Setelah membaca tulisan dari penulis terkenal biasanya kita akan langsung bersemangat untuk membuat sebuah tulisan yang senada. Entah karena terpengaruh oleh nyawa yang ada di dalam tulisan tersebut, terkesan dengan kemampuan penulis dalam memilih kata-katanya, atau karena gaya bahasanya yang sangat memukau. Ini yang kita harapkan. Celakanya bila yang terjadi sebaliknya. Setelah membaca sebuah tulisan kita langsung keder dengan tulisan tersebut. Misalnya ketika secara kebetulan kita bertemu dengan sebuah buku/tulisan yang menggunakan istilah-istilah asing yang sangat banyak. Tidak jarang kita akan mengalami yang namanya kalah sebelum bertanding. Dalam hati kita mungkin akan muncul ketakutan dan kekhawatiran, ”Ohhh…ternyata menulis harus menggunakan istilah-istilah asing yang ruwet to….”
Selama ini masih ada sebuah kesalahan pemahaman bahwa kualitas tulisan dan kualitas penulis sangat ditentukan oleh berapa banyaknya istilah-istilah asing yang digunakan. Semakin banyak istilah asingnya maka akan semakin menambah kualitas penulis dan tulisannya. Dengan kata lain, ketika seseorang menulis dan menggunakan istilah-istilah asing yang banyak dalam tulisannya maka dia akan dianggap sebagai orang pintar. Sedangkan ketika menggunakan sedikit saja maka dianggap penulis biasa saja.
Pemahaman seperti itu perlu segera diluruskan. Jangan sampai hanya karena kita tidak menggunakan istilah-istilah asing maka semangat menulis kita menurun. Ingatlah pada tulisan saya terdahulu, bahwa kita menulis bukanlah untuk mendapatkan pujian, sanjungan, maupun imbalan namun dengan tulisan kita bisa mengabdikan diri kita. Untuk itu janganlah memedulikan apa kata orang. Biarkan saja mereka mengatakan bahwa tulisan kita miskin dengan istilah asing. Jangan pedulikan pula jika kita dikatakan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Jangan pula merasa minder ketika tulisan kita dikatakan tidak berbobot.
Saudaraku calon penulis sukses.
Bobot tulisan tidak ditentukan oleh seberapa banyak penulis menggunakan istilah asing. Bobot tulisan sangat bergantung pada bagaimana tulisan tersebut mampu dimanfaatkan, diambil hikmahnya, mampu menjadi pencerahan, dan mampu menjadi sarana perubahan ke arah yang lebih baik kepada orang lain. Untuk itu janganlah merasa rendah diri dengan sedikitnya istilah asing yang engkau gunakan.
Sejatinya, orang yang banyak menggunakan istilah asing tidak lebih baik dari pada penulis yang menggunakan istilah-istilah lokal (Indonesia). Bahkan secara pribadi saya mengatakan bahwa penulis yang terlalu banyak bermain dengan istilah asing justru menunjukkan kelemahan dia. Karena dia tidak mampu menerjemahkan istilah asing ke dalam istilah lokal. Sehingga para pembaca akan menemui banyak kesulitan untuk memahami apa yang dia sampaikan. Ketika seorang penulis menggunakan istilah asing (kecuai untuk istilah baku dalam kazanah ilmiah) yang tidak mampu difahami dengan baik oleh pembacanya maka dia belum berhasil menjadi penulis sukses. Sebaliknya seorang penulis yang menggunakan kata-kata sederhana dan mudah dimengerti maka dialah penulis sukses.
Sebagai penulis lokal (Indonesia) kita wajib menguasai dengan baik istilah-istilah lokal. Alasananya sangat sederhana, karena kita hidup di negeri Indonesia. Kecuali jika kita berada di negeri orang maka mau tidak mau kita harus menggunakan sebanyak mungkin istilah yang difahami masyarakat setempat.
Untuk itu, ”Hai para calon Penulis Sukses, gunakan sesedikit mungkin istilah-istilah asing” agar tulisanmu bermanfaat bagi orang lain. Orang yang mampu menggunakan bahasanya sendiri untuk menyampaikan informasi di negeri sendiri adalah orang yang cerdas. Namun ketika seorang penulis memaksakan menggunakan istilah asing untuk dipublikasikan di dalam negerinya maka orang tersebut tidak tahu diri.
Sebagai penutup tulisan ini ada sebuah kisah yang menggugah. Ketika saya sedang melakukan penelitan di Papua. Saya menyaksikan betapa orang-orang Indonesia berusaha sebisa mungkin untuk berbicara dengan bahasa Inggris kepada tenaga-tenaga ekspatriat di sana. Bagi saya, itu adalah perilaku yang berlebihan dan merendahkan diri sendiri. Secara logika seharusnya orang-orang asing itulah yang harus belajar dan mahir berbahasa Indonesia. Bukan kita yang menyesuaikan mereka namun merekalah yang seharusnya menyesuaikan dengan kita. Akhirnya, Saya merasa sangat senang ketika seorang teman saya berkata, ”Ini Indonesia, negeri saya. You, orang asing di sini. Seharusnya You bicara dengan bahasa Indonesia. Bukan saya yang berbicara bahasa Inggris”, sebagai jawabnya ketika dia berbicara dengan seorang bule yang meminta teman saya untuk berbicara dengan bahasa Inggris kepadanya.
Anda setuju?
0 comments:
Post a Comment