Membaca ayat atau surat setelah membaca Al Fatihah merupakan perbuatan sunat dalam sholat. terutama pada rakaat pertama dan kedua. Demikian juga dengan membaca surat pada rakaat ketiga dan keempat.
Namun begitu, ada beberapa perbedaan dalam hal membaca surat-surat tersebut. Pada sholat fardlu di siang hari semua bacaan tidak dikeraskan/ tidak dilantangkan .
Sedangkan pada sholat Magrib, Isya, dan Shubuh bacaan Al Fatehah dan suratnya dikeraskan pada rekaat pertama dan kedua. Dalam membaca surat boleh dibaca satu surat penuh, bisa pula hanya dibaca sebagian. Boleh juga membaca beberapa surat atau mengulang-ulang satu surat sampai dengan rekaat terakhir. Sumber : Buku Pedoman Sholat karya M. Hasbie Ashidiqie
Simak Juga:
Labels
- aqidah (33)
- Budaya (12)
- Ibadah (261)
- Kesalahan-Kesalahan dalam Thaharah (16)
- Lomba (2)
- Perjuangan (67)
- Sholat (70)
- Tips (6)
- Tips Wawancara (8)
Tips Menikah Islami
DOWNLOAD
Wednesday, September 30, 2009
Bacaan surat pada rekaat ketiga dan keempat dalam Sholat
Posted by Surono Karti at 10:44 AM 0 comments
Labels: Sholat
Tuesday, September 29, 2009
Nishfu Sya'ban
Bulan Sya’ban adalah bulan di mana amal shalih diangkat ke langit. Hal tersebut didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW: Dari Usamah bin Zaid berkata: Saya bertanya, “Wahai Rasulullah saw, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban”. Rasul saw bersabda, ”Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa.” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah) Di samping itu bulan Sya’ban yang letaknya persis sebelum Ramadhan seolah menjadi starting point untuk menyambut Ramadhan. Sehingga isyaratnya adalah kita perlu menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan. Dalam hal mempersiapkan hati atau ruhiyah, Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata: ”Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim). Sedangkan khusus dalam keuatamaan malam pertengahan bulan Sya’ban (nisfu sya’ban), memang ada dalil yang mendasarinya meski tidak terlalu kuat. Di antaranya hadits berikut: Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat. Sayangnya hadits ini tidak mencapai derajat shahih kecuali hanya dihasankan oleh sebagian orang dan didhaifkan oleh sebagian lainnya. Bahkan Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu sya’ban. Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu sya’ban itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan sya’ban tahun depan. Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu sya’ban itu seperti yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, kami tidak mendapatkan satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat. Seperti membaca surat Yasin, shalat sunnah dua raka’at dengan niat minta dipanjangkan umur, shalat dua rakaat dengan niat agar menjadi kaya dan seterusnya. Memang praktek seperti ini ada di banyak negeri, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Mesir, Yaman dan negeri lainnya. Bahkan mereka pun sering membaca lafaz doa khusus yang -entah bagaimana- telah tersebar di banyak negeri meski sama sekali bukan berasal dari hadits Rasulullah SAW. Kritik terhadap Lafaz Doa Malam Nisfu Sya’ban Sering kita dapati bahwa sebagian umat Islam memanjatkan doa khusus pada malam nisfu sya’ban. Di dalam doa itu mereka meminta agar Allah SWT menghapuskan taqdir yang buruk yang telah tertulis di lauhil mahfuz. Seperti doa berikut ini: Ya Allah, jika engkau mencatat aku di sisi-Mu dalam ummul kitab, sebagai orang yang celaka (sengsara), terhalang, terusir, atau sempit rizkiku, maka hapuskanlah Ya Allah dengan dengan karunia-Mu atas kesengsaraanku, keterhalanganku, keterusiranku dan kesempitan rizkiku. Dan tetapkanlah aku di sisimu di dalam ummil kitab sebagai orang yang bahagia, diberi rizki, dan diberi pertolongan kepada kebaikan seluruhnya. Karean sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu adalah benar, di dalam kitab-Mu yang Engkau turunkan melalui lisan nabi-Mu yang Engkau utus: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan , dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz). Hal itu karena mereka berhujah bahwa Allah SWT dengan kehendak-Nya bisa menghapus apa-apa yang pernah ditulisnya di lauhil mahfuz dan menggantinya dengan taqdir yang lain. Dasarnya adalah firman Allah SWT: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan , dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz). (QS Ar-Ra’d: 39). Namun oleh sebagian ulama, lafaz doa seperti itu dianggap bertentangan, karena apa-apa yang sudah tertulis di lauil mahfuz tidak mungkin dihapus. Karena ada sabda Rasulullah SAW: Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali kebahagiaan, kesengsaran dan kematian.” Ibnu Abbas berkata, ”Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali penciptaan, perilaku, ajal, rizqi, kebahagiaan dan kesengsaran.” Selain itu lafaz doa itu seolah-olah menggantungkan kepada Allah SWT apakah ingin mengabulkan atau tidak. Padahal salah satu adab berdoa adalah harus ber’azam atau bertekad kuat untuk dikabulkan. Sedangkan penggunaan lafaz (bila Engkau kehendaki), seolah mengesankan tidak serius dalam meminta. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Bila kamu meminta kepada Allah SWT maka mantapkanlah permintaanmu itu Diambil dari sebuah sumber (anonymous) Baca juga: 1. Cara mengganti puasa yang telah lewat beberapa tahun 2.Puasa Ramadhan (Dalil, yang diperbolehkan tidak puasa) 3. Syarat Hewan qurban
Posted by Surono Karti at 10:39 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Tentang Sighat Ta'liq dalam Pernikahan
Istilah Shighat Ta'liq terdiri dari suku kata, yaitu Shighat yang bermakna ucapan, ungkapan, atau lafal, dan Ta'liq yang berasal dari kata 'allaqa - yu'alliqu - ta'liqan, yang bermakna mengaitkan, menggantungkan, mensyaratkan dan seterusnya. Dalam prakteknya, Shighat Ta'liq adalah sebuah syarat yang diikrarkan oleh suami tentang kemungkinan terjadinya perceraian, yaitu bila terjadi hal-hal yang disebutkan dalam shighat itu. Naskah lengkapnya shighat ta'liq itu sebagaimana yang terdapat di dalam buku nikah adalah, "Bila suami menginggalkan istri 2 tahun berturut-turut, atau tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, atau menyakiti badan/jasmanni istri, atau membiarkan/tidak mempedulikan istri 6 bulan lamanya, kemudian istri tidak menerima perlakuan itu, lalu istri mengajukan gugatan cerai kepada pihak pengadilan dan pengadilan membenarkan dan menerima gugatan itu dan istri membayar Rp 1.000 sebagai 'iwadh (pengganti) kepada suami, maka jatuhlah talak satu."
Biasanya shighat ini diucapkan setelah selesai akad nikah dilakukan. Biasanya petugas pencatat nikah KUA yang menuntun pengantin laki-laki untuk membaca shighat ini. Memang tidak banyak orang tahu apa makna dan maksud shighat ini. Sebagaimana banyak orang tidak tahu apa landasan hukumnya. Termasuk juga pengantin pria pun jarang-jarang yang mengerti.
Sebenarnya secara hukum, shighat ini tidak ada kaitannya dengan rukun nikah atau syarat sahnya nikah. Artinya, tanpa shighat itu pun sebuah pernikahan sudah sah secara hukum agama dan negara. Kita tidak menemukan di dalam sunnah Rasulullah SAW dan juga amal para shahabat hingga para salafus-shalih tentang ketentuan untuk mengikrarkan shighat ta'liq itu. Tidak ada contoh apalagi anjuran untuk mengucapkannya. Lalu bagaimanakah munculnya hal tersebut?
Kalau kita telusuri, ada banyak analisa. Salah satu nya berangkat dari keinginan untuk melindungi para istri dari sikap sewenang-wenang dari suami, seperti tidak memberi nafkah, atau menyakiti badan atau tidak mempedulikan istri. Dalam kondisi yang tersiksa seperti itu, sebagian orang berpikir bahwa si istri ini harus dipisahkan dari suaminya. Artinya, mereka ingin memberikan kepada istri untuk bisa pisah dari suaminya. Namun karena istri tidak punya hak untuk menceraikan, dibuatlah shighat ta'liq ini.
Sehingga sejak awal pernikahan, suami sudah menyatakan diri untuk menceraikan istrinya secara otomatis, manakala terjadi hal-hal yang disebutkan di dalam shighat itu. Rupanya perangkat hukum di negeri ini belum apa-apa sudah menyiapkan jalur untuk memisahkan suami istri, justru di hari pernikahan mereka. Yaitu dengan selalu dimintanya suami untuk mengucapkan shighat ta'liq ini, meski suami tetap berhak menolak untuk mengucapkannya.
Entah latar belakang pemikiran apa yang berkecamuk di dalam para pembuat peraturan itu. Yang jelas, dengan adanya shighat itu, seolah-olah sudah disiapkan sebuah skenario perceraian jauh sebelumnya, hanya lantaran suami melakukan hal-hal yang dianggap merugikan pihak istri. Sebenarnya akan lebih bijaksana bila setiap ada permasalahan, suami dan isri itu tidak langsung berpikir untuk sebuah perceraian. Sebab biar bagaimana pun perceraian itu adalah sebuah perbuatan yang dimurkai Allah SWT, meski halal. Tapi bisakah kita membayangkan untuk melakukan sebuah perbuatan yang Allah sendiri memurkainya? Idealnya, shighat itu tidak langsung bicara tentang perceraian. Namun bicara tentang pentingnya menjaga harmoni sebuah keluarga serta menjaga keutuhannya. Dimana suami istri sama-sama berjanji untuk saling membela, saling berbagi, saling memaklumi kekurangan, saling mendukung dan saling memberikan yang terbaik untuk pasangannya.
Seharusnya lebih ditekankan agar masing-masing menjadikan pasangannya sebagai sumber untuk menangguk pahala, bukan sebagai calon sumber malapetaka yang tersirat dalam materi shighat ta'liq itu. Secara hukum, bila seseorang sudah terlanjur mengikrarkan shighat ta'liq, tentu bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab shighat itu bisa saja dibatalkan, sebagaimana seseorang bisa saja membatalkan ikrar yang pernah diucapkannya secara sepihak. Misalnya, seorang suami pernah berkata kepada istrinya, bila istri keluar dari rumah, maka dia ditalak. Kemudian suami merasa menyesal mengeluarkan statemen itu. Maka dia boleh saja mencabut statemen itu hingga tidak berlaku lagi. Sehingga setelah statemen itu dicabut, istri boleh keluar dari rumah tanpa harus terkena resiko ditalak.
Lebih jauh lagi kalau kita perhatikan dalam shighat itu, ada 5 langkah atau syarat yang harus terjadi. Dan bila salah satu syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak ada cerai. Jadi misalnya pihak istri bisa menerima bahwa suaminya tidak memberi nafkah lahir batin selama sekian tahun misalnya dan sama sekali tidak mengajukan gugatan cerai, maka pengadilan tidak berhak untuk menceraikan mereka. Sebab istrinya mau dan rela dibegitukan oleh suaminya.
Anda bisa juga membacanya pada buku "Menikah dalam 27 Hari" karya Muhammad Adzdzikra dikutib dari sebuah sumber (anonymous)
Silakan baca:
Posted by Surono Karti at 10:33 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Monday, September 28, 2009
Hukum Rokok, Haram atau Makruh?
