Kekuatan sebuah kartu identitas yang bernama Kartu Tanda Penduduk bagi orang-orang miskin sudah tidak terbantahkan lagi. Dengan secarik kartu itulah seseorang bisa mendapatkan seratus ribu secara cuma-cuma setiap bulannya. Dengan kartu tersebut seseorang bisa mendapatkan beberapa kilogram beras murah. Dengan itu seseorang bisa mendapatkan kartu KMS, dan dengan itu pula seseorang yang sebenarnya mampu secara ekonomi bisa menasbihkan dirinya sebagai keluarga miskin. Sebaliknya, tanpa kartu tersebut seseorang yang sebenarnya sangat layak mendapatkan hak untuk program-program kemiskinan terpaksa harus menelan pil pahit dan harus puas menjadi penonton saja.
Begitu vitalnya peran KTP dalam menentukan nasib sebuah keluarga menjadi miskin atau tidak. Banyak sekali masyarakat yang statusnya miskin bahkan sangat miskin, bertempat tinggal di bantaran sungai, jembatan, dan permukiman-permukiman liar dengan serta merta dicap sebagai "keluarga mampu" (tidak mendapatkan bantuan dari program-program untuk masyarakat miskin). Sementara itu mereka yang memiliki satu buah mobil, dua sepeda motor, sebuah warung cukup besar, memiliki usaha industri rumah tangga dengan beberapa tenaga kerja, dan dua anaknya kuliah di perguruan tinggi dengan bangganya menempelkan stiker besar Keluarga Menuju Sejahtera 3 di pintu depannya (kebetulan bertetangga dengan penulis). Sungguh ironis sekali.
Sudah bukan rahasia lagi jika keberadaan masyarakat miskin yang tidak ber KTP ini hampir selalu tidak bisa terdeteksi oleh BPS meskipun tempat tinggal mereka tepat berada di depan rumah mitra BPS atau pejabat pemerintah. Secara de facto mereka diakui keberadaanya, namun secara dejure tidak bisa ditemukan. Aparat pemerintah "kesulitan" menemukan mereka karena orang-orang miskin itu tidak memiliki kartu sakti, KTP. Padahal kelompok masyarakat seperti inilah yang memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi.
Orang-orang miskin yang tidak memiliki tanda pengenal ini selalu menjadi warga kelas dua. Ketiadaan KTP pada mereka ini selalu menjadi alasan yang manjur bagi aparat pemerintah untuk menolak menyalurkan bantuannya. Banyak pejabat yang memilih membagikan bantuan kepada mereka yang mampu asal ber KTP daripada kepada yang benar-benar miskin namun tidak memiliki identitas. Banyak pula pejabat yang dengan entengnya berkata,"Orang-orang yang menderita gizi buruk itu bukan warga kami. Meskipun mereka hidup di sini". Sungguh terlalu.
Jadi, menjadi sesuatu yang sangat dimaklumi seandainya daerah-daerah yang menjadi sentra-sentra beras di Indonesia tiba-tiba muncul kasus gizi buruk. Menjadi sesuatu yang sangat biasa ketika di daerah yang kaya tiba-tiba terdengar berita meninggalnya seorang warga karena kelaparan. Dan inilah salah satu permasalahan utama dalam program pengentasan di Indonesia, dimana para pejabat lokal masih menggunakan batas administrasi yang sangat tegas bagi para penduduknya. Hanya penduduk lokal (yang berKTP setempat) saja yang berhak menjadi sasaran program.
Setahu penulis, tidak ada peraturan yang menyebutkan jika seorang tidak memiliki KTP setempat maka tidak berhak mendapatkan bantuan. Di dalam UUD 45 pun tidak ada ayat/pasal yang menyatakan bahwa hanya orang yang berKTP setempatlah yang berhak ditanggung kehidupannya oleh pemerintah daerah. Bukankah,"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara dan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan" (UUD 45 pasal 34 ayat 1-2).
Dalam program jangka panjang kita memerlukan sebuah regulasi baru dalam pengelolaan keluarga miskin di Indonesia, terutama dalam pendataannya. Dalam hal ini kita sangat membutuhkan sebuah perbaikan sistem pencatatan kependudukan di Indonesia agar KTP bisa berlaku secara nasional. Sehingga warga kota Yogyakarta mendapat perhatian yang sama ketika sedang berada di Jakarta begitu pula sebaliknya. Dan impian kita pada suatu saat nanti tidak akan ada lagi warga Surabaya atau Semarang namun yang ada adalah warga Indonesia.
Dalam jangka pendek pemerintah daerah perlu segera mengatasi kesenjangan antara penduduk miskin ber KTP dengan yang tidak. Keduanya harus mendapatkan perlakuan yang seimbang, paling tidak tidak terlalu berat sebelah agar kemiskinan bisa dipukul secara merata. Pemerintah daerah bisa melakukannya dengan memanfaatkan dan memaksimalkan peran lembaga adat, sosial, maupun keagamaan yang ada. Misalnya bekerja sama dengan Bazais (badan amal, zakat, infak, dan shodaqoh) untuk menyalurkan dana mereka kepada masyarakat miskin agar tidak hanya dalam bentuk zakat tahunan, namun berkembang menjadi penyaluran bantuan untuk ekonomi produktif tanpa bunga dan agunan.
Akhirnya, seluruh bangsa Indonesia sangat menantikan sebuah kebijakan yang mampu memenuhi syarat ketepatan sasaran dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Mereka yang hidup dan telah menjadi bagian dari masyarakat di suatu kampung akan mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan haknya. Sehingga bukan hanya penduduk miskin yang ber KTP lokal saja yang bisa menikmati subsidi dari pemerintah namun juga seluruh masyarakat yang benar-benar membutuhkan tanpa terkecuali.
0 comments:
Post a Comment