Disaat rekan-rekannya sesama guru di perkotaan sibuk berdemo dan memperjuangkan haknya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, sosok ini justru semakin asyik dengan kesendiriannya di sebuah SD yang sangat terpencil, SD Hampang. Sebuah sekolah yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota, fasilitas memadai, apalagi tunjangan yang sepadan. Sumardi, pria berumur 33 tahun ini rela menghabiskan waktunya untuk mengabdikan dirinya demi memberantas kebodohan dan keterbelakangan masyarakat Dayak di desa Hampang Kecamatan Halong Kalimantan Selatan.
Setiap harinya dia harus melakukan perjalanan naik turun gunung untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris kepada anak didiknya. Jalan yang sangat tidak layak harus ditempuhnya setiap hari demi pengabdiannya sebagai guru. Bahkan, kalau sedang musim hujan dia sering harus menginap di salah satu rumah penduduk di balik bukit yang hanya ada satu dua rumah.
Menjadi seorang guru memang menjadi cita-citanya sejak muda. Selepas menyabet gelar sarjana dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sumardi kemudian melanjutkan S2nya di Universitas Negeri Malang Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Setelah itu beliau menjadi dosen di IAIN Barabai Kalsel jurusan Tarbiyah. Pada suatu hari beliau mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan masyarakat Hampang yang anak-anaknya tidak pernah mengenal sekolah. Keprihatinan yang sangat mendalampun mulai merasukinya.
Pendekatan kepada masyarakatpun dilakukannya. Alhamdulillah sedikit demi sedikit masyarakat setempat mulai tumbuh kesadarannya untuk merelakan anak-anak mereka bersekolah. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama beberapa orang anak mulai mau diajak bersekolah.
Selama satu tahun pak Sumardi bersama beberapa orang anak mengadakan sekolah di bawah pohon bambu. Mereka memilih melakukan aktifitas belajar mengajar di salah satu rumpun bambu yang memiliki "ruangan" yang berdiameter kurang lebih 6 meteran. Dengan beratap dan berdindingkan tanaman bambu yang masih hidup Sumardi bersama anak didiknya dengan penuh semangat berbagi ilmu. Merekapun tidak pernah mengeluh meskipun setiap kali hujan harus mengehentikan proses belajarnya. Dan juga menjadi sesuatu yang sangat biasa ketika pak Sumardi dan anak didiknya harus bersama-sama membakar sampah untuk mengusir nyamuk-nyamuk yang tidak jera-jeranya menggigiti mereka. Tidak hanya itu saja pak Sumardipun harus merelakan anak-anaknya tidak masuk sekolah pada saat musim panen tiba. Dimana mereka semua membantu orang tuanya ke ladang.
Seiring perjalanan waktu, tahun 2007 perhatian dari pemerintah daerah mulai tampak. Pemda membangunkan dua lokal gedung sederhana (dari papan) beserta sedikit sarana mengajar berupa meja-kursi dan papan tulis. Meskipun jauh dari mencukupi namun pak Pumardi bersama tiga orang rekannya sudah bersyukur karena anak-anak tidak lagi terganggu oleh hujan dan nyamuk.
"Bagi saya bekerja sama saja. Artinya ketika bekerja kita harus total dan profesional. Kalau bukan saya siapa lagi yang akan memperhatikan mereka. Saya merasa berdosa jika membiarkan mereka dalam kebodohan. Sehingga saya memutuskan untuk keluar dari IAIN dan memilih mengabdi di sini", ungkap pak Sumardi berkaca-kaca.
Keteguhannya untuk selalu menjadi guru di SD terpencil ini tidak tergoyahkan meskipun beliau hanya mendapatkan imbalan 700 ribu setiap bulannya. Dirinyapun tampak sabar meski harus menyadap karet sepulang mengajar seperti kesabarannya ketika menantikan kedatangan donatur yang baik hati yang bersedia untuk membangunkan lokal baru. Agar anak didiknya bisa melanjutkan sekolah sampai kelas enam, tidak hanya sampai kelas tiga saja seperti saat ini.
Harapan tersebut selalu tumbuh di hatinya seperti tumbuhnya semangat masyarakat Hampang untuk menyekolahkan anaknya ke SD yang diampunya. Atau seperti terbukanya masyarakat Hampang yang rela membangun bangunan dari bambu dan atap rumbia untuk menampung mereka dalam kelas Kejar Paket A.
0 comments:
Post a Comment