Pembahasan halal tidaknya rokok tidak terdapat di dalam ayat Al-Qur'an atau pun hadits-hadits Rasulullah SAW. Barangkali karena di masa lalu, merokok belum lagi menjadi fenomena masyarakat seperti sekarang ini. Lagi pula kalau sudah ada, secara teknis belum lagi seperti sekarang ini, di mana rokok dijadikan industri dan dihisap oleh sekian banyak orang. Maka wajar bila di sebagian kitab fiqih, kita masih belum lagi menemukan hukum rokok. Bahkan sebagian kiyai di pedesaan, terutama di negeri kita, kami masih mendapati mereka yang dengan asyiknya menyedot asap rokok. Seolah tanpa asap rokok yang mengepul, masih ada kurang afdhal bagi mereka. Kalau pun ada fatwa yang terkait dengan rokok, umumnya masih berkisar kepada makruh saja, belum ke tingkat haram. Barangkali fatwa tersebut terkait juga dengan tingkat pengetahuan mereka tentang bahaya rokok pada masa lalu. Asap rokok di masa lalu masih belum dianggap belum terlalu berbahaya. Karena teknologi masih belum berkembang, penelitian tentang bahaya asap rokokpun masih sangat terbatas. Namun di masa sekarang ini, ternyata semakin jelas bahwa asap rokok itu bukan hanya berbahaya bagi kesehatan, tetapi sudah sampai tingkat sangat berbahaya. Bahkan telah membunuh jutaan orang. Karena dalam sebatang rokok terdapat tidak kurang dari 200 jenis racun yang amat berbahaya bagi tubuh. Meski bahayanya tidak langsung terasakan oleh penghisapnya. Dan fenomena ini justru sangat berbahaya. Karena orang hanya merasakan nikmatnya asap rokok, sedangkan dampak negatif baru dirasakan beberapa lama kemudian. Hal ini membuat begitu banyak orang yang seolah tidak peduli pada bahaya asap rokok. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, sehingga membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami resiko dibanding yang tidak mengisap asap rokok, yaitu 14 kali kemungkinan menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan. 4 kali kemungkinan menderita kanker esophagus, 2 kali lebih bannyak terkena kanker kandung kemih dan 2 kali lebih besar terkena serangan jantung. Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia, gagal jantung serta tekanan darah tinggi. Dengan menghisap 20 batang rokok perhari, akan menyebabkan berkurangnya 15% haemoglobin, yakni zat asasi pembentuk darah merah. Yang menarik ternyata para peneliti menemukan bahwa merokok dengan kadar nikotin rendah tidak akan membantu. Karena untuk mengikuti kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras, lebih dalam dan lebih lama. Hingga dapat dikatakan bahwa tidak ada batas aman bagi orang yang menghiap asap rokok. Satu-satunya zat yang lebih berbahaya daripada asap rokok dalam memicu kanker paru-paru adalah zat-zat radioaktif. Itu pun jika dimakan atau dihidap dalam kadar yang cukup. Kematian umumnya bukan terjadi karena kesulitan bernafas yang diakibatkan oleh membesarnya kanker, tetapi karena posisi paru-paru dalam sistem peredaran darah menjadikan kanker mudah menyebar ke seluruh tubuh. Penyebaran metastase ke arah otak dan bagian kritis lainnya yang mengakibatkan kematian itu. 90% penderita meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis. Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Rekomendasi WHO tahun 1983 yang menyebutkan bahwa seandainya 2/3 dari yang dibelanjakan dunia untuk membeli rokok digunakan untuk kepentingan kesehatan, niscaya bisa memenuhi kesehatan asasi manusia di muka bumi. Dari para ahli di negeri Cina, didapat data bahwa 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Shanghai Cina adalah disebabkan rokok. Dan jangan lupa bahwa prosentase kematian disebabkan rokok ternyata lebih tinggi dibandingkan yang disebabkan perang atau kecelakaan lalulintas. Prosentase kematian orang yang berusia 46 tahun atau lebih adalah 25% lebih bagi perokok. Jadi kesimpulannya, kalau kita sudah membaca hasil-hasil penelitian para ahli, ternyata merokok bukan saja tidak bermanfaat, bahkan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Bukan hanya diri sendiri, tetapi termasuk juga orang lain. Oleh karena itu, tentu seorang muslim yang memiliki pemahaman agama yang baik serta tidak ketinggalan informasi terbaru, pasti akan merasa jijik dengan rokok dan segera berhenti tanpa menunda-nunda lagi. Dan para ulama yang melek informasi pun wajar ketika mereka memfatwakan haramnya rokok. Sebab madharatnya sudah menjadi ijma' para ahli. Dikutip dari sebuah sumber (Anonymous) Silakan Baca: 1. Deposito bank Syariah 2. Hukum Nyanyian dan suara wanita 3. Mengabaikan sholat, dosa besar
Posted by Surono Karti at 9:41 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Kewajiban/mendoakan terhadap Orang Tua Non Muslim
Mendoakan orang tua yang non muslim agar mendapat hidayat sehingga masuk Islam tidak terlarang, justru doa itu adalah persembahan paling berharga yang bisa diberikan seorang anak kepada orang tuanya. Sebab tidak ada kekayaan dan kenikmatan yang lebih tinggi nilainya dari pada nikmat menjadi seorang muslim yang sujud kepada Allah SWT.
Doa itu adalah harapan sekaligus permintaan kepada Allah. Dan selama seseorang masih bernafas, masih ada kesempatan baginya untuk kembali ke jalan-NYa. Doa itu akan didengar oleh Allah SWT, walaupun masalah terkabul atau tidaknya, akan kembali lagi kepada Allah juga. Tetapi doa yang dipanjatkan tidak akan sia-sia. Minimal menjadi pahala bagi yang berdoa. Yang dilarang untuk mendoakan sesungguhnya adalah bagi orang kafir yang telah wafat dalam keadaan kekafirannya. Yaitu memohon kepada Allah SWT agar diampuni dosa-dosanya, padahal selama hidupnya tidak pernah menyatakan iman kepada Allah SWT dan mengingkari bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan rasul-NYa. Bahkan mengingkari bahwa Al-Qur'an Al-Kariem adalah firman-NYa yang wajib dijadikan pedoman hidup.
Larangan mendoakan orang kafir yang sudah mati itu jelas tercantum di dalam Al-Qur'an Al-Kariem: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS At-Taubah: 119) Yang dimaksud dengan meminta ampun buat orang musyrik adalah bila mereka telah nyata mati dalam keadaan kafir.
Adapun bila mereka masih hidup, tentu saja kita wajib mengajak mereka masuk Islam. Dan di antara bentuk ajakan itu adalah doa kepada Allah SWT agar mereka diberi hidayah dan cahaya yang menerangi hidup, berupa kesadaran untuk berserah diri kepada Allah SWT. Umar bin Al-Khattab ra. tadinya adalah seorang musyrik dan kerjanya memerangi dakwah nabi SAW. Namun dengan segala keikhlasan, Rasulullah SAW meminta kepada Allah agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari Umar. Dan Allah SWT mengabulkan doa itu sehingga Umar bin Al-Khattab masuk Islam serta menjadi orang terbaik setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Masuk Islamnya Umar ra. antara lain karena permohonan dan doa nabi SAW.
Namun apakah setiap doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan atau tidak, semua kembali kepada Allah SWT. Bahkan ketika Rasulullah SAW berdoa agar paman-Nya masuk Islam, kehendak Allah ternyata lain. Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS Al-Qashash: 56) Namun doa tetap harus dipanjatkan, karena doa itu memang diperintahkan. Masalah dikabulkan atau tidak, itu menjadi urusan Allah. Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS Al-Mu'min: 60)
Bila hari ini seseorang berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar orang tuanya yang non muslim diberi hidayah hingga memeluk agama Islam, tentu sebuah bentuk bakti kepada orang tua yang tak ternilai harganya. Perbuatan itu justru harus terus dilanggengkan, karena Allah SWT memerintahkan kita untuk meminta kepada-NYa, baik cepat terkabul atau tidak. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah: 186) Semoga Allah SWT memberi taufiq dan hidayat-Nya kepada saudara kita dan orang-orang yang masih kafir untuk bisa menerima anugerah yang paling berharga, yaitu menjadi seorang muslim.
Dikutip dari sebuah sumber (Anonymous)
Cermati Juga:
Posted by Surono Karti at 9:31 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Puji-pujian Menjelang Shalat Berjamaah
Mengucapkan puji-pujian kepada Rasulullah SAW adalah sebuah ibadah yang dianjurkan. Termasuk juga membaca shalawat dan salam kepadanya. Sebab Allah SWT pun telah bershalawat kepadanya, demikian juga para malaikat, ikut juga bershalawat kepada beliau. Maka Allah SWT pun memerintahkan umat Islam untuk banyak-banyak menyampaikan shalawat kepada nabi dan rasul termulia itu.
Dalam salah satu ayat Al-Qur'an, perintah Allah SWT kepada orang-orang beriman untuk bershalawat dan memberi salam kepada beliau sangat jelas. Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS Al-Ahzab: 56) Masalahnya tinggal waktu pengucapannya serta bagaimana tata cara mengucapkannya.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Apalagi bila selalu diucapkan pada saat menjelang shalat, yaitu antara azan dan iqamat dalam shalat berjamaah. Kekhususan seperti ini terus terang memang tidak ada tuntunannya, baik di dalam Al-Qur'an maupun di dalam As-Sunnah. Maksudnya, tidak ada dalil secara khusus yang memerintahkan kita untuk membaca shalawat atau puji-pujian menjelang shalat berjamaah.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang berhati-hati dalam masalah penerapan sunnah, sangat menjaga agar jangan sampai kita membiasakan diri melakukan sesuatu yang tidak ada anjuran atau perintahnya, di mana hukum asalnya boleh-boleh saja, namun karena selalu dibaca dan dibiasakan, dikhawatirkan nantinya akan ada orang yang beranggapan bahwa hal itu bagian dari tata cara ibadah shalat. Rupanya, kekhawatiran seperti itu sedikit banyak memang sudah menjadi kenyataan. Ada beberapa orang awam yang lantas beranggapan bahwa antara azan dan iqamat harus dibacakan pujian kepada Rasulullah SAW. Bahkan sampai kepada pemahaman bahwa bila tidak diucapkan pujian itu, maka ibadah shalat itu kurang benar atau kurang afdhal.
Berangkat dari kenyataan seperti itu, sebagian kalangan lantas memfatwakan untuk melarang membaca pujian menjelang shalat, sebagai langkah saddan li-adzdzari'ah. Malah sebagian sampai mengatakan bahwa hal itu adalah bid'ah yang diada-adakan. Kalau kita meminjam jalan berpikir kalangan ini, rasanya memang ada benarnya. Tinggal bagaimana kita bisa membahasakan kembali kepada masyarakat, agar tidak timbul keresahan.
Kami yakin, bila kita menjelaskan dengan baik, sambil menerangkan duduk persoalannya, tanpa ada kesan menggurui, apalagi menghakimi, banyak orang yang bisa dengan mudah mengerti. Sebaliknya, bila cara menyampaikannya terkesan arogan, merasa benar sendiri, sambil memaki, mencela atau menyakiti hati yang mendengarnya, wajar pula bila timbul resitansi dari mereka yang terlanjur terbiasa melakukannya. Maka seni berdakwah itu penting untuk dipahami, sebab berdakwah itu memang butuh seni tersendiri.
Sederhananya, kita ditantang untuk bisa mengail ikan dengan cerdas, agar bisa dapat ikannya tanpa membuat keruh airnya. Sedangkan pengail ikan yang kurang cerdas, bisanya hanya membuat air menjadi keruh, sementara satu pun ikan tak didapatnya. Dikutip dari sebuah sumber (Anonymous)
Silakan baca Juga:
Posted by Surono Karti at 9:26 AM 0 comments
Labels: Sholat
Wednesday, September 16, 2009
Apakah Emas Putih Juga Haram Dipakai?
