Terbukanya pintu-pintu partai dalam menjaring calon anggota dewan mengakibatkan terjadinya booming caleg di berbagai daerah. Bayangkan di lingkungan tempat tinggal saya (sekitar 30 KK) saja ada lima orang yang saat ini maju menjadi caleg. Ini sungguh ruarrr biasa. Dalam sejarah baru kali ini terjadi. Kejadian tersebut mungkin tidak hanya melulu di sekitar tempat tinggal saya, barangkali di sekitar anda juga tidak jauh berbeda. Bahkan mungkin lebih banyak caleg lagi. Pada satu sisi saya senang bukan main karena akan semakin banyak orang-orang yang diharapkan bisa memperjuangkan nasib rakyat.
Akan tetapi, sebagai orang awam yang tidak nyaleg saya hanya bisa ngudarasa (berkata untuk diri sendiri) saja, kenapa kok pada senang dadi caleg, ya? Karena dalam pemahaman saya, seorang caleg itu memiliki tugas dan amanah yang sangat berat. Mereka akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Tuhan kelak. Memegang amanat ini bagaikan menggenggam bara di telapak tangan. Tetapi kemudian sya memiliki pikiran baik. Barangkali saudara-saudara kita itu suka bekerja keras dan senang memanggul beban yang berat sehingga mereka dengan suka ria mendaftarkan dirinya sebagai caleg.
Terlepas dari itu semua, dalam pengertian saya, idealnya ketika seseorang berani mengajukan dirinya agar dipilih rakyat paling tidak harus memiliki dua criteria. Pertama dia harus membawa misi kerakyatan, artinya bahwa caleg sebisa mungkin harus selalu membawa dan membela kepentingan rakyat. Kedua harus sudah memiliki kemandirian dalam lingkup local (rumah tangganya). Permasalahan pertama tentang misi kerakyatan saya kira semua orang sudah faham, apa yang harus dilakukan caleg setelah mereka terpilih menjadi Aleg (anggota legislatif). Kemudian untuk hal yang kedua ini yang perlu kita rembug bersama-sama.
Yaitu permasahan kemandirian lokal, ketika seseorang sudah berani mendaftarkan diri menjadi caleg maka sebaiknya dan mau tidak mau dia harus telah memiliki sifat kemandirian local. Kemandirian yang dimaksud adalah dalam hal ekonomi maupun mental. Secara ekonomi sebaiknya mereka sudah berada pada kondisi yang cukup. Artinya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian dan juga untuk kebutuhan masa depan diri dan keluarganya.
Kedua kemandirian lokal secara mental, maksudnya setiap caleg harus memiliki mental wakil rakyat. Apapun kondisinya dia harus sadar bahwa dirinya hanyalah mewakili rakyat. Hatinya jangan mudah terpengaruh oleh sesuatu yang menggiurkan. Contoh kasus, seorang caleg yang kebetulan belum mampu secara ekonomi dia tidak boleh menggunakan jabatannya untuk mencari penghidupan. Demikian pula yang sudah kaya, posisinya jangan sampai dia gunakan untuk menumpuk kekayaan. Sesulit apapun kondisi diri dan keluarganya maka dia harus berani menolak segala sesuatu yang bukan menjadi haknya. Jadi kesimpulannya adalah posisi sebagi anggota dewan adalah sebuah sarana ibadah dan pengabdian kepada masyarakat.
Pemikiran sederhana tersebut perlu saya sampaikan karena saya sangat prihatin dengan keseharian dan latar belakang kehidupan para caleg di sekitar saya. Salah satu dari mereka ada yang sangat suka sekali memburu berbagai bantuan gratis dari pemerintah termasuk KMS untuk kepentingan pribadi. Padahal dia sudah bekerja di kantor memiliki usaha kost-kostan, punya beberapa motor, rumah yang besar. Lalu ada lagi caleg yang merupakan pengangguran (maaf). Ada lagi yang kondisi rumah tangganya sedang goyah, ada yang tidak bisa ngomong ketika di hadapan orang, ada yang tidak pernah keluar rumah (tidak aktif di masyarakat).
Sebagai salah seorang yang suranya akan mewakili oleh mereka, saya hanya bisa mengelus dada dan miris melihat kenyataan seperti itu. Lalu saya bertanya lagi, bagaimana mungkin mereka akan menyuarakan kepentingan masyarakatnya sedangkan untuk mengurusi dirinya sendiri saja masih belum bisa?.
Akhirnya saya hanya bisa berdoa semoga caleg-caleg yang terpilih nanti adalah yang sudah memenuhi dua kriteria di atas. Amiiin.