http://kdi2.wordpress.com/2006/06/01/puasa-arafah/
Labels
- aqidah (33)
- Budaya (12)
- Ibadah (261)
- Kesalahan-Kesalahan dalam Thaharah (16)
- Lomba (2)
- Perjuangan (67)
- Sholat (70)
- Tips (6)
- Tips Wawancara (8)
Tips Menikah Islami
DOWNLOAD
Monday, November 15, 2010
Tata Cara Puasa Arafah dan Fadlilah/ Keutamaannya
Posted by Surono Karti at 9:11 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Sunday, November 14, 2010
Tata cara, sunnah, dan do'a ketika WUKUF Arafah
Para Jamaah yang akan melakukan wukuf Arafah setelah terbit matahari pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan melaksanakan shalat dzuhur dan
ashar di qashar dan jama' taqdim dengan satu adzan dan dua iqamat karena meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan jama'ah haji berada di Arafah hingga terbenam matahari dengan memperbanyak dzikir, do'a, membaca al-Qur'an dan talbiyah. Juga disyariatkan memperbanyak membaca :
"Laa ilaha illallahu wah dahu laa syaikalahu, lahulmulku walahulhamdu wahuwa 'alaa kulli syain qadiir, subhaanallahi walhamdullahi walaa ilaha ilallahu wala hawla wala quwwata illa billahi"
Juga disunnahkan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat ketika berdoa dengan memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pada awal dan akhir do'a, karena Arafah semuanya adalah tempat wukuf. Lalu ketika matahari terbenam disyri'atkan meninggalkan Arafah untuk menuju Muzdalifah dengan suasana tenang disertai memperbanyak talbiyah. Dan jika telah sampai di Muzdalifah melaksanakan shalat maghrib dan isya dijama' dengan satu adzan dan dua iqamat, di mana shalat Maghrib tetap dilakukan tiga rakaat sedang shalat Isya dilaksanakan dua rakaat.
Apabila ada Jamaah yang meninggalkan 'Arafah sebelum matahari terbenam, maka menurut mayoritas ulama, dia wajib membayar kifarat, yaitu menyembelih kurban yang disembelih dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Tapi jika dia kembali lagi ke Arafah pada malam
hari maka kifarat tersebut gugur darinya.
Sedangkan bagi jamaah haji tidak berada di 'Arafah pada waktu wukuf, maka tiada haji baginya. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
"Artinya : Haji adalah wukuf di Arafah. Maka siapa yang mendapati 'Arafah pada malam hari sebelum terbit fajar, sesunggunya dia telah mendapat haji" [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Adapun waktu wukuf adalah setelah matahari condong ke barat pada hari Arafah sampai terbit fajar pada malam Idul Adha. Ini adalah yang disepakati semua ulama. Sedanghkan wukuf sebelum matahari condong ke barat maka terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Mayoritas ulama mengatakan wukuf Arafah dianggap tidak sah jika tidak dilakukan setelah matahari condong ke barat dan pada malam hari. Maka siapa yang wukuf pada siang hari setelah matahari condong ke barat atau pada malam hari maka telah cukup baginya. Namun yang utama adalah agar seseorang wukuf setelah shalat dzuhur dan shalat ashar dengan jama' taqdim sampai matahari terbenam, dan tidak boleh meninggalkan Arafah sebelum matahari terbenam bagi orang yang wukuf pada siang hari. Jika dia melakukan demikian, maka menurut mayoritas ulama, dia wajib menyembelih kurban karena meninggalkan kewajiban haji, yaitu wukuf di Arafah antara malam dan siang bagi orang yang wukuf siang hari.
Artikel terkait:
1. Syarat-Syarat Hewan Kurban/Qorban
2. Menjual Kulit Hewan Qurban untuk Kepentingan Masjid dan Panitia
3.Kurban sekaligus Aqiqah
4. Arisan Kurban/patungan
5.Doa sembelih hewan kurban/ aqiqah
http://www.kaunee.com/index.php?option=com_content&view=article&id=393:wukuf-arafah&catid=37:motivasi-islami&Itemid=89
Posted by Surono Karti at 9:26 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Kapan Idul Adha (10 Zulhijjah 1431 H)/2010
Pelaksanaan Idul Adha (10 Zulhijjah 1431 H) menurut kalender Ummul Quro dari Pemerintah Arab Saudi jatuh pada Selasa (16/11). Maka berdasarkan hal itu, sebanyak 1,5 juta jamaah calon haji dari seluruh negara, dipastikan akan melaksanakan kegiatan puncak haji atau wukuf di Arafah pada, Senin (15/11), atau tepatnya tanggal 9 Zulhijjah di Arafah.
