Thursday, July 9, 2009

Zakat Profesi di Jaman Rasulullah SAW

Zakat profesi memang sebuah ijtihad fiqhiyah di masa kini yang didukung oleh sebagian ulama tetapi juga tidak disetujui oleh ulama lainnya. Dan perbedaan pendapat seperti ini sebenarnya syah-syah saja dalam percaturan dunia fiqih Islam. Sebab seorang mujtahid itu tetap mendapatkan pahala meski hasil ijtihadnya salah. Dan bila ijtihadnya benar, dia mendapatkan dua pahala. Dan tidak ada ketentuan bahwa seseorang harus mengikuti mazhab kelompoknya saja. Kebebasan untuk mengikuti suatu pendapat sama besarnya dengan kebebasan seorang mujtahid dalam berijtihad asal dengan niat yang benar, sesuai dengan kaidah fiqih yang baku dan bukan sekedar cari sensasi. Di zaman Rasulullah SAW sudah banyak profesi keahlian atau pengkhususan pekerjaan kepada ahlinya. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah bersabda bahwa bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya (profesinya?), maka tunggulah kehancurannya. Dan benar pula bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menerapkan zakat profesi di masa itu, sementara sekian jenis profesi dan spesialisasi telah ada. Bahkan sampai sekian abad kemudian, umumnya para ulama pun tidak pernah menuliskan adanya zakat profesi di dalam kitab-kitab fiqih dalam bab khusus. Maka bila hari ini ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa tidak ada zakat profesi di dalam syariat Islam, bisa diterima. Sebab dasar pengambilan hukumnya memang sudah tepat. Yaitu tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW dan juga tidak dipraktekkan oleh para shahabat beliau bahkan oleh para salafus shalih sekalipun. Namun menurut pendukungnya, zakat profesi sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan para ulama yang mendukung zakat ini mengatakan bahwa landasan zakat profesi atau penghasilan itu sangat kuat, yaitu langsung dari Al-Quran Al-Kariem sendiri. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari kasabmu (PENGHASILANMU) yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu? (QS Al-Baqarah: 267) Maka yang mewajibkan zakat profesi atau zakat penghasilan adalah Al-Quran Al-Kariem sendiri. Dan istilah kasab adalah istilah yang digunakan oleh Al-Quran Al-Kariem dan juga bahasa arabnya zakat profesi adalah kasab. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa profesi di masa Rasulullah SAW itu berbeda hakikatnya dengan profesi di masa kini. Sebab sebenarnya yang terkena zakat itu pada hakikatnya bukan karena dia berprofesi apa atau berdagang apa, tetapi apakah seseorang sudah masuk dalam kategori kaya atau tidak. Dan memang benar bahwa zakat itu pada hakikatnya adalah memungut harta dari orang kaya untuk diserahkan kepada orang miskin. Persis seperti pesan Rasulullah SAW ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman. Rasulullah SAW mengatakan bahwa beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka syariat zakat, yang ketentuannya adalah zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka. Masih menurut kalangan pendukung zakat profesi, meski di masa Rasulullah SAW ada beberapa jenis profesi, namun mereka tidaklah termasuk orang kaya dan penghasilan mereka tidak besar. Maka oleh Rasulullah SAW mereka pun tidak dipungut zakat. Sebaliknya, di masa itu yang namanya orang kaya itu identik dengan pedagang, petani atau peternak atau mereka yang memiliki simpanan emas dan perak. Maka kepada mereka inilah zakat itu dikenakan. Meski demikian, jelas tidak semua dari mereka itu pasti kaya, karena itu ada aturan batas minimal kepemilikan atau yang kita kenal dengan nisab. Oleh Rasulullah SAW, nisab itu lalu ditentukan besarnya untuk masing-masing pemilik kekayaan. Dan sudah bisa dipastikan bahwa kalangan pekerja 'profesional' di masa itu tidak akan pernah masuk dalam daftar orang kaya. Lain halnya dengan masa sekarang ini. Yang kita sebut sebagai profesional di masa kita hidup ini bisa jadi orang yang sangat kaya dan teramat kaya. Jauh melebih kekayaan para petani dan peternak. Bahkan di negeri kita ini, yang namanya petani dan peternak itu sudah bisa dipastikan miskin, sebab mereka tertindas oleh sistem yang sangat tidak berpihak kepada mereka. Kalau pak tani yang setiap hari mencangkul di sawah membanting tulang memeras keringat dan ketika panen, hasilnya tidak cukup untuk membayar hutang kepada rentenir itu diwajibkan membayar zakat, sementara tetangganya adalah seorang yang berprofesi sebagai pengacara kaya raya itu tidak wajib bayar zakat, di manakah rasa keadilan kita? Padahal pak pengacara itu sekali didatangi kliennya bisa langsung mengantungi 100 atau 200 juta. Di lain tempat, ada peternak yang miskin hidup berdampingan dengan tetangganya yang konsultan ahli yang sekali memberi advise bisa mengantongi ratusan juta, tentu sekali rasa keadilan itu terusik. Benarkah Islam tidak mewajibkan zakat orang kaya yang nyata benar kekayaan berlimpah, hanya karena di masa Rasulullah SAW belum ada fenomena itu? Dan wajarkah bila kita hanya memakai standar kekayaan dan jenis penghasilan yang ada di masa Rasulullah SAW saja? Sedangkan pada kenyataannya, sudah banyak fenoimena itu yang sudah berubah? Tidakkah kita bisa membedakan esensi dari zakat yang utama yaitu mengambil harta dari ORANG KAYA dan diberikan kepada orang miskin? Ataukah kita terpaku pada fenomena sosial yang ada di masa Madinah saja? Argumentasi seperti itulah yang diajukan oleh para 'pencetus' zakat profesi sekarang ini. Dan bila kita secara tenang memahaminya, argumen itu relatif tidak terlalu salah. Paling tidak kita pun harus sadar bahwa kalau At-Taubah ayat 60 telah menyebutkan dengan detail siapa sajakah yang berhak menerima zakat, maka untuk ketentuan siapa sajakah yang berkewajiban mengeluarkan zakat, Al-Quran Al-Kariem tidak secara spesifik menyebutkannya. Sehingga penentuan siapa sajakah yang wajib mengeluarkan zakat bisa atau mungkin saja berkembang sesuai karakter zamannya. Namun intinya adalah orang kaya. Bila kami sampaikan kedua pendapat dengan masing-masing argumentasinya, bukan berarti kami ingin menyalahkan pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada dan bersikeras mengatakan bahwa zakat profesi itu ada. Namun hal ini perlu menjadi wacana bagi kita untuk bisa memahami perbedaan pendapat yang berkembang di tengah umat Islam. Apalagi sebenarnya para ulama yang mendukung adanya zakat profesi itu pun tidak sepakat dalam menjabarkan tata aturannya dan juga cara penghitungannya. Mereka tetap masih berbeda-beda dalam hal itu meski sepakat atas adanya zakat profesi sesuai dengan dengan prinsip di atas. Artikel Lain: 1. Sistem Ekonomi Syariah 2. Cara menghitung Zakat emas,perak

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com