Emas adalah benda yang haram dikenakan oleh laki-laki muslim. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW berikut ini. Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah SAW melarang (laki-laki) memakai cincin dari emas(HR Jama'ah) Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda, "Emas dan sutera dihalakan bagi golongan wanita dari umatku dan diharamkan bagi golongan laki-laki." (HR At-Tirmidzi) Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa keharaman emas untuk dikenakan oleh laki-laki dari umat Muhammad SAW adalah pada bendanya yang diidentifikasi sebagai emas, bukan pada warna atau bentuk pisiknya. Karena itulah benda-benda yang dicat atau berwarna dengan warna mirip emas seperti cincin mas imitasi, jam berwarna keemasan, piring berwarna keemasan dan lainnya, tidak haram untuk digunakan. Karena bukan emas, melainkan hanya warnanya saja yang seperti emas. Yang diharamkan bukan warna atau penampilannya, melainkan zat atau bendanya. Sedangkan emas putih pada hakikatnya adalah emas juga, maka hukumnya haram dikenakan oleh laki-laki. Meski warnanya tidak sebagaimana emas umumnya, namun karena wujud bendanya adalah emas, maka hukumnya haram dikenakan oleh laki-laki muslim. dari sebuah sumber (anonymous) Cermati juga: 1. Bencong/lesbi dalam pandangan Islam 2. Zakat Emas/mal 3. Pria menghias Diri, Boleh? 4. Keunggulan dinar-dirham dalam alat investasi
Posted by Surono Karti at 8:36 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Sejarah Azan dan Pensyariatannya
Dari segi bahasa azan berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Qur'an Al-Kariem berikut ini: Dan suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin... (QS At-Taubah: 3) Selain itu, azan juga bermakna seruan atau panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji. Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS Al-Hajj: 27)
Sedangkan secara syariat, definisi azan adalah perkataan tertentu untuk memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu. (lihat kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1). Sedangkan dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi azan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz yang tertentu. Azan pertama kali disyariatkan adalah ketika Rasulullah SAW telah tiba hijrah di Madinah. Saat itu setelah selesai pembangunan masjid Nabawi, muncullah berbagai pendapat tentang cara memanggil orang untuk menunaikan shalat jamaah di masjid. Ada orang yang mengusulkan penggunaan terompet, lonceng juga dengan alat lainnya. Namun semua ide itu tertolak, salah satunya karena ada unsur persamaan dengan agama lain.
Sementara itu, sebagian shahahat mendapatkan mimpi tentang adzan, termasuk salah satunya Umar bin Al-Khattab ra. Ketika mimpi-mimpi itu diceritakan kepada Rasulullah SAW, beliau pun membenarkan mimpi itu dan menegaskan bahwa Allah SWT telah memerintahkan pensyariatan adzan untuk memanggil shalat berjamaah di masjid. Dan di antara hadits-hadits yang sampai kepada kita tentang mimpi dan pembenaran dari Rasulullah SAW adalah hadits berikut ini: Dari Abdullah bin Zaid tentang mimpi mengenai azan di mana Rasulullah SAW mengomentari, "Itu adalah mimpi yang benar, Insya Allah. Pergilah kepada Bilal dan sampaikan apa yang kamu lihat dalam mimpi. Sesungguhnya Bilal itu suaranya lebih terdengar dari suaramu." (HR Ahmad dan Abu Daud) Selain itu, di dalam sebuah hadits yang riwayatnya teramat lemah dan gharib, ada keterangan bahwa azan bukan hanya ditetapkan hanya dengan mimpi sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah SAW juga diperlihatkan praktek azan ketika beliau diisra`kan ke langit. Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi SAW diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di atas 7 lapis langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk langit, dimana disana ada Adam as dan Nuh as. Maka Allah menyempurnakan kemuliaannya di antara para penduduk langit dan bumi.
Jadi yang benar adalah riwayat yang menyebutkan bahwa bukan hanya satu orang yang bermimpi tentang adzan, melainkan beberapa shahabat nabi memang mengalaminya. Namun semua mimpi itu belum bisa menjadi dasar pensyariatan, kecuali setelah mendapatkan kepastian hukumnya dari Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah yang resmi. Maka bila sepeninggal Rasulullah SAW ada orang yang mengaku bermimpi mendapatkan syariat tertentu, secara otomatis tertolak dan tidak bisa dijadikan sebuah bentuk ibadah formal dalam agama. Sebab pensyariatan itu haruslah bersifat resmi dan dipastikan dengan penetapan oleh Rasulullah SAW langsung.
Dikutip dari sebuah sumber (anonymous)
Baca Juga:
Posted by Surono Karti at 8:32 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Bersetubuh dengan Istri yang Sudah Ditalak dan Cara rujuk dengan yang sudah ditalak
Berhubungan badan dengan mantan istri yang telah ditalak satu, bisa jatuh hukum sebagai rujuk, terutama bila diiringi dengan niat untuk merujuknya. Tapi bila tanpa niat untuk merujuknya, menurut As-Syafi'iyah merupakan hal yang diharamkan, sebab hubungan mereka bukan suami-isteri.
Namun lebih detailnya, kita dapati bahwa para ulama berbeda-beda pendapat dalam hal ini. Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa bila talak satu telah dijatuhkan, maka masih ada kesempatan untuk melakukan rujuk antara suami istri. Rujuknya ada 2 cara.
Pertama, rujuk yang harus dengan nikah ulang. Yaitu bila terlambat untuk melakukan rujuk hingga isteri selesai dari masa iddahnya. Maka haruslah suami mengajukan lamaran lagi dari awal, kemudian membayar mas kawin baru, lalu melakukan kembali akad nikah dengan wali yang disaksikan oleh minimal 2 orang saksi laki-laki yang adil.
Kedua, rujuk begitu saja tanpa ada nikah ulang. Ini boleh dilakukan asalkan masih dalam masa iddah isteri, yaitu selama tiga kali masa suci dari haidhnya. Ketetapan ini telah dipastikan oleh Allah SWT langsung di dalam firman-Nya:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru' . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.
Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Baqarah: 228) Namun para ulama berbeda pendapat tentang teknis rujuk yang masih dalam masa iddah ini, sebagian mengatakan cukup dengan melakukan persetubuhan saja, sebagaian lain mengatakan harus dengan niat yang mengiringi di dalam hati. Sebagian lainnya lagi mengatakan cukup dengan percumbuan di antara keduanya tanpa harus bersetubuh.
Berikut ini keterangan lebih detailnya sebagaimana tercantum dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Al-Hanafiyah cenderung mengatakan bahwa rujuk itu sah dilakukan walau tanpa niat sekalipun. Bila seorang laki-laki tanpa niat untuk merujuk melakukan hubungan seksuali dengan wanita yang telah diceraikannya, maka tindakannya itu sudah sah secara hukum sebagai penetapan rujuknya mereka. Tentu saja selama wanita yang ditalak itu masih dalam masa iddahnya. Pendapat ini menambahkan meski pun hanya sekedar meraba atau menyentuh, termasuk menciumnya baik di bibir, pipi, kening atau dahi, sudah sah sebagai rujuk. Bahkan meski ketika menciumnya dengan cara mencuri-curi, atau ketika mantan istrinya itu sedang tidur, atau tidak mau, atau pun dalam keadaan tidak sadar, seperti gila atau ideot. Dan tindakan itu sama saja baik dilakukan dengan syahwat atau pun tidak, tetap sah sebagai rujuk. Syaratnya hanyalah asal suami melakukannya dan dia mengakui secara sengaja melakukannya.
As-Syafi'iyah lebih cenderung kepada pendapat yang mensyaratkan adanya niat di dalam hati suami untuk rujuk, di mana niat itu mendampingi tindakan-tindakannya. Tapi kalau hanya sekedar melakukan percumbuan begitu saja tanpa ada niat di dalam hati untuk rujuk, maka belum sah sebagai rujuk. Bahkan meski sampai terjadi persetubuhan di antara mereka berdua, tetap belum dikatakan rujuk, bila suami tidak berniat untuk rujuk. Dan bila sampai demikian, hal itu merupakan tidakan yang diharamkan karena ada pembatas talak di antara keduanya. Untuk itu, cukuplah di dalam hati suami berniat untuk merujuknya, maka wanita mantan istri yang sudah dijatuhi talak satu itu otomatis menjadi halal kembali saat itu juga.
Al-Hanabilah dalam salah satu riwayat pendapatnya mengatakan bahwa asalkan sudah terjadi persetubuhan antara mantan suami istri itu dalam masa 'iddah, maka resmilah rujuk terjadi di antara mereka. Meski pun saat bersetubuh itu, suami belum berniat untuk merujuknya. Tapi kalau baru sekedar mencium atau menyentuhnya dengan nafsu syahwat, belum termasuk rujuk. Namun dalam riwayat lainnya, ciuman dan sentuhan itu sudah dianggap sebagai bentuk rujuk.
Dikutib dari sebuah sumber (anonymous)
Silakan baca:
Posted by Surono Karti at 8:27 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Di Tengah Shalat, Menyadari Aurat Terbuka
Menutup aurat termasuk syarat sahnya shalat, sehingga seseorang yang auratnya terbuka, tidak sah shalatnya. Meski pun seseorang berada di dalam kamar yang tertutup rapat dan tidak ada orang lain yang melihatnya. Atau shalat di tempat yang gelap tidak ada sinar sedikitpun. Dalam hal ini, menutup aurat memang termasuk jenis syarat ritual dalam ibadah.
Dalil atas kewajiban menutup aurat pada saat melakukan shalat adalah firman Allah SWT berikut ini, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS Al-A`raf: 31) Ibnu Abbas ra. berkata bahwa yang dimaksud dengan perhiasan dalam ayat ini maksudnya adalah pakaian yang menutup aurat. Selain itu ada hadits nabi yang menegaskan kewajiban wanita memakai khimar pada saat shalat. Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak syah shalat seorang wanita yang sudah mendapat haidh kecuali dengan memakai khimar." (HR Al-Hakim atas syarat dari Muslim).
Adapun bila seseorang sudah menutup auratnya, namun tiba-tiba terbuka tanpa sengaja dan langsung ditutupnya saat itu juga, maka tidaklah membatalkan shalatnya. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Mughni, susunan Ibnu Qudamah. Al-Imam Ahmad telah menyatakan hal itu dan dikuatkan oleh Al-Imam Abu Hanifah. Beliau mengatakan bila aurat yang terbuka itu hanya sedikit, seluas dirham atau bukan bagian vital dari aurat, maka shalatnya tidak batal. Tapi bila aurat yang terlihat itu banyak, shalatnya batal.
Namun Asy-Syafi'i rahimahullah justru menyatakan bahwa terbukanya aurat itu tetap membatalkan shalat. Baik sebentar atau lama, baik sedikit atau banyak. Bagi beliau, semua dianggap sama saja. Sehingga bila seorang sedang shalat, lalu tiba-tiba sebagian auratnya terbuka, maka shalatnya batal, dan dia harus mengulangi lagi shalatnya dari awal.
