Wednesday, December 24, 2008

Membuat Hutan Tersenyum Kembali (Perusakan Hutan Lindung Mandor Kalimantan Barat)

"Jaman reformasi itu semua serba bebas Mas. Dulu waktu presiden Suharto masih berkuasa tidak ada seorangpun yang berani menebang pohon di hutan Lindung Mandor ini. Jangankan menebang, mau masuk buat cari kayu bakar saja harus lapor. Tapi sejak Gus Dur jadi presiden semua bebas. Tiap hari puluhan truk keluar masuk ngambili pohon-pohon besar. Terus ada yang mulai nambang emas. Sekarang semua pada nambang. Tidak ada yang ditakuti lagi. Kami sangat sedih sekali melihat hutan lindung yang menjadi kebanggaan kami hancur musnah, hutan yang sangat bagus, gudangnya anggrek alam, dan merupakan pusatnya anggrek hitam, pandurata ada empat macam, akan tetapi sayang sekali sekarang sudah tidak dapat ditemukan satupun semua sudah rusak dan habis tinggal ranting-ranting ja", kata Pak Samad mantan Penjaga Hutan Lindung Mandor.
Kutipan wawancara di atas hanyalah sedikit dari berbagai keluhan yang sempat terucapkan oleh sebagian masyarakat di sekitar hutan lindung Mandor Kalimantan Barat. Sebelum masa reformasi, keberadaan hutan lindung memang benar-benar mampu menjadi pelindung mereka yang kedua setelah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hutan tersebut menjadi tempat menggantungkan hidup untuk mencari tanaman anggrek dan kayu bakar. Namun keadaanya berubah total, persisnya ketika masa reformasi tiba, seolah-olah semua serba bebas. Hutan Lindung yang selama ini dikeramatkan tiba-tiba seperti tidak bertuan semua orang bebas menjarahnya, dan kinipun yang tersisa hanyalah hamparan pasir putih. Tidak pernah ada yang menyangka bahwa di pasir itu dulu adalah sebuah hutan yang lebat.
Semua mimpi buruk itu bermula dari adanya pendapat dari sebagian masyarakat bahwa di bawah hutan lindung Mandor dijadikan gudang penyimpanan harta karun oleh keluarga Cendana. Kabar tersebut benar-benar terbukti setelah salah seorang penduduk melakukan penggalian tanah di sekitar hutan dia menemukan emas. Tepatnya tanah yang mengandung emas. Diapun meneruskan usaha penggalian, tepatnya penambangan ilegal. Bukan hanya dia saja, masyarakat yang lain pun ramai-rami mengikuti jejaknya. Hutan yang dulunya dianggap keramat mendadak seperti tidak bertaring dan menjadi sasaran massa.
Ada gula ada semut, kabar harta karun di bawah hutan lindung pun tercium masyarakat di luar Mandor, maka hukum alam yang berbicara, aliran migrasi ke Mandor tidak tertahan lagi. Para pendatang tidak hanya datang dari sekitar mandor, namun juga dari luar pulau termasuk dari pulau Jawa dan Cina. Perlahan namun pasti orang-orang dari luar Mandor, yang bermodalkan besar, mulai mendesak masyarakat lokal. Akibatnya bisa ditebak, masyarakat lokal mulai terpinggirkan. Mereka yang tidak memiliki modal untuk melanjutkan penambangan lebih memilih menambang di bekas-bekas lokasi yang pernah ditambang orang lain dengan peralatan yang sangat sederhana, sebagian memutuskan menjadi buruh dari pemodal besar, sebagian menjadi penonton, dan banyak tokoh-tokoh lokal lebih mengambil peran sebagai "petugas" keamanan bagi para penambang. Hingga akhirnya terbentuklah sebuah sistem pengrusakan hutan yang terorgisir. Kuatnya jalinan pengrusakan hutan ini tidak mudah ditembus oleh orang lain, termasuk pemerintah. Karena pemerintahpun mendapatkan "pasokan" dari para cukong. Kisah tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus kerusakan (baca:pengrusakan) hutan di Indonesia. Di luar Mandor masih ada ratusan kasus serupa. Di Indonesia masih ada jutaan hektar hutan yang rusak akibat keserakahan dan ketidakpedulian manusia. Semua pihak harus turun tangan dalam menghadapi bencana ini.
Ada beberapa hal yang bisa ditempuh; Pertama, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang ketat dalam penanganan hutan. Tentunya aturan-aturan yang berpihak pada masyarakat dan hutan, bukannya hukum yang melindungi penguasa, pengusaha, dan pemodal besar. Hukum yang adil bagi semua pihak. Hukum yang bisa membuat hutan tumbuh dengan nyaman.
Kedua, harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan. Misalnya dengan memberdayakan masyarakat agar mereka peduli dengan hutan yang ada di sekitar mereka. Misalnya dengan menjadikan hutan sebagai milik masyarakat adat bukan milik perorangan, penguasa, pengusaha, ataupun pemerintah. Karena selama ini kerusakan hutan banyak disebabkan oleh perubahan status kepemilikan hutan dari hutan ulayat menjadi hutan pemerintah ataupun pribadi. Berbeda ceritanya ketika kepemilikan hutaan masih milik komunal/ adat karena masyarakat adata memiliki kebijakan sendiri dalam menjaga agar hutan tetap lestari. Penyerahan kepemilikan hutan kepada masyarakat adat paling tidak akan mampu mengurangi upaya pengrusakan hutan.
Ketiga, adalah mengembangkan managemen hutan berbasis masyarakat. Dengan sistem ini hutan tidak hanya berdiri sendiri namun ada masyarakat yang menjaganya. Model ini sangat cocog untuk wilayah-wilayah sekitar hutan yang ikatan adatnya tidak terlalu kental seperti di wilayah Jawa dan tidak menutup kemungkinan juga di wilayah yang masih menganut sistem adat yang kuat. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan hutan dengan sistem berlapis. Pada lapisan paling dalam adalah hutan lindung yang berfungsi sebagai penjaga alam. Disusul dengan lapisan berikutnya adalah hutan industri/ hutan rakyat, dan yang terakhir luar adalah hutan tanaman pangan, buah-buahan, dan sebagainya.
Dengan model seperti ini semua pihak akan bisa memeatik manfaat dari keberadaan hutan. Sehingga tujuan utama penyelamatan hutan (hutan lindung) insyaallah akan berjalan dengan baik. Masyarakat setempat akan merasa nyaman karena penghasilan mereka tidak hilang sekaligus juga tidak menglhawatirkan adanya bencana alam yang diakibatkan kerusakn hutan. Pihak pengusaha akan merasa riang karena tetap mampu menjalankan roda perusahaannya dan tidak memecat para karyawan. Pemerintah pun akan senang karena masyarakat sejahtera. Dan akhirnya hutanpun akan semakin bersemangat untuk menghijaukan bumi.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com