“Penetapan itu sendiri sudah dilakukan berdasarkan pengamatan bulan atau ruqiah dan diperkuat perhitungan hasil astronomi (hisab) resmi Arab Saudi, Sabtu (6/11) lalu,” ujar Kepala Penerangan Pusat Informasi Haji Asrama Haji Medan, Muhammad Sazly Nasution yang ditemui di kantor Kementrian Agama (Kemenag) Sumut, Senin (8/11).
Untuk jamaah Indonesia, sebagian besarnya sudah berada di Mekkah. Para jamaah diimbau untuk melakukan Salat Istiqomah dan Salat Gaib bagi korban bencana di banjir bandang Wasior, tsunami Kepulauan Mentawai dan letusan Gunung Merapi. “Itu instruksi dari Menteri Agama yang tiba di Mekkah Sabtu (6/11) lalu,” tambahnya.
Sumber : http://www.hariansumutpos.com/
Artikel terkait:
1.Doa, sunnah, dan tata cara wukuf arafah
2. Syarat-Syarat Hewan Kurban/Qorban
3. Menjual Kulit Hewan Qurban untuk Kepentingan Masjid dan Panitia
4.Kurban sekaligus Aqiqah
5. Arisan Kurban/patungan
6.Doa sembelih hewan kurban/ aqiqah
Posted by Surono Karti at 9:12 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Saturday, November 13, 2010
Doa menyembelih hewan Kurban dan atau Aqiqah
Doa menyembelih hewan Kurban dan atau Aqiqah:
Bismillahi Allahuakbar
(dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar)
Artikel terkait
1. Syarat-Syarat Hewan Kurban/Qorban
2. Menjual Kulit Hewan Qurban untuk Kepentingan Masjid dan Panitia
3.Kurban sekaligus Aqiqah
4. Arisan Kurban/patungan
Posted by Surono Karti at 9:18 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Friday, November 5, 2010
SABAR dan Makna BENCANA untuk MELURUSKAN AQIDAH
“Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, orang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. [Al Baqarah/2:155-157]
PENJELASAN AYAT
Firman Allah Ta’ala :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan”.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, (pada ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menguji dan menempa para hamba-Nya. Terkadang (mengujinya) dengan kebahagiaan, dan suatu waktu dengan kesulitan, seperti rasa takut dan kelaparan. [2]
Senada dengan keterangan sebelumnya, Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menyatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa Dia pasti akan menguji para hambaNya dengan bencana-bencana. Agar menjadi jelas siapa (di antara) hamba itu yang sejati dan pendusta, yang sabar dan yang berkeluh-kesah. Ini adalah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Seandainya kebahagiaan selalu menyertai kaum Mukminin, tidak ada bencana (yang menimpa mereka), niscaya terjadi percampuran, tidak ada pemisah (dengan orang-orang tidak baik). Kejadian ini merupakan kerusakan tersendiri. Sifat hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala (ini) menggariskan adanya pemisah antara orang-orang baik dengan orang-orang yang jelek. Inilah fungsi musibah”.[2]
Makna dari “dengan sedikit ketakutan dan kelaparan,” yaitu takut kepada para musuh dan kelaparan yang ringan. Sebab bila diuji dengan rasa takut yang memuncak atau kelaparan yang sangat, niscaya mereka akan binasa. Karena, hakikat ujian adalah untuk menyeleksi, bukan membinasakan. Sedangkan musibah berupa “kekurangan harta,” mencakup berkurangnya harta akibat bencana, hanyut, hilang, atau dirampas oleh sekelompok orang zhalim, ataupun dirampok.
Adapun bencana yang menimpa “jiwa,” yaitu berupa kematian orang-orang yang dicintai. Misalnya, seperti anak-anak, kaum kerabat dan teman-teman. Atau terjangkitinya tubuh seseorang, atau orang yang ia cintai oleh terjangkiti berbagai penyakit.
Berkaitan dengan kekurangan pada “buah-buahan,” lantaran bergulirnya musim dingin, salju, terjadinya kebakaran, gangguan dari belalang dan hewan lainnya, sehingga kebun-kebun dan ladang pertanian tidak menghasilkan sebagaimana biasanya.[3]
Semua ini dan bencana lain yang serupa, merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi para hamba-Nya. Barangsiapa bersabar, niscaya akan memperoleh pahala. Dan orang yang putus asa, akan ditimpa hukuman-Nya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri ayat ini dengan berfirman:
“(Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar)”.[4]
Maksudnya, berilah kabar gembira atas kesabaran mereka. Pahala kesabaran tiada terukur. Akan tetapi, pahala ini tidak dapat dicapai, kecuali dengan kesabaran pada saat pertama kali mengalami kegoncangan (karena tertimpa musibah).[5]
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kriteria orang-orang yang bersabar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.