Dikutip dari sebuah sumber (anonymous)
Silakan baca
Posted by Surono Karti at 8:17 AM 0 comments
Labels: Sholat
Monday, September 14, 2009
Indonesia Kapan, Lebarannya?
dari bagian lima Catatan akhir Sebelum penulis mengakhiri tulisan yang cukup panjang ini, ada sedikit catatan akhir. Pertama, daerah yang terletak di sebelah barat belum tentu lebih mudah mengamati hilal dibandingkan dengan daerah timur. Contohnya, Indonesia berpeluang melihat hilal pada 19 September maghrib karena ketinggiannya lebih besar, tetapi Arab Saudi dan Mesir ketinggiannya lebih kecil (meskipun elongasinya lebih besar). Bahkan Eropa bisa dikatakan mustahil karena moonset sebelum sunset. Kedua, Daerah yang bujurnya sama juga tidak ada jaminan akan mendapatkan ketinggian hilal yang sama. Sebagai contoh, Jayapura dan Tokyo memiliki bujur yang hampir sama, tetapi di Jayapura ketinggian hilal sekitar 5 derajat sedangkan di Tokyo negatif. Ketiga, pada pergerakan bulan untuk awal bulan Syawwal 1430 H ini, daerah yang terletak di belahan bumi selatan lebih mudah mengamati hilal daripada di belahan bumi utara. Untuk memahami catatan di atas, penulis perlu menjelaskan dari sudut pandang koordinat ekuator geosentrik dengan 2 buah komponen yaitu right ascension (alpha) dan declination (delta). Ketika bulan (moon) dan matahari mengalami konjungsi, keduanya bisa dikatakan memiliki alpha yang hampir sama. Bisa dikatakan, keduanya bergerak mengitari bumi (dari sudut pandang pengamat di bumi) secara beriringan, sehingga sunrise dan moonrise serta sunset dan moonset hampir berdekatan. Yang membedakannya adalah nilai delta bulan dan matahari. Pada tanggal 19 September 2009, deklinasi matahari secara rata-rata adalah sekitar 1,5 derajat, sedangkan deklinasi bulan berubah secara cepat dari minus 4 derajat hingga minus 9 derajat. Ini berarti, bulan terletak di sebelah selatan matahari, karena bulan berada di selatan khatulistiwa sedangkan matahari di utara. Karena itu, bagi orang yang tinggal di belahan bumi utara, bulan tampak jauh di selatan dibanding matahari sehingga logikanya, bulan lebih cepat untuk tenggelam dibandingkan matahari. Inilah yang menjelaskan, mengapa di belahan bumi utara (seperti Jepang dan Eropa), pada waktu itu moonset terjadi sebelum sunset. Sementara bagi yang tinggal di belahan bumi selatan, matahari tampak lebih di utara daripada bulan sehingga matahari lebih cepat tenggelam dibandingkan bulan. Jadi bagi yang tinggal di belahan bumi selatan, sunset mendahului moonset sehingga hilal lebih mudah diamati. Penutup Demikianlah, beberapa catatan penulis mengenai hisab 1 Syawwal 1430 H di berbagai penjuru dunia. Memang masih menyisakan berbagai pertanyaan mengenai beragamnya cara penetapan awal bulan (month) di berbagai negara. Namun sekurangnya catatan di atas semoga memberikan tambahan wawasan bagi pembaca. Semoga Allah SWT menerima segala amal kebaikan kita khususnya selama bulan Ramadhan ini, melipatgandakan pahala kita dan kita semakin dekat untuk menjadi golongan orang-orang yang bertaqwa. Mohon maaf atas segala kesalahan. Selamat Hari Raya Iedul Fithri 1430 H. Taqabballahu minna wa minkum. Tulisan DR. Rinto Anugraha (Dosen Fisika UGM) http://eramuslim.com/syariah/ilmu-hisab/hisab-1-syawwal-1430-h.htm Kembali ke halaman pertama
Posted by Surono Karti at 1:01 PM 0 comments
Labels: Ibadah
1 Syawwal 1430 H di berbagai negara
dari bagian empat Pemerintah Indonesia menetapkan 1 Syawwal 1430 H dengan berdasarkan rukyat, maka Hari Raya Iedul Fithri akan jatuh pada hari Ahad, 20 September 2009, jika dalam pelaksanaan rukyat hilal berhasil dilihat . Akan tetapi jika hilal gagal dilihat, maka Iedul Fithri jatuh pada hari Senin, 21 September 2009. Prediksi 1 Syawwal 1430 H di negara-negara lain Setelah diberikan penjelasan tentang hisab dan prediksi rukyat di Indonesia, bagaimanakah dengan di negara-negara lain? Penulis akan membaginya ke dalam beberapa bagian, yaitu Asia Timur, ASEAN, Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Amerika. Untuk informasi kapan jatuhnya 1 Ramadhan 1430 H di berbagai negara, penulis merujuk pada data dari Islamic Crescents' Observation Project (ICOP) di alamat http://www.icoproject.org/icop/ram30.html#day Dalam website tersebut terdapat informasi bahwa mayoritas negara-negara di seluruh dunia memulai Ramadhan 1430 H pada 22 Agustus 2009. Negara Libya, Turki dan Eropa barat di dekat Turki memulai satu hari lebih awal dengan menggunakan kriteria perhitungan astronomi, sedangkan India, Pakistan dan Bangladesh memulai satu hari lebih lambat, berdasarkan 30 hari bulan Sya'ban. Jepang dan Asia Timur Di Jepang (UT + 9), dimana penulis tinggal saat ini (kota Fukuoka), 1 Ramadhan jatuh pada hari yang sama dengan di Indonesia, yaitu 22 Agustus. Otoritas muslim Jepang yang memutuskan soal ini adalah Islamic Center of Japan di Tokyo. Pada tanggal 19 September 2009 maghrib, hilal tampaknya mustahil dilihat di seluruh Jepang, mulai dari Sapporo, Tokyo, Osaka, Fukuoka hingga Kagoshima, karena saat maghrib, bulan sudah lebih dahulu terbenam. Sebagai contoh, di Tokyo sunset terjadi pukul 17:44 sedangkan moonset pukul 17:39 waktu setempat atau 5 menit sebelumnya. Di Osaka, moonset (17:56) terjadi 4 menit sebelum sunset (18:00). Di Fukuoka, moonset (18:17) terjadi 3 menit sebelum sunset (18:20). Hanya di Okinawa (kepulauan Jepang selatan) saja, moonset terjadi setelah sunset tetapi itupun hanya berselisih 4 menit saja. Waktu time lag yang singkat ini nampaknya tidak memungkinkan hilal untuk dapat dilihat, bahkan dengan bantuan alat optik. Sehingga, jika otoritas muslim Jepang memutuskan hanya berdasarkan rukyat di Jepang, perkiraannya Iedul Fithri akan jatuh pada 21 September 2009. Namun, setahu penulis, biasanya otoritas muslim Jepang juga merujuk kepada keputusan negara muslim terdekat, yaitu Malaysia/Indonesia. Dengan demikian bagi muslim di Jepang termasuk penulis, ditunggu saja keputusan dari Islamic Center of Japan. Di negara-negara Asia Timur lainnya, situasi serupa dengan Jepang terjadi. Di Seoul dan Busan Korea Selatan, Beijing China, moonset sebelum sunset. Di Taipei Taiwan memang moonset setelah sunset sekitar 5 menit tetapi altitude bulan hanya sekitar 1 derajat. Penulis tidak mengetahui bagaimanakah otoritas muslim di negara-negara tersebut memutuskan masuknya bulan Syawwal, apakah berdasarkan hisab, rukyat setempat atau merujuk kepada negara tertentu. ASEAN dan Australia Di Malaysia, Brunei dan Singapura, 1 Ramadhan 1430 H juga ditetapkan pada tanggal yang sama, yaitu 22 Agustus 2009. Di Kuala Lumpur Malaysia (UT + 8), moonset (19:32 waktu lokal) terjadi 21 menit setelah sunset (19:11). Tinggi hilal sekitar 5,5 derajat, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 10 derajat sehingga di atas ambang Limit Danjon, namun iluminasi hilal hanya 0,81%. Prediksi hilal: dapat dilihat hanya dengan bantuan alat optik. Di Singapura (UT + 8), keadaan yang hampir sama terjadi. Moonset (19:23 waktu lokal) terjadi 22 menit setelah sunset (19:01). Tinggi hilal sekitar 5,5 derajat, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 10 derajat sehingga di atas ambang Limit Danjon, namun iluminasi hilal hanya 0,79%. Prediksi hilal juga sama seperti di Malaysia: dapat dilihat hanya dengan bantuan alat optik. Nampaknya, keadaan posisi bulan menurut pengamat di Malaysia dan Singapura hampir sama dengan di Indonesia. Penulis memprediksi, negara-negara di ASEAN akan menetapkan keputusan yang sama. Jika hilal berhasil dilihat, Iedul Fithri jatuh pada 20 September 2009. Di Australia seperti Canberra, Sydney dan Melbourne, hilal nampaknya bisa dilihat dengan bantuan alat optik. Namun di Perth Australia Barat, hilal bisa diamati dengan mata tanpa perlu bantuan alat optik. Kemungkinan otoritas muslim di Australia menetapkan 20 September 2009. Timur Tengah Arab Saudi (UT + 3) dan berbagai negara Timur Tengah juga memulai Ramadhan pada tanggal 22 Agustus 2009. Untuk awal Syawwal, walaupun posisi Timur Tengah berada di sebelah barat di Indonesia, ini tidak menjamin hilal akan terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia. Di Makkah pada 19 September 2009 maghrib, meski hilal sudah lewat 20,5 jam sejak konjungsi namun ketinggian bulan hanya sekitar 4 derajat di atas ufuk, walaupun sudut elongasi bulan-matahari mencapai 12 derajat. Moonset (18:37 waktu lokal) hanya berselang 17 menit setelah sunset (18:20). Iluminasi bulan sekitar 1,17 %. Jika hilal bisa diamati, Iedul Fithri di Arab Saudi jatuh pada 20 September 2009. Kemungkinan besar, negara-negara Timur Tengah lainnya juga akan mengikuti keputusan Saudi Arabia. Afrika Hampir seluruh negara di Afrika memulai Ramadhan pada tanggal 22 Agustus 2009, kecuali Libya. Di Kairo Mesir, hilal Syawwal nampaknya sulit dilihat karena selang waktu antara moonset dengan sunset hanya 10 menit, dan ketinggian hilal hanya 2 derajat, walaupun elongasinya mencapai 12 derajat. Makin ke selatan, hilal semakin besar berpeluang diamati. Di Afrika Selatan menurut kriteria Odeh, hilal mudah dilihat dengan mata, sebab ketinggian hilal mencapai 11 derajat dan selang waktu antara moonset dan sunset mencapai 50 menit. Khusus untuk Libya (UT + 2), negara ini memulai Ramadhan 1 hari lebih awal yaitu 21 Agustus 2009. Libya menggunakan kriteria bulan baru (new month) dengan konsep new moon, yaitu masuknya new month apabila new moon terjadi sebelum waktu Fajar/subuh. Artinya, jika pada waktu fajar tersebut new moon sudah terjadi maka pada waktu fajar tersebut tanggal 1 bulan baru (new month) dinyatakan masuk. Seperti dijelaskan sebelumnya, new moon untuk Ramadhan terjadi pada 20 Agustus 2009 pukul 17:01 WIB atau pukul 10:01 UT. Karena waktu lokal di Libya adalah UT + 2 (asumsi tidak ada daylight