Wednesday, December 24, 2008

Wanita Tidak Bisu

Berbagai upaya untuk meningkatkan peran wanita di Indonesia, bahkan di dunia, terus dilakukan. Hal ini dilakukan demi mengangkat derajat kaum perempuan. Upaya-upaya tersebut ditempuh karena dilatarbelakangi oleh anggapan akan ketidakberdayaan wanita dan nasib mengenaskan yang dialami wanita di berbagai belahan dunia. Khususnya di Indonesia, para aktifis terhadap perempuan, masih menganggap jika wanita masih dipandang sebagai warga kelas dua. Budaya di berbagai daerah di Indonesia masih dipandang selalu berpihak pada laki-laki.
Ada satu hal kelihatannya belum singkron antara upaya peningkatan peran wanita Indonesia dengan konsep yang digunakan para aktifis. Selama ini para aktifis pembel perempuan di Indonesia sering menggunakan konsep-konsep yang diimpor dari Barat. Padahal pandangan orang-orang Barat yang berbudaya Barat dengan Indonesia yang nota benenya budaya Timur sangat bertolak belakang. Tidak mengherankan jika dalam berbagai upayanya para aktifis sering mendapatkan pertentangan hebat dari masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut seyogyanya para aktifis perempuan di Indonesia menggunakan pendekatan dengan konsep-konsep yang diambil dari budaya Indonesia sendir dalam melaksanakan perjuangannya. Sehingga ada kesesuaian antara konsep dengan obyek yang ditangani.
Selama ini pola perjuangan yang diterapkan para aktifis cenderung frontal. Padahal budaya masyarakat Indonesia pada umumnya adalah cenderung tertutup dan sedikit basa-basi. Tidak mengherankan kalau selama ini para aktifis "pembebas" perempuan tidak hanya mendapatkan hambatan dari kaum pria namun juga dari kalangan kaum Hawa sendiri. Untuk itulah perlu adanya langkah yang tersistematis dan bertahap untuk menggugah semangat para Srikandi Indonesia agar menjadi pahlawan bagi dirinya, keluarganya, Indonesianya, dan tentunya dunianya.
Salah satu jalan yang bisa ditempuh guna menjadikan wanita-wanita Indonesia menjadi pejuang adalah dengan menggunakan budayanya untuk menyelesaikan permasalhannya. Sebagaimana diketahui bahwa pada umumnya wanita di Indoensia memiliki sifat tertutup dan diam, sehingga ada pepatah diam berarti tandanya mau. Kebiasaan seperti inilah yang harus dipecahkan dahulu dari dalam diri wanita Indonesia. Suatu saat nanti ketika telah mampu mengurai benang kusut budaya diam tersebut maka jalan yang lainnya akan terasa sangat mudah.
Budaya diam dapat diartikan berupa rendahnya kualitas dalam berkomunikasi para wanita Indonesia. Sehingga tidak begitu salah seandainya perjuangan untuk memberdayakan perempuan adalah membuat mereka bisa "berbicara". Berbicara kepada dirinya sendiri, kepada keluarganya, temannya, dan berbicara kepada orang lain. Untuk menumbuhkan keberanian berbicara inipun bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena dalam kesehariannya mereka sering terkekang dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Permasalahan hambatan berkomunikasi seperti inilah yang masih belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun para aktifis pembela perempuan.
Misalnya dalam berbagai kasus yang dialami para TKW kita di luar negeri, para PJTKI selaku penyalur tenaga kerja Indonesia sebenarnya telah memberikan pelatihan keterampilan, termasuk keterampilan berkomunikasi, namun sayangnya pelatihan berkomunikasi ini belum menghasilkan sesuatu yang menggembirakan. Pelatihan peningkatan kualitas berkomunikasi oleh para agen tenaga kerja masih diterjemahkan sebagai sebuah pelatihan untuk meningkatkan penguasaan berbahasa asing saja, tidak lebih. Calon-calon TKW hanya diajari beberapa kalimat dasar sebagai bekal berbicara. Bahkan tidak sedikit pula PJTKI yang memberikan pelatihan fiktif saja, mereka mengaku telah mengadakan berbagai macam pelatihan keterampilan kepada calon TKI namun kenyataannya tidak pernah melakukannya. Bahkan disinyalir ada PJTKI yang main mata dengan oknum pemerintah.
Ada satu hal yang belum dilakukan pemerintah dan para penyalur tenaga kerja Indonesia sampai saat ini adalah mereka belum membekali para TKW kita dengan kemampuan berkomunikasi yang baik. Komunikasi yang dimaksudkan disini bukan saja peningkatan kemampuan berbahasa yang lancar namun juga pelatihan public speaking. Masih ada kesalahan persepsi antara pemerintah dengan pihak agen. Mereka beranggapan bahwa meningkatkan kemampuan berkomunikasi hanyalah sebatas meingkatkan kemampuan bertutur bahasa saja. Sehingga bahasa-bahasa yang diajarkan hampir pasti selalu yang berhubungan dengan komunikasi harian antara pembantu dengan majikan, tidak lebih. Tidak mengherankan jika kelancaran menyapa, menjawab, dan memenuhi panggilan majikan adalah menjadi tujuan utama pada pelatihan komunikasi ini.
Sejatinya, tujuan akhir dari proses panjang ini adalah menjadikan wanita Indonesia sebagai duta bangsa. Baik sebagai duta budaya, pariwisata, maupun duta investasi. Keberadaan ribuan tenaga kerja Indoensia di luar negeri merupakan aset yang sangat besar sekali dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bangsa. Kita bisa membayangkan seandainya setiap tenaga kerja diberi titipan untuk mempromosikan Indonesia kepada satu orang majikannya atau seorang kenalannya atau seorang temannya di luar negeri maka kita bisa menghitung berapa banyak informasi yang berhasil di jual ke negara lain. Seandainya setiap tenaga kerja wanita kita dalam sekali kontrak kerja berhasil meyakinkan satu keluarga bahwa Indonesia adalah bangsa yang sopan santun, lembut, kaya akan sumber daya alam, dan memiliki keindahan alam yang memukau tentunya nama Indonesia akan semakin membahana di luar negeri. Tidak mustahil pada beberapa tahun ke depan pertumbuhan investasi dan pariwisata Indonesia akan pesat. Sehingga pada beberapa dekade ke depan tidak akan ada lagi anak bangsa yang bekerja sebagai tenaga kasar di luar negeri.
Demikian pula dengan kekuatan jutaan wanita Indonesia di dalam negeri akan bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Kita bisa mengkalkulasi seandainya seorang wanita di Indonesia mampu membimbing seorang anak dengan baik, mampu mengontrol suaminya untuk tidak berbuat sesat, dan memanaje keluarganya menjadi keluarga yang hangat maka sungguh membahagiakan sekali.
Akhirnya, Idealnya para wanita Indonesia memiliki perannya yang sangat starategis melalui keluarga, media massa, organisasi-oraganisasi sosial politik, sebagai profesional, ilmuwan, maupun berbagai peran strategis lainnya baik di dalam maupun luar negeri. Dalam tulisan ini muncul keoptimisan dalam diri penulis jika para Srikandi kita akan bisa mencapi posisi itu. Penulis membayangkan dua dekade ke depan tidak akan ada lagi Sumiyem yang teraniaya di Malaysia, tidak akan ada lagi Sunarsih yang diperkosa di Cina, tidak akan ada pula Saminah di Arab Saudi yang mengemis meminta pembayaran gajinya. Namun akan muncul Kartini-Kartini baru yang membawa perubahan bagi Indonesia dan dunia.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com