Kata-kata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” inilah, dikenal dengan istilah istirja’, yang keluar dari lisan-lisan mereka saat didera musibah.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Mereka menghibur diri dengan mengucapkan perkataan ini saat dilanda (bencana) dan meyakini, bahwa mereka milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) berhak melakukan apa saja terhadap ciptaan-Nya. Mereka juga mengetahui, tidak ada sesuatu (amalan baik) yang hilang di hadapan-Nya pada hari Kiamat. Musibah-musibah itu mendorong mereka mengakui keberadaanya sebagai ciptaan milik Allah, akan kembali kepada-Nya di akhirat kelak.”[6]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kata-kata itu sebagai sarana untuk mencari perlindungan bagi orang-orang yang dilanda musibah dan penjagaan bagi orang-orang yang sedang diuji. Karena kata-kata itu mengandung makna yang penuh berkah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala [inna lillahi] ini mengandung nilai tauhid dan pengakuan penghambahaan diri, dan di bawah kepemilikan Allah.
Sedangkan firmanNya [wainna ilaiyhi rajiu'un] mengandung makna pengakuan terhadap kehancuran yang akan menimpa manusia, dibangkitkan dari kubur, serta keyakinan bahwa segala urusan kembali kepada Allah.[7]
“(Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya)”.
Betapa besar balasan kebaikan yang diperoleh orang-orang yang mampu bersabar, menahan diri dalam menghadapi musibah dari Allah, Dzat yang mengatur alam semesta ini.
Kata Imam al Qurthubi rahimahullah : “Ini merupakan rangkaian kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang bersabar dan mengucapkan kalimat istirja’. Yang dimaksud “shalawat” dari Allah bagi hamba-Nya, yaitu ampunan, rahmat dan keberkahan, serta kemuliaan yang diberikan kepadanya di dunia dan di akhirat. Sedangkan kata “rahmat” diulang lagi, untuk menunjukkan penekanan dan penegasan makna yang sudah disampaikan”. [8]
Imam ath-Thabari mengartikannya dengan makna maghfirah (ampunan)[9]. Sedangkan menurut Ibnu Katsir rahimahullah maknanya ialah, mereka mendapatkan pujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[10]
“(dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk)”.
Disamping karunia yang telah disebutkan, mereka juga termasuk golongan orang-orang muhtadin (yang menerima hidayah), berada di atas kebenaran. Mengatakan ucapan yang diridhai Allah, mengerjalan amalan yang akan membuat mereka menggapai pahala besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala [11]. Dalam konteks ini, yaitu keberhasilan mereka bersabar karena Allah.[12]
Ayat ini menunjukkan pula balasan bagi orang yang tidak mampu bersabar. Yaitu akan mendapat balasan dalam bentuk celaan, hukuman dari Allah, kesesatan dan kerugian.[13]
KESABARAN MENGHADAPI MUSIBAH MELURUSKAN AQIDAH
Kata sabar berasal dari shabara. Yakni menahan dan menghalangi. Mengandung makna mengekang jiwa dari menolak ketetapan takdir, menahan lisan dari keluh-kesah dan murka, serta mengendalikan anggota tubuh dari tindakan memukuli pipi, merobek-robek baju, dan reaksi-reaksi lainnya yang bersifat jasmine, dengan maksud menggugat takdir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
??
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” [At Taghabun/64:11]
Alqamah rahimahullah, seorang dari kalangan Tabi’in berkata: “Ia adalah seseorang yang dilanda musibah. Kemudian ia meyakini bahwa musibah itu berasal dari Allah, sehingga tetap ridha dan berserah diri”.
Said bin Jubair berkata,”Maksud firman Allah di atas, yakni ia mengucapkan istirja’ dengan mengatakan ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (saat dilanda bencana).”
Ayat di atas, sebagaimana disampaikan Syaikh Shalih al Fauzan, adalah merupakan dalil, bahwa amalan termasuk dalam lingkup keimanan. Ayat ini juga menunjukkan, bahwa kesabaran merupakan pintu hidayah bagi hati. Dan seorang mukmin membutuhkan kesabaran dalam segala keadaan.