saving time), maka new moon terjadi pada 20 Agustus 2009 pukul 12:01 waktu setempat. Ini berarti pada waktu subuh di Libya tanggal 21 Agustus 2009, new moon sudah terjadi sehingga tanggal tersebut dinyatakan sebagai 1 Ramadhan 1430 H di Libya. Jadi di Libya, Iedul Fithri akan jatuh pada tanggal 19 September 2009 karena new moon terjadi pada 18 September 2009 pukul 20:44 waktu setempat. Eropa Mayoritas otoritas muslim di negara-negara Eropa menetapkan Ramadhan pada 22 Agustus 2009. Meskipun Eropa jauh lebih berada di sebelah barat Indonesia, tetapi ternyata pada 19 September 2009 maghrib, hilal akan mustahil diamati di banyak negara-negara di Eropa. Hal ini disebabkan di berbagai negara-negara di Eropa, bulan sudah lebih terbenam pada saat maghrib. Di London Inggris, moonset terjadi 15 menit sebelum sunset. Di Paris Perancis, 11 menit. Makin ke utara Eropa, moonset makin jauh mendahului sunset. Di Amsterdam Belanda dan Berlin Jerman, 17 menit. Di Moskwa Rusia 25 menit. Di Stockholm Swedia moonset sampai 34 menit lebih dahulu daripada sunset. Di Oslo Norwegia mencapai 36 menit. Jadi, jika otoritas muslim di masing-masing negara di Eropa memutuskan berdasarkan pengamatan hilal di negara masing-masing, maka Iedul Fithri di Eropa akan jatuh pada 21 September 2009. Lain halnya, jika keputusannya merujuk kepada keputusan suatu negara tertentu. Khusus untuk Turki, pemerintah di sana menetapkan 1 Ramadhan pada 21 Agustus 2009 berdasarkan perhitungan astronomis. Ini diikuti oleh beberapa negara Eropa barat di dekat Turki seperti Bosnia, Rumania, Albania dan lain-lain. Penulis tidak mengetahui secara persis kriteria apakah yang digunakan di Turki, namun jika sama seperti kriteria Libya, maka Iedul Fithri di Turki juga akan jatuh pada tanggal yang sama seperti di Libya, yaitu 19 September 2009. Amerika Utara dan Selatan Otoritas muslim di USA menetapkan Ramadhan pada 22 Agustus 2009. Di Los Angeles pada 19 September 2009, moonset terjadi 20 menit setelah sunset dengan tinggi hilal sekitar 4 derajat. Perkiraan hilal: dapat diamati dengan bantuan alat optik. Sementara di Chicago nampaknya hilal sulit diamati. Jika di Amerika Utara, hilal relatif lebih sulit diamati, berbeda halnya dengan di Amerika Selatan. Komunitas minoritas muslim di Amerika Selatan yang melakukan rukyat akan dengan mudah mengamati hilal. Di Rio de Janeiro Brazil, ketinggian hilal sekitar 13,5 derajat dan sudut elongasi sekitar 15 derajat, moonset sekitar 1 jam setelah sunset sehingga hilal mudah diamati. Makin ke selatan, semakin mudah diamati. Di Buenos Aires Argentina, ketinggian hilal sekitar 15 derajat, sudut elongasi sekitar 15,5 derajat, moonset sekitar 1 jam 15 menit setelah sunset. Asia Tengah Khusus di Asia Tengah, yaitu India, Pakistan dan Bangladesh, otoritas muslim dan pemerintah di sana menetapkan Ramadhan satu hari lebih lambat dari rata-rata tanggal 1 Ramadhan, yaitu hari Ahad, 23 Agustus 2009. Tanggal tersebut ditetapkan berdasarkan istikmal atau 30 hari bulan Sya'ban. Ini berarti 1 Sya'ban 1430 H di ketiga negara tersebut jatuh pada 24 Juli 2009, dan 29 Sya'ban 1430 H = 21 Agustus 2009. Ketika ketiga negara tersebut melakukan rukyat pada 21 Agustus 2009 maghrib, ternyata dugaan penulis, hilal "gagal dilihat" sehingga akhirnya ditetapkan istikmal. Penulis secara pribadi ingin memberikan tanggapan pada "kegagalan rukyat" di ketiga negara tersebut pada tanggal 21 Agustus 2009 maghrib. Sebenarnya, pada waktu tersebut di India, Pakistan dan Bangladesh, hilal cukup memungkinkan untuk dilihat. Berdasarkan hisab kontemporer seperti paparan di atas, pada tanggal 21 Agustus 2009 maghrib di New Delhi India, ketinggian hilal sekitar 6 derajat, sudut elongasi sekitar 16 derajat, serta iluminasi bulan 2%. Besarnya sudut elongasi ini disebabkan besarnya selisih azimuth antara bulan (moon) dan matahari, yaitu sekitar 14,5 derajat. Di Dhaka Bangladesh, ketinggian hilal sekitar 7 derajat, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 15,5 derajat serta iluminasi bulan 1,87%. Di Peshawar Pakistan, ketinggian hilal sekitar 5 derajat, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 16 derajat dan iluminasi bulan 2,05%. Paparan di atas menunjukkan keadaan hilal sudah di atas limit Danjon, sehingga hilal cukup memungkinkan untuk dilihat. Entah, apakah di ketiga negara tersebut cuaca secara seragam tidak mendukung rukyat saat itu, tetapi memang selama ini berdasarkan catatan di website ICOP ketiga negara tersebut sering terlambat dalam memulai Ramadhan atau Syawwal dibandingkan misalnya dengan Indonesia. Sebagai perbandingan di Indonesia, para perukyat berhasil melihat hilal pada 21 Agustus 2009 maghrib dengan besar sudut elongasi yang hampir sama , bahkan dengan iluminasi bulan yang lebih kecil, meskipun memang ketinggian hilal di Indonesia untuk rukyat awal Ramadhan lebih besar. Demikianlah, dengan ditetapkannya 1 Ramadhan 1430 H = 23 Agustus 2009 di ketiga negara tersebut, maka 29 Sya'ban 1430 H = 20 September 2009. Rukyat pada 20 September 2009 maghrib di ketiga negara tersebut secara perhitungan mudah dilihat. Hilal sudah berumur sekitar 42 jam sejak new moon. Ketinggian hilal di ketiga negara tersebut berkisar antara 7 - 11 derajat, sudut elongasi sekitar 23 derajat. Iluminasi bulan mencapai 4%. Jika hilal berhasil dilihat, maka Iedul Fitri di ketiga negara tersebut = 21 September 2009. ke halaman enam
Posted by Surono Karti at 1:00 PM 0 comments
Labels: Ibadah
Posisi matahari dan Rukyat
dari bagian tiga Pada saat matahari terbenam, umur bulan (crescent) sejak konjungsi (new moon) terjadi adalah 16 jam 5 menit. Terakhir, dapat pula dihitung iluminasi bulan (moon) atau banyaknya bagian permukaan cakram bulan yang terkena pantulan cahaya matahari, yang besarnya adalah 0,78%. Sementara itu, bulan terbenam (moonset) pada pukul 18:14:52 WIB. Hal ini disebabkan, terpenuhinya relasi saat bulan terbenam: true altitude = 0,7275*Sudut Paralaks - 0:34:00, dimana saat itu Sudut Paralaks bulan = 0:59:09 derajat dan true altitude = 0:09:00 derajat (positif 9 menit busur). Jadi, selisih (time lag) antara matahari terbenam (sunset) dengan bulan terbenam (moonset) adalah 25 menit 45 detik. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan (sudut dibulatkan ke derajat terdekat, waktu ke jam dan menit) bahwa di Jakarta : • - Konjungsi geosentrik terjadi pada tanggal 19 September 2009 pukul 01: 44 WIB. • - Saat matahari terbenam (17:49 WIB), umur bulan setelah fase konjungsi geosentrik adalah sekitar 16 jam 5 menit. • - Apparent altitude bulan (moon) saat maghrib adalah sekitar 6 derajat di atas ufuk. • - Posisi azimuth bulan saat maghrib kira-kira 7 derajat di sebelah kiri matahari. • - Sudut elongasi bulan-matahari saat maghrib adalah sekitar 10 derajat. • - Iluminasi bulan saat maghrib adalah 0,78%. • - Bulan terbenam (18:15 WIB) kira-kira 26 menit setelah matahari terbenam. Kota-kota lain di Indonesia • Di Jayapura saat matahari terbenam: umur bulan 13 jam 53 menit, apparent altitude bulan sekitar 5 derajat di atas ufuk, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 9 derajat, iluminasi bulan 0,62%. Moonset terjadi 19 menit setelah sunset. • Di Gorontalo saat maghrib: umur bulan 15 jam 1 menit, apparent altitude bulan sekitar 5,7 derajat di atas ufuk, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 9,5 derajat, iluminasi bulan 0,70%. Moonset terjadi 20 menit setelah sunset. • Di Surabaya saat maghrib: umur bulan 15 jam 41 menit, apparent altitude bulan sekitar 6,2 derajat di atas ufuk, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 10 derajat, iluminasi bulan 0,75%. Moonset terjadi 26 menit setelah sunset. • Di Aceh saat maghrib: umur bulan 16 jam 52 menit, apparent altitude bulan sekitar 5 derajat di atas ufuk, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 10,5 derajat, iluminasi bulan 0,84%. Moonset terjadi 21 menit setelah sunset. • Di Pelabuhan Ratu saat maghrib: umur bulan 16 jam 6 menit, apparent altitude bulan sekitar 7 derajat di atas ufuk, sudut elongasi bulan-matahari sekitar 10 derajat, iluminasi bulan 0,78%. Moonset terjadi 26 menit setelah sunset. Kriteria hisab Jika masuknya bulan baru (new month) menggunakan kriteria hisab, maka • 1) Hisab dengan kriteria (i) konjungsi terjadi sebelum maghrib, (ii) moonset setelah sunset, maka kriteria ini sudah dipenuhi di seluruh wilayah Indonesia. Menurut kriteria ini, 19 September 2009 maghrib sudah dinyatakan sebagai masuknya bulan Syawwal, sehingga 1 Syawwal 1430 H = 20 September 2009. Ramadhan 1430 H terdiri dari 29 hari. • 2) Hisab dengan kriteria MABIMS (i) saat maghrib umur hilal lebih dari 8 jam setelah konjungsi, (ii) altitude hilal lebih dari 2 derajat, (iii) sudut elongasi lebih dari 3 derajat, maka kriteria ini sudah dipenuhi di seluruh wilayah Indonesia. Di Indonesia, umur hilal saat maghrib berkisar antara 14 - 16 jam, tinggi hilal antara 5 - 7 derajat, dan sudut elongasi antara 9 - 10,5 derajat. Menurut kriteria ini, 19 September 2009 maghrib sudah dinyatakan sebagai masuknya bulan Syawwal, sehingga 1 Syawwal 1430 H = 20 September 2009. Ramadhan 1430 H terdiri dari 29 hari. • 3) Hisab dengan kriteria limit Danjon: (i) konjungsi terjadi sebelum maghrib, (ii) moonset setelah sunset, (iii) sudut elongasi bulan-matahari lebih dari 7 derajat (iv) iluminasi bulan (moon) di atas 1%, maka tiga syarat pertama {(i), (ii) dan (iii)} terpenuhi sedangkan syarat (iv) tidak terpenuhi. Prediksi rukyat Pelaksanaan rukyat dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 September 2009 menjelang matahari terbenam. Saat matahari terbenam, secara matematis bulan (moon) memang sudah berada di ufuk dengan ketinggian berkisar antara 5 - 7 derajat di seluruh wilayah Indonesia. Posisi hilal terletak di sebelah kiri atas matahari. Sudut elongasi bulan-matahari memang berkisar antara 9 - 10,5 derajat di seluruh wilayah Indonesia. Namun, iluminasi bulan rata-rata di bawah ambang 1%, yaitu sekitar 0,6 - 0,8 %. Menurut Mohamad Odeh (ICOP, Accurate Times), pada kondisi ini berdasarkan statistik rukyat-rukyat sebelumnya, hilal baru bisa dilihat dengan bantuan alat optik. