Friday, June 26, 2009

“LEGITIMASI PERUBAHAN KONSTITUSI: Kajian Terhadap Perubahan UUD 1945”

Tulisan ini merupakan endapan dari hasil pembacaan buku yang ditulis oleh Hardjono (2009) Adakah orang yang berani melakukan perubahan terhadap UUD 1945 pada masa Orde baru atau sebelumnya? Jawabannya pasti tidak ada. Pada saat itu UUD 1945 dianggap sudah sempurna dan tidak boleh diubah-ubah lagi. Akan tetapi, ketika masa reformasi bergulir kondisinya berubah seratus delapan puluh derajat. Anggota MPR RI hasil pemilu 1999 dengan serta merta melakukan perombakan terhadap UUD 45 yang sudah dianggap memiliki kekurangan dan kelemahan. Sehingga memudahkan terjadinya penyelewengan kekuasaan, yang pada ujungnya menimbulkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. MPR-RI hasil pemilu 1999 tersebut secara marathon melakukan Sidang Umum dan dilanjutkan dengan Sidang Tahunan MPR RI dengan berpijak pada ketetapan MPR-RI no.II/MPR/2000 untuk melakukan perubahan UUD 45.

Berdasarkan “kesepakatan antar fraksi” disetujui untuk melakukan perubhan UUD 1945 dalam bentuk amandemen dengan cara addendum. Artinya, naskah hasil perubahan itu dilampirkan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari naskah asli UUD 1945. Dengan demikian, naskah asli UUD 1945 sebagai dokumen perjuangan bangsa tetap ada dan akan tetap bisa dipelajari oleh generasi mendatang. Namun, setelah mengalami empat kali perubahan dari tahun 1999 – 2002 hasil perubahan tersebut telah di “konsolidasikan” dalam satu naskah. Di dalam naskah ini terlihat bahwa jumlah pasal-pasal yang diubah secara keseluruhan mencapai 300%. Sehingga yang terjadi bukan lagi amandemen, melainkan alteration atau change the constitution atau the criping of the constitution karena dilakukan tidak terang-terangan (uitdrukkelijk). Dengan tetap menggunakan penamaan UUD 1945 tetapi naskah aslinya telah dihapuskan.

Dengan demikian,MPR RI telah mengingkari kesepakatan antar fraksi yang mereka buat. Di samping itu, apabila merujuk pasal 50 Tap MPR-RI No.II/MPR/2000, perubahan UUD 1945 hanya dapat dilakukan pada Sidang Umum Majelis pada awal masa jabatan keanggotaan Majelis, sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) huruf b, dan tidak dapat dilakukan pada sidang Tahunan Majelis. Bagaimanapun juga sejarah sudah tercatat, proses perubahan UUD 1945 telah terjadi dan tidak mungkin lagi di ulang. Mau tidak mau Implikasi dari perubahan tersebut harus dirasakan oleh seluruh bangsa.

Ternyata, perubahan-perubahan terhadap UUD 1945 tersebut telah menimbulkan dampak yang luar biasa dalam sistematika UUD 1945 maupun dalam system Ketatanegaraan. Apabila semula negara Indonesia menganut system demokrasi perwakilan berganti menjadi demokrasi konstitusional yang mengacu pada paham pluralisme. Ada pertanyaan mendasar yang diajukan penulis, yakni berkaitan dengan legitimasi perubahan. Penulis menyatakan bahwa legitimasi mutlak menjadi syarat bagi pembentukan dan perubahan UUD. Di dalam Negara modern legitimasi menyangkut dua hal pokok, yaitu “pemberian bentuk hukum” dan “ sahnya suatu keputusan kebijakan” berdasarkan asas legalitas. Pemberian bentuk hukum didasarkan pada ketentuan atau aturan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD atau konstitusi.

Sedangkan sahnya suatu keputusan kebijakan dapat dilihat dari dasar hukumnya, tujuan dan tata cara perubahan sesuai sifat konstitusi, sistem pemerintahan Negara maupun bentuk Negara. Jadi, pembentukan maupun perubahan konstitusi harus memiliki legitimasi filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis pembentukan maupun perubahan konstitusi harus berlandaskan pada filsafat negara yaitu Pancasila yang sudah direfleksikan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian secara Yuridis harus selaras dengan tujuan dan tatacara perubahan UUD 1945. Dan secara sosiologis pembentukan maupun perubahan konstitusi harus diakui dan diterima rakyat atau warga Indonesia, baik secara sadar tanpa adanya rekayasa, penipuan, kebohongan, keterpaksaan, dan lain-lainnya. Akhirnya penulis buku ini berkesimpulan bahwa: pertama, dilihat dari segi perubahan substansi material dari perubahan 1999 – 2002 perubahan tersebut bertentangan dengan Filsafat Dasar Negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Kedua, anggota MPR RI telah mengkhianati sumpah dan janjinya sendiri menurut ketetapan MPR-RI No.II/MPR/2000.

Dengan demikian perubahan tersebut tidak memiliki legitimasi filosofis. Dilihat dari tujuannya, perubahan tersebut mengandung kebohongan publik, penuh rekayasa, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindakan makar, karena telah mengubah sistem ketatanegaraan secara tidak sah. Ketiga, Perubahan UUD 1945 tidak memiliki bentuk hukum formal yang seharusnya berupa ketetapan MPR RI. Untuk itulah penulis menyarankan agar MPR RI melakukan kajian ulang terhadap Hasil Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999 – 2002 dengan membentuk Komisi Konstitusi Independen. Kedua, sementara menunggu kerja Komisi Konstitusi Independen seluruh hasil Perubahan UUD 1945 tidak diberlakukan lebih dahulu sampai dengan Sidang Umum Majelis berikutnya. Ketiga, agar seluruh anggota MPR-RI berpegang pada Sumpah dan Janji yang telah diucapkannya dan menyadari bahwa sebenarnya MPR RI hanyalah pelaksana kedaulatan rakyat.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com