Yang lebih penting lagi, saat dilanda berbagai macam musibah, maka kesabaran benar-benar dituntut untuk selalu dikuatkan keberadaannya. Tidak bisa tidak, karena musibah-musibah yang terjadi tidak lepas dari ketentuan Allah Ta’ala. Sehingga ketidaksabaran, justru akan menggoreskan cacat pada keimanan seseorang terhadap rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala.[14]
Bahkan hakikatnya musibah itu mendatangkan berbagai kemanfaatan. Diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Bencana-bencana merupakan kenikmatan. Sebab menggugurkan dosa-dosa dan menuntut adanya kesabaran, sehingga memperoleh pahala. Juga mengharuskan inabah (kembali) kepada Allah, menghinakan diri kepada-Nya, berpaling dari sesama manusia dan kemaslahatan penting lainnya. Terhapusnya dosa dan kesalahan dengan adanya musibah-musibah, (juga) termasuk kenikmatan yang besar…”. Dikutip dari al Irsyad, hlm. 103.
SUKA MENGELUH, GELAR ORANG-ORANG YANG JAHIL [15]
Orang yang jahil (bodoh) mengadukan Allah kepada sesamanya. Ini merupakan tindakan bodoh yang sangat parah terhadap Dzat yang Maha Agung. Seandainya ia mengenal Allah dengan sebaik-baiknya, tentu ia tidak akan mengeluhkan perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga tidak akan mengeluhkan Allah kepada sesama.manusia.
Adapun orang yang berilmu, ia akan mengadu hanya kepada Allah saja. Yaitu dengan menyalahkan diri sendiri, bukan orang lain.
PERLUNYA JIWA DIDIDIK DENGAN BENCANA [16]
Bencana atau musibah yang sedang melanda, hakikatnya memiliki peran besar dalam mendidik jiwa. Karena sudah semestinya jiwa itu juga harus dididik, meskipun dengan bencana. Sehingga ia akan memiliki kekuatan yang tegar, keteguhan sikap, terlatih, selalu respek dan waspada terhadap lingkungan sekitar.
Kesulitan-kesulitan yang dialami jiwa, sesungguhnya akan menghasilkan potensi luar biasa. Potensi itu dalam bentuk kekuatan besar yang tersembunyi. Kesulitan-kesulitan itu mampu membuka celah-celah hati, yang bahkan tidak diketahui oleh seorang mukmin sekalipun, kecuali melalui bencana atau musibah yang menderanya.
Saat itulah, seorang manusia harus segera menyadari, bahwa yang paling penting ialah iltija`. Yaitu mencari perlindungan diri kepada Allah semata, ketika seluruh tempat bergantung mengalami kegoncangan. Tidak ada tempat berlindung kecuali naungan-Nya. Tidak ada pertolongan, kecuali dari-Nya. Di saat-saat genting itulah, tabir kepalsuan kekuatan makhluk tersingkap. Tidak ada kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah. Tidak ada daya kecuali daya-Nya. Dan tidak ada tempat perlindungan kecuali kepada-Nya.
Razaqanallah husnal khatimah. Wallahu a’lam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007M, Rubrik Mabhats, melalui http://rumahmadina.com/blog-artikel-islam/bersabar-saat-tertimpa-bencana-meluruskan-aqidah/]
________
Footnote
[1]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim, Cet. II, Th. 1422H-2001M, Darul-Kutub ‘Ilmiyah (1/191).
[2]. Taisirul-Karimir-Rahman, Cet I, Th. 1423 H-2002M, Muassasah Risalah, hlm. 76.
[3]. Lihat Taisirul-Karimir-Rahman hlm. 76; Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (1/196).
[4]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (1/196).
[5]. Al Jami li-Ahkamil-Qur`an, Tahqiq Abdur-Razzaq Mahdi, Cet. II, Th. 1420H-1999M, Maktabah Rusyd (2/170).
[6]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (1/196).
[7]. Al Jami li Ahkamil-Qur`an (2/172).
[8]. Ibid.
[9]. Jami’ul-Bayan, Cet. I, Th. 1421 H-2001 M, Darul-Ihyait-Turats (2/52).
[10]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (1/196).
[11]. Jami’ul-Bayan (2/53).
[12]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 76
[13]. Ibid.
[14]. Al Irsyad, Cet. I, Th. 1414 H, Maktabah al Ilmu, hlm. 101-102.
[15]. Al Fawaid, hlm. 95.
[16]. Ats-Tsabat ‘alal-Islam, hlm. 56-57 secara ringkas.
Posted by Surono Karti at 1:05 PM 0 comments
Labels: Perjuangan