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang penting untuk diketahui dan dipersiapkan, seperti posisi bulan dan matahari, bantuan alat untuk menentukan arah dan ketinggian benda langit, ketepatan jam penunjuk waktu, posisi tempat pengamatan yang baik serta bebasnya ufuk barat dari berbagai "gangguan ketinggian" seperti gunung, bangunan dan pepohonan. Perlu juga diwaspadai "salah hilal", maksudnya kesaksian bahwa hilal terlihat, namun sebenarnya jika diselidiki secara ilmiah yang dilihat bukanlah hilal. Beberapa kemungkinan kesalahan, diantaranya adalah posisi "hilal" yang jauh melenceng dari perhitungan, bentuk "hilal" yang menyimpang dari bentuk yang seharusnya berdasarkan posisi bulan (moon) dan matahari, kesaksian terlihatnya "hilal" namun waktu saat itu matahari belum terbenam atau bulan sudah terbenam, dan lain-lain. Untuk menghindari kesalahan, terjaminnya kesahihan pengamatan rukyat, serta kesesuaian antara hisab yang teliti dengan rukyat yang akurat, maka segala data pengamatan perlu dilengkapi, tak ubahnya seperti melakukan eksperimen dan disertai dengan bukti penunjang seperti foto atau video. Jika hilal kali ini gagal dilihat, maka bisa jadi disebabkan oleh iluminasi bulan yang berada di bawah ambang 1%, serta faktor cuaca dan awan yang cukup sulit diprediksi. ke bagian lima
Posted by Surono Karti at 12:57 PM 0 comments
Labels: Ibadah
29 Ramadhan 1430 H
dari bagian dua Di Indonesia, pemerintah menetapkan 1 Ramadhan 1430 H jatuh pada hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Silakan lihat tulisan penulis sebelumnya tentang Hisab 1 Ramadhan 1430 H. Perlu diketahui, pemerintah menetapkan tanggal 1 Ramadhan dengan kriteria rukyatul hilal, namun menetapkan tanggal 1 Sya'ban dengan kriteria hisab MABIMS. Ada perbedaan tanggal antara hisab MABIMS (1 Sya'ban 1430 H = 23 Juli 2009) dengan rukyat (1 Sya'ban 1430 H = 24 Juli 2009) dalam penetapan 1 Sya'ban 1430 H. Namun kedua kriteria tersebut menghasilkan tanggal yang sama dalam penetapan 1 Ramadhan 1430 H, yaitu 22 Agustus 2009. Perbedaannya lagi adalah, dengan kriteria hisab MABIMS untuk 1 Sya'ban, maka rukyat untuk 1 Ramadhan 1430 H dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus 2009 maghrib. Karena rukyat saat itu gagal melihat hilal (sebab ketinggian masih negatif) sehingga dilakukan istikmal dan akhirnya ditetapkan 1 Ramadhan 1430 H = 22 Agustus 2009. Dengan kriteria MABIMS ini, Sya'ban 1430 terdiri dari 30 hari. Sementara itu, pengguna rukyat secara konsusten (misalnya ormas Nahdhatul Ulama) yang menyatakan bahwa 1 Sya'ban 1430 H = 24 Juli 2009, mengadakan rukyat pada tanggal 21 Agustus 2009 (karena bersesuaian dengan 29 Sya'ban 1430 H). Saat rukyat dilakukan, hilal terlihat dengan jelas, karena memang posisi hilal sangat memungkinkan untuk dilihat. Sehingga, dengan penetapan 1 Ramadhan 1430 H = 22 Agustus 2009, maka tanggal 29 Ramadhan 1430 H = hari Sabtu 19 September 2009. Karena itu, perhitungan hisab dan pengamatan rukyat difokuskan pada hari Sabtu sore tanggal 19 September 2009 saat matahari terbenam (sunset atau maghrib). Mengingat konjungsi terjadi pada 19 September 2009 pukul 01:44 WIB atau waktu dini hari, ada rentang waktu sekitar 16 jam bagi bulan (moon) untuk bisa nampak sebagai hilal (crescent) pada waktu maghrib. Seperti diketahui, selama rentang satu hari, bulan (moon) bergerak lebih lambat daripada matahari. Maksudnya, matahari berada pada satu posisi di langit pada waktu tertentu dan 24 jam kemudian posisi matahari relatif kembali ke posisi atau di dekat posisi tersebut sebelumnya. Sementara, bulan (moon) rata-rata membutuhkan waktu sekitar 24 jam 50 menit untuk bisa relatif kembali ke posisi sebelumnya. 19 September 2009 maghrib Selanjutnya, perhitungan akan dilakukan lebih detil untuk menentukan posisi bulan (moon) dan matahari pada 19 September 2009 maghrib. Kita akan mengambil Jakarta (106:51 BT, 6:10 LS, 0 meter, UT + 7) sebagai posisi acuan. Di Jakarta, pada tanggal 19 September 2009 matahari terbenam pada pukul 17:49:07 WIB. Hal ini disebabkan pada waktu tersebut, ketinggian sejati (true altitude) matahari adalah minus 0:49:55 derajat (minus 49 menit busur 55 detik busur) dan sudut jari-jari matahari adalah 0:15:55 derajat (15 menit busur 55 detik busur) sehingga memenuhi hubungan: true altitude = minus 0:34:00 derajat dikurangi sudut jari-jari matahari. Disini, minus 0:34:00 derajat (minus 34 menit busur) adalah koreksi ketinggian benda langit di horison oleh pembiasan atmosfer untuk keadaan standar (tekanan 1010 mbar dan suhu 10 derajat C di permukaan laut). Pada waktu tersebut, posisi azimuth matahari adalah 271:15:16 derajat atau sekitar satu seperempat derajat di sebelah kanan titik arah barat. Untuk menghitung ketinggian nampak (apparent altitude) matahari saat terbenam, maka tinggal ditambahkan saja dengan faktor koreksi pembiasan atmosfer sebesar 0:34:00 derajat. Jadi ketinggian nampak matahari saat terbenam adalah minus 0:15:55 derajat yang tepat sama dengan minus sudut jari-jari matahari. Artinya yang nampak oleh manusia, saat matahari terbenam, bagian cakram/piringan atas matahari berada pada ketinggian 0 derajat sehingga titik pusat matahari adalah minus 0:15:55 derajat. Adapun untuk azimuth matahari praktis tidak mengalami faktor pembiasan atmosfer. Bagaimanakah posisi bulan (moon) saat matahari terbenam? Saat itu, ketinggian sejati bulan (moon) adalah positif 6:17:25 derajat. Selisih ketinggian sejati bulan dengan matahari adalah positif 7:07:20 derajat. Azimuth bulan saat itu adalah 264:05:37 derajat sehingga selisih azimuth bulan dengan matahari adalah 7:09:39 derajat. Posisi bulan terletak sekitar tujuh derajat di sebelah kiri matahari. Faktor pembiasan atmosfer untuk true altitude bulan tersebut adalah sebesar 0:08:05 derajat, sehingga titik pusat bulan nampak oleh mata manusia pada apparent altitude 6:17:25 + 0:08:05 = positif 6:25:30 derajat. Karena itu selisih ketinggian nampak bulan dan matahari adalah 6:25:30 - (- 0:15:55) = positif 6:41:25 derajat. Adapun untuk azimuth bulan praktis juga tidak mengalami faktor pembiasan atmosfer. Selanjutnya dapat dihitung sudut elongasi antara bulan (moon) dan matahari. Sudut elongasi adalah jarak sudut yang Jika yang digunakan adalah true altitude (ketinggian sejati), maka sudut elongasi antara keduanya adalah 10:05:26 derajat. Adapun jika yang digunakan adalah apparent altitude, maka sudut elongasi antara keduanya adalah 9:47:22 derajat. Posisi bulan (moon) dan matahari saat maghrib di Jakarta dilukiskan pada Gambar 1. Gambar 1. Posisi apparent altitude (bukan true altitude) dan azimuth bulan dan matahari saat maghrib di Jakarta. Ke bagian empat
Posted by Surono Karti at 12:52 PM 0 comments
Labels: Ibadah
Fase Bulan baru (New Moon, bukan New Month)
sambungan dari bagian satu
Fase Bulan baru (New Moon, bukan New Month) Pertama kali, akan ditentukan dahulu kapan jatuhnya konjungsi geosentrik (ijtima' atau new moon), yaitu ketika bujur ekliptika bulan (moon ecliptical longitude) = bujur ekliptika matahari dengan pusat bumi sebagai titik O.
New moon merupakan satu dari empat fase-fase bulan (moon phases), seperti telah penulis jelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang FASE-FASE BULAN. Silakan gunakan file Excel untuk menentukan kapan terjadinya fase-fase bulan dengan menggunakan algoritma Meeus yang dapat diunduh di http://www.4shared.com/file/124301305/39f0c820/fase-bulan.html
Dengan mengisi bulan Hijriyah 10 dan tahun Hijriyah 1430, diperoleh bulan baru (new moon) terjadi pada tanggal 18 September 2009 pukul 18:44:19 UT (atau GMT) atau sama dengan tanggal 19 September 2009 pukul 01:44:19 WIB (karena WIB = UT + 7). Waktu ini hanya berbeda 1 detik dengan hasil perhitungan menurut algoritma VSOP dan ELP yang memberikan hasil pukul 18:44:18 UT.
Sementara itu, dengan menggunakan file Excel untuk menentukan posisi bulan dan matahari menggunakan algoritma Meeus, peristiwa konjungsi geosentrik terjadi pada pada tanggal 19 September 2009 pukul 01:44:12 WIB atau 18 September 2009 pukul 18:44:12 UT. Pada saat itu, bujur ekliptika bulan nampak (apparent moon ecliptical longitude) = bujur ekliptika matahari nampak = 175:59:02 derajat (175 derajat 59 menit busur 2 detik busur). Disini, waktunya hanya berselisih 6 detik dengan hasil perhitungan algoritma VSOP dan ELP.
Adanya perbedaan kecil ini disebabkan suku-suku koreksi algoritma Meeus tidak sebanyak dan selengkap algoritma VSOP dan ELP. Insya Allah pada kesempatan mendatang, penulis akan menjelaskan metode menentukan posisi bulan dan matahari menggunakan algoritma Meeus. File Excel untuk menentukan posisi bulan dan matahari menggunakan algoritma Meeus dapat diunduh di http://www.4shared.com/file/132303792/742cb339/Posisi-Bulan-Matahari-Algoritma-Meeus.html
Sebagai kesimpulan, jika dibulatkan ke menit terdekat, fase bulan baru (new moon, bukan new month) geosentrik untuk datangnya bulan Syawwal (month of Syawwal) terjadi pada tanggal 18 September 2009 pukul 18:44 UT atau 19 September 2009 pukul 01:44 WIB (Waktu Indonesia Barat). Fase bulan baru (new moon) sebelumnya untuk datangnya bulan Ramadhan terjadi pada tanggal 20 Agustus 2009 pukul 17:01 WIB. Hal ini berarti, rentang waktu dari fase bulan baru ke bulan baru berikutnya pada lunasi bulan Ramadhan adalah selama 29 hari 8 jam 43 menit.
