Berkaitan dengan makanan peragian/fermentasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
- Makanan hasil peragian itu beramacam-macam tingkatannya. Tidak semua tingkatan haram, karena secara spesifik belum tentu di semua tingkatan sudah berubah menjadi khamar. Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa maksimal suatu makanan atau obat itu mengandung 1% alkohol, untuk bisa diperbolehkan atau masih ditolelir kehalalannya. Sedangkan secara fiqih, selama makanan itu belum menjadi khamar, meski sudah mulai berubah rasanya, hukumnya masih halal.
- Tidak setiap zat yang mengandung alkohol termasuk dalam kategori khamar. Dan sebaliknya, tidak semua khamar itu mengandung alkohol. Karena bila ditilik secara ilmu kimia, banyak dari jenis makanan yang alami termasuk buah-buahan memiliki kandungan zat yang disebut sebagai Alkohol seperti nasi dan sebagainya.
Contohnya seperti perasan buah anggur. Pada tahap tertentu, perasan anggur dapat menjadi khamar dan pada tahap yang lain di mana bila diminum tidak memabukkan secara umum, maka bukan khamar. Karena itu dalam literatur fiqih sering dituliskan bahwa bila khamar bila telah berubah menjadi khall (cuka), hukumnya menjadi halal dan sebaliknya. Maka dari itu sebagian besar ulama tidak memasukkan alkohol sebagai sebagai barang najis, karena bukan khamar. Dan tidak mengapa menggunakan parfum yang mengandung alkohol dalam shalat karena tidak termasuk benda najis.
Dan kenajisan khamar sendiri sebagaimana yang disebutkan Al-Quran, bukan jenis najis secara fisik. Demikian menurut sebagian ulama. Karena dalam ayat itu dikaitkan dengan judi, anak panah sebagai rijs yang merupakan perbuatan setan.
- Sebenarnya yang lebih tepat memang bukan sertifikat halal, tetapi sebaliknya, yaitu sertifikat haram. Sebab kalau dibandingkan, jumlah makanan yang halal dibandingkan yang haram, tentu jauh lebih banyak yang halal. Apalagi mengingat kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Al-Ashlu fil Asy-ya'i al-ibahah. Artinya, hukum asal segala sesuatu itu boleh. Jadi asumsi dasar kita tentang semua makanan itu seharusnya halal, kecuali yang secara tegas terbukti mengandung unsur-unsur yang dihalalkan. Itu pun setelah melalui uji laboratorium. Logika bahwa segalanya hukumnya haram kecuali yang dibolehkan itu memang ada di dalam fiqih, tetapi khusus dalam kasus hubungan seksual. Bunyi kaidahnya adalah: Al-Ashlu fil Abdha'i At-Tahrim, artinya bahwa hukum dasar hubungan seksual itu adalah haram. Kecuali lewat jalur yang dibenarkan seperti pernikahan. Sedangkan dalam masalah hukum makanan, hukum dasarnya adalah halal, kecuali yang tertentu, maka hukumnya haram. Kalau menggunakan logika sebaliknya, maka lembaga yang memberi sertifikat halal itu akan kehabisan waktu, karena jumlah makanan yang beredar di tengah masyarakat itu tidak terhingga. Bahkan kebanyakan tidak ada mereknya.
- Kalau logika berpikirnya adalah bahwa segala sesuatu itu hukumnya haram, kecuali yang ada label halalnya, bagaimana dengan sekian banyak bahan makanan lainnya yang tidak ada ada labelnya? Haruskah kita berangkat dari asumsi bahwa semua produk makanan itu haram? Kecuali yang ada label halalnya? Bagaimana mungkin kita mengklaim sebuah makanan itu tiba-tiba menjadi haram? Siapakah yang mengharamkannya? Sedangkan kaidah fiqhiyah menyebutkan: Al-Yaqinu Laa Yazuulu bisy-syakki. Artinya, hukum awal yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak bisa berubah hukumnya hanya berdasarkan rasa syak (keraguan). Logika ini pun agak kurang sejalan dengan metodologi Al-quran dan As-sunnah ketika menyampaikan masalah halal haram. Di dalam kedua sumber syariat itu tidak pernah disebutkan satu persatu nama-nama makanan yang halal. Akan tetapi yang disebutkan hanyalah yang haram saja. Mengapa? Karena yang halal itu jumlahnya tak terhingga. Sedangkan yang haram itu jumlahnya tertentu saja dan terbatas.
Baca Juga:
0 comments:
Post a Comment