Impian untuk bisa selalu berdekatan dan bercengkerama dengan orang-orang yang disayangi dan dikasihi setiap saat adalah sesuatu yang diimpikan banyak orang. Ketika seseorang sudah mampu mencapai kondisi seperti itu maka dia akan mampu mengalahkan segala kenikmatan dan kemewahan dunia lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika setiap orang dengan berbagai cara akan selalu berusaha untuk mencapai itu. Salah satu contoh, para perantau saban tahun akan dengan suka rela bersusah payah, bermacet-macetan, berdesak-desakkan, mengeluarkan biaya jutaan rupiah, dan melakukan perjalanan jauh hanya untuk sekedar bertemu dengan sanak saudaranya di kampung halaman. Bukan hanya itu saja, karena inginnya bersanding dengan orang-orang yang dikasihi sampai matipun banyak yang ingin dimakamkan di dekat makam kerabat mereka. Begitu luar biasanya kekuatan kasih dan sayang.
Sayang sekali, kenyataan seringkali bertolak belakang dengan impian banyak orang. Pada saat ini kebanyakan orang sulit menemukan yang namanya cinta dan kasih sayang. Manusia sudah terlalu dalam terjebak dalam kondisi-kondisi yang seringkali memaksa mereka untuk memendam bahkan membunuh rasa cinta. Besarnya perbedaan jarak dan waktu menjadi salah satu aktor penyebabnya.
Demikian pula yang dialami Sadiman, seorang petani berumur sekitar 80 tahun, yang hidup di sebuah desa di kabupaten Klaten Jawa Tengah. Bersama seorang istrinya (keduanya) beliau menikmati sisa hidupnya dengan terus bekerja di sawah dan ladang. Banyak orang yang tidak akan menyangka bahwa di balik kesederhanaannya, beliau adalah seorang yang telah mampu menjadikan anak-anaknya menikmati bangku kuliah. Bagaimana tidak, rumahnya tidak lebih baik dari pada kandang ayam (terbuat dari bambu yang sudah berlubang disana sini), kalau musim hujan selalu bocor pada hampir semua ruangan, beberapa tiang penyangganya sudah keropos, kemana-mana menggunakan sepeda butut yang tidak memiliki rem. Berkat kehendak Tuhan dan ketekunannya yang luar biasa sebagai petani tradisional inilah yang akhirnya mampu membawanya mewujudkan cita-cita hidupnya, yaitu tidak ingin melihat anaknya berada dalam dunia kebodohan. Tanpa pamrih beliau melakukan semuanya untuk anak-anaknya.
Hari-harinya yang sudah semakin senja sering membuatnya terkenang dengan masa-masa sulit yang pernah dilalui bersama dengan istri pertamanya (cerai mati) dan anak-anaknya. Dulu, ketika hari Sabtu tiba pikiran beliau sudah tidak karuan karena seluruh anaknya pulang dan berkumpul di depannya untuk meminta jatah biaya untuk kuliah dan makan. Kehadiran anak-anaknya sama juga dengan menebalnya catatan hutangnya. Karena kalau hanya mengandalkan hasil dari bertani untuk membiayai pendidikan seluruh anaknya mustahil bisa dilakukan. Pernah beliau bermaksud berhutang kepada saudaranya namun ditolak mentah-mentah dengan alasan tidak memiliki uang, padahal perhiasan bergelantungan menghiasi leher istri saudaranya.
Air matanya menetes ketika mengenang masa-masa sulit itu. Bukan air mata kesedihan atau penyesalan karena telah menyekolahkan anak-anaknya. Bukan pula air mata keputusasaan karena banyaknya hutang yang harus ditanggungnya. Namun air mata kebanggaan dan keihlasan karena anak-anaknya telah mampu mewujudkan cita-citanya, ”Biarkan aku seorang petani bodoh asalkan anak-anakku menjadi orang pintar”.
Perjuangan dan kesendirian Sadiman tidak pernah berhenti. Setelah semua anaknya berhasil menjadi seorang sarjana mereka semua pergi merantau, manjauh darinya. Lima orang anaknya bekerja di Jakarta dan seorang lagi di kota Yogya. Sebagai orang desa jarak tersebut terlalu jauh baginya. Sering sekali beliau merasa hidup sendiri, apalagi sejak kepergian istri tercintanya, mBok Karti, untuk selama-lamanya. mBok Karti yang belum pernah merasakan kebahagiaan dan belum sempat melihat hasil dari buah kerja kerasnya selama ini.
Ketika datang rasa sepi itu beliau ingin menulis surat, namun beliau tidak bisa membaca menulis. Beliau pun ingin menggunakan fasilitas telepon seperti kebanyakan orang yang kaluarganya merantau, beliaupun tidak mampu membayar biaya telepon yang sangat mahal. Apalagi untuk sambungan langsung jarak jauh (telepon seluler adalah barang mewah waktu itu). Yang bisa dilakukannya hanyalah menitip salam dan pesan kepada tetangganya untuk anak-anaknya di Jakarta.
Alhamdulillah. Kini semua sudah berbeda. Ruang dan waktu bukan lagi menjadi penghalangnya untuk ”menemui” anak-anak dan cucu-cucunya. Pesatnya kemajuan dan semakin murahnya biaya tehnologi komunikasi membuatnya tidak lagi merasa kesepian seperti dulu.
Rasa kangen tiba-tiba menelusuri relung hatinya. Bayangan anak perempuan terkecilnya tiba-tiba hadir, anak perempuan yang sejak umur tiga tahun ditinggal mbok Karti dan selalu menemaninya ke ladang, di wajahnya. Perlahan-lahan tangannya meraih gagang handphone milik anak lelakinya yang baru saja pulang dari Jogja.
”Undangno Wida, Bapak pingin ngomong”, (Teleponkan Wida, Bapak mau bicara dengannya) katanya kepada anak lelakinya. Handphone terasa panas, Sadiman menghentikan pembicaraannya dengan Wida. Anak lelakinya pun mengecek pulsa yang terpakai. ”Hanya beberapa ratus rupiah saja...”, bisiknya lirih.
0 comments:
Post a Comment