Ini lebih cepat sekitar 4 jam dari lama rata-rata satu bulan sinodik (synodic period of the moon) sebesar 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Karena rentang waktu tersebut (29 hari 8 jam 43 menit) lebih dekat ke 29 hari daripada ke 30 hari, setidak-tidaknya hal ini memberikan kemungkinan bahwa di beberapa tempat di penjuru dunia, Ramadhan 1430 H hanya sebanyak 29 hari. Tetapi untuk lebih detil dan jelasnya, harus dihitung berbagai posisi bulan dan matahari yang dijelaskan di bawah ini.
ke bagian ke tiga
Posted by Surono Karti at 12:50 PM 0 comments
Labels: Ibadah
Hisab 1 Syawwal 1430 H (Idul Fitri di Seluruh Dunia)
Sebelumnya saya mohon maaf karena akan mengutip sbua artikel yang sangat panjang. Artikel ini saya ambil dari http://eramuslim.com/syariah/ilmu-hisab/hisab-1-syawwal-1430-h.htm Bulan Ramadhan yang mulia hampir berakhir. Di akhir-akhir bulan Ramadhan ini, sudah semestinya kaum muslimin berupaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah SWT, seperti puasa, shalat wajib dan tarawih, tilawah Quran, i'tikaf, zakat, infaq, shadaqah dan sebagainya. Di 10 hari terakhir Ramadhan terdapat satu malam yang disebut Lailatul Qadar yang lebih baik daripada 1000 bulan. Berakhirnya bulan Ramadhan bersamaan dengan datangnya bulan Syawwal. Dalam kesempatan ini, penulis akan menjelaskan tentang hisab yang berkaitan dengan 1 Syawwal 1430 H. Tulisan ini semoga menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, serta pedoman bagi siapa yang ingin melakukan rukyatul hilal (pengamatan hilal) sebagai tanda datangnya bulan baru (new month). Istilah-istilah bulan Terlebih dahulu, penulis ingin memberikan sedikit gambaran perbedaan sederhana tentang kata "bulan". Dalam bahasa Indonesia, "bulan" sering dipakai untuk tiga kata yang berbeda, dimana padanannya dalam bahasa Inggris adalah "moon", "month" dan "crescent". Kadang-kadang orang sering tertukar ketika menggunakan istilah "bulan baru". Karena itu dalam tulisan ini penulis terkadang menggunakan pula padanan bahasa Inggrisnya. Bulan (moon, lunar atau al-qamar) berarti benda langit yang menjadi satelit bumi dan tidak memiliki cahaya sendiri. Cahaya bulan (moon light) berasal dari pantulan sinar matahari yang jatuh ke permukaan bulan (moon surface) dan dilihat oleh manusia di bumi. Istilah new moon berarti saat ketika bulan (moon) dan matahari berada pada bujur ekliptika yang sama. Bulan (month atau asy-syahru) juga bermakna satuan waktu yang digunakan dalam kalender, baik kalender Masehi (Gregorian), Islam (Hijriyah) maupun kalender lainnya. Contoh bulan Islam (Islamic month) adalah bulan Ramadhan dan Syawwal. Penentuan datangnya bulan Islam (Islamic month) adalah berdasarkan posisi bulan (moon position). Bulan atau tepatnya bulan sabit (crescent moon atau al-hilal) adalah bagian kecil permukaan bulan (moon surface) yang tampak setelah satu atau dua hari terjadinya fase bulan baru (new moon). Istilah new moon berbeda dengan new month. Setelah ketiga istilah dijelaskan, semoga orang dapat dengan mudah membedakan ketiga jenis "bulan", seperti misalnya pada tulisan berikut. Ilmu hisab berguna untuk menentukan posisi bulan (moon), mengetahui kapan terjadinya fase bulan baru (new moon) serta untuk memprediksi kapan terlihatnya bulan (crescent atau hilal) sebagai syarat datangnya bulan baru (new month). Bersambung ke bagian 2
Posted by Surono Karti at 12:44 PM 0 comments
Labels: Ibadah
Muhammadiyah Pastikan Idul Fitri 1430 H pada Minggu 20 September 2009
JAKARTA - SURYA— Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan, Idul Fitri 1 Syawal 1430 Hijriah jatuh pada 20 September 2009. Muhammadiyah mengacu pada hasil hisab (perhitungan) kalender. Sementara itu, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia baru akan melangsungkan sidang isbat penetapan Idul Fitri pada 19 September. Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fatah Wibisono mengatakan, hasil hisab itu sudah dicantumkan dalam maklumat PP Muhammadiyah Nomor 06/MLM/I.0/E/2009 tentang Penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah tertanggal 23 Juli 2009. Penetapan berdasarkan sidang hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Yogyakarta pada 11 Juni 2009. ”Majelis memedomani hisab hakiki wujudul hilal dan hasilnya 1 Syawal 1430 Hijriah jatuh pada 20 September 2009,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Departemen Agama Bahrul Hayat mengatakan, pemerintah belum menentukan Idul Fitri secara resmi. Rencananya, Depag baru akan menggelar sidang isbat pada 19 September. Hargai Pemerintah menghargai keputusan Muhammadiyah yang telah menetapkan tanggal Idul Fitri. Hal itu adalah hak setiap organisasi massa dalam menentukan hari raya keagamaan yang disesuaikan dengan keyakinan dan cara perhitungan masing-masing. ”Itu adalah keputusan internal Muhammadiyah sebagai sebuah ormas. Berdasarkan hisab atau perhitungan mereka, Idul Fitri jatuh pada hari Minggu,” ujarnya. Meski demikian, Bahrul berharap masyarakat mengikuti hasil sidang isbat. Dalam sidang itu, semua ormas Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, akan diundang dan dilibatkan dalam Dewan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Bahrul menegaskan pentingnya kebersamaan dan persatuan umat. ”Penetapan hari Idul Fitri oleh Depag sebagai wakil pemerintah juga bukan untuk kepentingan salah satu ormas tertentu,” katanya. Ia berharap masyarakat dan semua komponen ormas Islam bersabar menunggu sidang isbat dan merayakan Idul Fitri tahun ini dengan mengikuti keputusan pemerintah. Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan mengakui, ada dua metode penetapan awal bulan, yakni hisab dan rukyat hilal. Hasil kedua metode itu bisa saja berbeda. Hisab hakiki merupakan penghitungan awal bulan dalam tahun Hijriah, yang antara lain menggabungkan ilmu falak dan matematika. Sementara rukyat hilal mengutamakan pengamatan langsung hilal atau bulan sabit pada hari pertama sebagai dasar penetapan awal bulan. SUmber: http://www.surya.co.id/2009/09/14/muhammadiyah-pastikan-idul-fitri-minggu-20-september.html
Posted by Surono Karti at 10:14 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Utama mana yang bacaannya baik atau yang baik perilakunya sebagai Imam Shalat?
Secara umum, orang yang harus dipilih jadi imam shalat adalah orang yang paling faqih (paham) dalam urusan agama, terutama dalam hal ini paling mengerti seluk-beluk aturan dan tata cara shalat. Selain itu, para ulama juga menyebutkan bahwa orang yang paling layak menjadi imam shalat adalah mereka yang paling baik bacaannya serta paling banyak hafalan Al-Qur'an. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa yang seharusnya menjadi imam adalah orang yang paling baik dari segi agamanya, seorang yang ahli dalam ilmu-ilmu tentang agama Allah, serta orang yang paling takut kepada-Nya. (Lihat kitab Faidhul Qadir jilid 6 halaman 88). Para ulama telah berhasil membuat peringkat yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat. Misalnya dalam mazhab Al-Hanafiyah disebutkan peringkat itu yaitu: a. Di antara syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjamaah adalah orang yang paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits beliau: Dari Abi Masu’d Al-Anshari bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Qur'an Al-Karim). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Qur'an, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah …" (HR Jamaah kecuali Bukhari) b. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan aqra’uhum dalam yang paling paham, yakni yang paling paham dalam masalah agama, terutama dalam masalah shalat. c. Lalu peringkat berikutnya adalah orang yang paling wara` yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam masalah yang syubhat. Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian kepada tuhan kalian. (HR At-Thabrani dan Al-Hakim). d. Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih tua umumnya lebih khusyu` dalam shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut: Hendaklah yang lebih tua di antara kalian berdua yang menjadi imam. (HR imam yang enam). e. Apabila derajat mereka semua sama, maka boleh dilakukan undian. Intinya kita dapat ambil bahwa syarat yang paling utama dari imam itu adalah yang paling baik bacaannya dan paling paham dalam hukum-hukum shalat. Simak Juga: 1. Apa yang dilakukan Makmum ketika imam membaca Al Fatihah? 2. Hukum nyanyian dan suara wanita
Posted by Surono Karti at 9:15 AM 0 comments
Labels: Sholat
Syarat yang Harus Terpenuhi untuk Menjadi Imam Shalat
Syarat untuk menjadi seorang imam shalat yang layak telah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah sebagai berikut:
- Muslim.
- Akil. Orang gila dan tidak waras tidak syah bila menjadi imam.
- Baligh. Jumhur ulama termasuk di antaranya Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa anak kecil yang belum baligh tidaksyah bila menjadi imam shalat fardhu di depan jamaah yang sudah baligh. Hal itu berdasarkan hadits Nabi SAW. "Janganlah kalian jadikan anak kecil sebagai imam shalat." Namun bila shalat itu hanyalah shalat sunnah seperti tarawih, bolehlah anak kecil yang baru mumayyiz tapi belum baligh untuk menjadi imam shalat tersebut. Kecuali pendapat terpilih dari kalangan Al-Hanafiyah yang bersikeras tentang tidak syahnya anak kecil yang belum baligh untuk menjadi imam dalam shalat apapun.
- Laki-laki. Seorang wanita tidak syah bila menjadi imam shalat buat laki-laki menurut jumhurul ulama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Dan tempatkan mereka di belakang sebagaimana Allah SWT menempatkan mereka." Dan juga berdasarkan hadits dari Jabir yang hukumnya marfu', "Janganlah seorang wanita menjadi imam buat laki-laki."
- Mampu membaca Al-Quran dengan fasih. Syarat ini berlaku manakala ada di antara makmum yang fasih membaca Al-Quran. Maka seharusnya yang menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaannya. Sebab imam itu harus menanggung bacaan dari para makmum, sehingga bila bacaan imam rusak atau cacat, maka cacatlah seluruhnya.
- Selamat dari Uzur. Seperti luka yang darahnya masih mengalir, atau penyakit mudah keluar kencing (salasil baul), mudah buang angin (kentut). Sebab orang yang menderita hal-hal seperti di atas pada hakikatnya tidak memenuhi syarat suci dari hadats kecuali karena ada sifat kedaruratan saja. Ini adalah pendapat dari kalangan Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah serta sebagian dari riwayat As-syafi'iyah. Adapun mazhab Al-Malikiyah dan sebagian riwayat dari As-syafi'iyah tidak menjadikan masalah ini sebagai syarat bagi seorang imam shalat.
- Mampu melaksanakan rukun-rukun shalat dengan sempurna. Seseorang yang tidak mampu shalat dengan berdiri, dia boleh shalat sambil duduk, namun tidak syah bila menjadi imam untuk makmum yang shalat sambil berdiri karena mampu. Ini adalah pendapat jumhur ulama kecuali As-syafi'iyah.
