Tuesday, July 28, 2009

HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN: Yusuf Qardawi bagian dua

Adapun menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam fatwa terdahulu bahwa pada dasarnya hal ini terlarang, semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan, yang dari keduanya muncul makhluk yang baru dan menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim. Maka makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Dan Rasulullah saw. telah memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai melahirkan anaknya, kemudian setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusu lagi --baru setelah itu dijatuhi hukuman rajam. Inilah fatwa yang saya pilih untuk keadaan normal, meskipun ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan asalkan belum berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin itu terjadi pada waktu berusia empat puluh atau empat puluh dua hari. Bahkan sebagian fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan riwayat yang masyhur bahwa peniupan ruh terjadi pada waktu itu. Tetapi pendapat yang saya pandang kuat ialah apa yang telah saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di antara dua pendapat terakhir tersebut. Apabila udzurnya semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu terjadi sebelum berusia empat puluh hari maka yang demikian lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan). Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh yang kafir dan durhaka, yang melampaui batas dan pendosa, terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya karena ia sangat benci terhadap janin hasil pemerkosaan tersebut serta ingin terbebas daripadanya. Maka ini merupakan rukhshah yang difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar ukurannya. Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha yang sangat ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan kandungan meskipun baru berusia satu hari. Bahkan ada pula yang mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan, ataupun dari kedua-duanya, dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan nazl sebagai pembunuhan tersembunyi (terselubung). Maka tidaklah mengherankan jika mereka mengharamkan pengguguran setelah terjadinya kehamilan. Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang ketat yang melarangnya. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa sel telur wanita setelah dibuahi oleh sel sperma laki-laki telah menjadi manusia, maka yang demikian hanyalah semacam majas (kiasan) dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia. Memang benar bahwa wujud ini mengandung kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel sperma serta sel telur itu sendiri sebelum bertemu sudah mengandung kehidupan, namun yang demikian bukanlah kehidupan manusia yang telah diterapkan hukum padanya. Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar (dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli syara', dokter, dan cendekiawan. Sedangkan yang kondisinya tidak demikian, maka tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang. Maka bagi wanita muslimah yang mendapatkan cobaan dengan musibah seperti ini hendaklah memelihara janin tersebut --sebab menurut syara' ia tidak menanggung dosa, sebagaimana saya sebutkan di muka-- dan ia tidak dipaksa untuk menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.: "Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3 Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam. Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak apabila kedua orang tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang terbaik agamanya. Ini bagi orang (anak) yang diketahui ayahnya, maka bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya? Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi. Dalam hal ini, bagi masyarakat muslim sudah seharusnya mengurus pemeliharaan dan nafkah anak itu serta memberinyapendidikan yang baik, jangan menyerahkan beban itu kepada ibunya yang miskin dan yang telah terkena cobaan. Demikian pula pemerintah dalam Islam, seharusnya bertanggung jawab terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah saw. bersabda: "Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4 Catatan kaki: 1 HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659, hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm. 356 2 HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya), juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642. ^ 3 HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245, hadits nomor 1385. ^ 4 HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299, hadits nomor 5200. ^ Klik: Kembali ke bagian satu

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com