- Selamat dari kehilangan satu syarat dari syarat-syarat shalat. Misalnya kesucian dari hadats dan khabats. Maka tidak syah shalat seorang makmum yang melihat bahwa imamnya batal atau terkena najis saat menjadi imam. Apa yang kami sebutkan di atas adalah syarat minimal yang harus ada untuk seorang imam shalat jamaah. Namun masih ada kajian tentang siapa saja yang paling berhak untuk menjadi imam. Insya Allah SWT pada kesempatan mendatang akan kami bahas juga. (sumber: Lihat Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah)
Baca Juga:
Posted by Surono Karti at 9:13 AM 0 comments
Labels: Sholat
Siapa Yang Menentukan Nama-nama Surah, Juz, dan Rukuk di Al-Quran
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah urutan surat itu berdarkan wahyu atau bukan, silahkan simak rincian berikut ini: 1. Berdasarkan Ketetapan Rasulullah SAW Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi SAW sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Al-Qur'an pada masa Nabi SAW telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya. Seperti yang ada di tangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma') atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun. Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah aufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas'ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra'il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya', "Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Mekkah dan yang pertama-tama aku pelajari." Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini. Telah diriwayatkan melalui Ibn wahhab, dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata, "Aku mendengar Rabbi'ah ditanya orang, ' Mengapa surah Al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluh sekian surah makki, sedang keduanya di turunkan di Madinah?'. Dia menjawab, 'Kedua surah itu memang didahulukan dan Al-Qur'an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.' Kemudian katanya, 'Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan." Ibn Hisyar mengatakan, '"Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tampatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, "Letakkanlah ayat ini ditempat ini." Hal tersebut telah diperkuat oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma' para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini didalam mushaf." 2. Berdasarkan Ijma' Shahabat Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Dasar dari pendapat itu adalah kenyataan bahwa para shahabat punya koleksi mushaf yang awalnya berbeda-beda urutan. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra', kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surah makki dan madani. Dalam mushaf Ibn Masu'd yang pertama ditulis adalah surah Al-Baqarah, Nisa' dan Ali-'Imran. Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Niasa' dan Ali-Imran. Diriwayatkan Ibn Abbas berkata, "Aku bertanya kepada Usman, "Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk kategori masani dan Al-Bar'ah yang termasuk Mi'in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan di antara keduanya Bismillahirrahmanirrahim, dan kamu pun meletakkannnya pada as-Sab'ut Tiwal (tujuh surah panjang)? Usman menjawab, 'Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan, ' Letakkanlah ayat ini pada surah yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu." Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di madinah. Sedang surah Bara'ah termasuk yang terakhir diturunkan. Surah Anfal serupa dengan surah yang turun dalam surah Bara'ah, sehingga aku mengira bahwa surah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara'ah adalah sebagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmanirrahim serta aku meletakkannya pula pada as-Sab'ut Tiwal." 3. Pendapat yang Memadukan bahwa Sebagian Ayat Ditetapkan dan Sebagian lagi Ijtihad Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-'abut Tiwal, al hawamin dan al mufassal pada masa hidup Rasulullah. Diriwayatkan, "Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, baqarah dan ali Imran". Diriwayatkan pula, bahwa jika hendak pergi ketempat tidur, Rasululah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca Qul huwallahu ahad dan mu'awwizatain." Ibn Hajar mengatakan, "Tertib sebagain surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat Tauqifi." Untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadis Huzaifah as-Saqafi yang didalamnya antara lain termuat: Rasulullah berkata kepada kami, "Telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Qur'an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.' Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, "Bagaimana kalian membuat pembagian Qur'an? Mereka menjawab, "Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan, sebelas, tiga belas surah dan bagian al Mufassal dari Qaf sampai kami khatam." Kata Ibn Hajaar, " Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah." Dan katanya, "Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain." Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai terib mushaf mereka yang khusus, merupakan ihtiyar mereka sebelum Qur'an dikumpulkan secara terib. Ketika pada masa Usman Qur'an dikumpulkan , ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu huruf (logat) dan umatpun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing. Mengenai hadis tentang surah al-Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al Farsi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du'afa'. Di samping itu dalam hadis inipun tedapat kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terdapat hadis tersebut dalam musnad Imam Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir, menyebutkan, "Hadis itu tak ada asal mulanya" paling jauh hadis itu hanya menunjukan ketidaktertiban kedua surah tersebut. Sementara itu, pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertin ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu pula yang bersifat demikian hanya sedikit sekali. Dengan demikian bahwa tertib surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar Ibnul Anbari menyebutkan, "Alah telah menurunkan Qur'an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayatpun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi di mana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah, seperti halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat Al-Qur'an, seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirinya, ia telah merusak tatanan Al-Qur'an." Al-Kirmani dalam al-Burhan mengatakan, "Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada lauh mahfuz, Qur'an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan dihadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah, "Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah." (Al-Baqarah: 28). Lalu jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini diantara ayat riba dan ayat tentang utang piutang. As-Suyuti cenderung pada pendapat Baihaqi yang mengatakan, "Al-Qur'an pada masa Nabi surah dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali anfal dan bara'ah, karena hadis Usman." Permasalahan juz-juznya memang ditetapkan kemudian, termasuk masalah ada huruf 'ainnya (rukuk). Semua itu ditulis setelah Islam mulai melebarkan sayap ke negeri-negeri yang tidak mengeri bahasa Arab, sehingga dibutuhkan teknik penulisan arab (Al-Qur'an) yang lebih dari apa yang ada sebelumnya. Silakan Baca: 1. Tidur Yang dibenci 2. Mengapa Surat At taubah tanpa Bismillah
Posted by Surono Karti at 9:04 AM 0 comments
Labels: Ibadah
Friday, September 11, 2009
Shalat Sunnah Setelah Shalat Jum'at
Setelah shalat Jum’at disunnahkan untuk shalat sunah sebanyak dua raka’at atau empat rakaat. Dalilnya adalah sebagai berikut: Dari Abu Hurairah, bahwa nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kamu hendak shalat setelah jum’at, maka shalatlah empat raka’at.” (Riwayat Muslimi, Abu Daud dan Tirmidzi). Dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat dua Raka’at, sehabis jum’at di rumahnya.” (Riwayat Jama’ah). Ibnu Qayyim berkata, bila selesai jum’at, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masuk ke rumahnya dan shalat dua raka’at, serta memerintahkan kepada siapa yang ingin mengerjakannya supaya shalat sesudah Jum’at itu empat raka’at. Ibnu Taimiyah berkata, “Jika dikerjakan di masjid, hendaklah empat raka’at, dan kalau di rumah dua raka’at." Abu Daud menyebutkan dari Ibnu Umar bahwa dia shalat di masjid empat raka’at dan kalau di rumah dua rak’at. Kemudian jika seseorang mengerjakannya empat raka’at, maka suatu pendapat mengatakan harus bersambung, sedang pendapat yang lain mengatakan hendaklah salam setiap dua raka’at. Dan yang lebih utama sunnat Jum’at itu dilakukan di rumah. Jika kita tidak bisa melakukan shalat Jum’at karena ada udzur, maka kita diwajibkan untuk melakukan shalat dhuhur empat raka’at sebagai pengganti shalat Jum’at dan tidak bisa digantikan dengan melakukan shalat Jum’at sendirian. Karena shalat jum’at wajib dilakukan secara berjama’ah. Wallahu A’lam bishawwab. BAca pula: 1. Membaca surat Yaasin di malam Jum'at 2. Keistimewaan hari Jum'at 3. Terlambat sholat Jum'at, harus sholat Dhuhur? 4. Tunangan - khitbah dalam Islam
Posted by Surono Karti at 1:41 PM 0 comments
Labels: Sholat
Takbiratul Ihram Shalat Id dan Dasar Takbiran di Malam 1 Syawwal
Dalam pelaksanaan sholat Ied disunahkan untuk melaksanakan takbir 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua. Hal tersebut didasarkan kepada dalil di bawah ini: Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ia berkata: Nabi SAW bersabda, "Takbir ketika sholat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua." (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih Sunan Abu Daud No. 1020 dan Shahih Sunan Ibnu Majah 1056) Dari Aisyah Ra, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan takbir di sholat Iedul Fithri dan Iedul Adhaa tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat yang kedua." (HR Abu Daud, lihat Shahih Sunan Abu Daud No. 1018)
Menurut Imam Malik dan Al-Auza'i tidak disunnahkan untuk membaca zikir apapun di antara takbir-takbir tersebut karena tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW yang menyatakannya. Namun Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi'i ra. menyunnahkan untuk membaca zikir di antara takbir itu dengan lafaz yang tidak ditentukan. Masalah Takbiran Dalam teknis masalah takbiran, kita menemukan beberapa variasi pendapat para ulama. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa bertakbir itu hanya pada saat mau pergi shalat 'Idul Fithri. Dan juga ada pendapat lainnya yang mengatakan bahwa bertakbir itu dilakukan di malam hari 'idul fithr.
Dalil tentang bertakbir pada malam hari Raya 'Idul fithri adalah ayat Al-quran Al-Kariem yang menyebutkan: …Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (bulan Ramadhan) dan hendaklah kamu bertakbir (membesarkan) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS Al-Baqarah: 185) Dalam tafsir Al-Jami' Li Ahkamil Qur'an karya Al-Qurthubi, disebutkan bahwa ayat ini telah menjadi dasar masyru'iyah (pensyariatan) takbiran di malam 'ied, terutama 'iedul fithr. Sebab ayat ini memerintahkan begitu hitungan bulan Ramadhan telah lengkap, maka bertakbirlah. Artinya, takbir tidak dimulai sejak pagi hari keesokan harinya, melainkan sejak terbenam matahari. Sebab pada saat itulah diketahui telah sempurnanya bulan Ramadhan.
Disebutkan dalam tafsir itu bahwa Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata bahwa telah diriwayatkan dari Said bin Al-Musayyib, 'Urwah dan Abi Salamah bahwa mereka bertakbir pada malam 'idul fithri dan bertahmid. Dan Ibnu Abbas berkata,"Telah ditetapkan bagi umat Islam bila melihat hilal Syawwal untuk bertakbir." Ada sebuah hadits tentang menghidupkan malam lebaran dengan tilawah, tasbih, istighfar dan tentunya takbir sebagai berikut: Orang yang menghidupkan malam 'idul fithri dan 'idul adh-ha dengan sungguh-sungguh tidak akan mati hatinya di hari hati manusia mati(HR At-Thabari dalam Al-Kabir dan Al-Haitsami dalam Majma' Zawaid). Keterangan lebih dalam tentang masalah ini bisa kita lihat pada kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah. Dalam kitab lainnya, misalnya kitab Al-I'lam bi Fawaidi 'Umdatil Ahkam karya Ibnul Mulaqqin jilid 4, disebutkan bahwa disunnahkan untuk menghidupkan malam 'Ied, meski haditsnya dhaif.
Demikian juga dalam kitab Al-Inshaf fi Ma'rifatir Rajih Minal Khilaf 'Ala Mazhabil Imam Ahmad bin Hanbal karya Al-Mardawi jilid 2 disebutkan,"Dan disunnahkan untuk menghidupkan kedua malam 'ied (fithr dan adh-ha)." Demikian juga dalam kitab Al-Mubdi' Fi Syarhil Muqni' karya Muhammad bin Muflih Al-Muarrikh Al-Hanbali jilid 2 disebutkan,"Dan disunnahkan untuk menghidupkan dengan takbir, tahmid dan lainnya pada kedua malam 'Ied (fithri dan adh-ha)." Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 185. …Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (bulan Ramadhan) dan hendaklah kamu bertakbir (membesarkan) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS Al-Baqarah: 185)
Dalam kitab tersebut disebutkan Imam Ahmad bin Hanbal berkata bahwa Ibnu Umar ra. bertakbir pada kedua malam 'ied. Dan beliau mengeraskan takbir hingga keluar menuju mushalla tempat shalat 'ied hingga selesai Imam dari khutbahnya. Demikian kajian fiqih tentang masyru'iyah takbir pada malam hari 'Iedul Fithri dan 'Idul Adh-ha. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, silahkan anda mengikuti yang menurut anda paling kuat dalilnya.
Silakan Simak:
Posted by Surono Karti at 1:38 PM 0 comments
Labels: Sholat
Menggerakkan Telunjuk Saat Tasyahud
Dalil-dalil dalam masalah ini adalah sebagai berikut
Dari Abdullah bin Zubair: Keadaan Rasulullah jika duduk dalam shalat meletakkan kaki kiri di antara paha dan betis, serta membentangkan kaki kanannya, meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan dan memberi isyarat dengan telunjuknya. (Riwayat Muslim).
Dari Abdullah bin Umar berkata, " Keadaan Nabi s.a.w. apabila duduk dalam shalat meletakkan telapak tangan kanan di atas paha kanan, mengepalkan seluruh jarinya dan memberi isyarat dengan telunjuk, jari di samping ibu jari, dan meletakkan telapak tangan kiri di atas paha kiri. (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar keadaan Nabi s.a.w. apabila duduk di dalam shalat meletakkan dua tangannya di atas dua lututnya, mengangkat telunjuk kanan yang di samping ibu jari sambil berdoa, sedangkan tangan kiri di atas lutut kiri dan dibukakannya. Dalam An-Nasai, Abu Daud, beliau memberi isyarat dengan telunjuk dan tidak menggerakkannya. Tambahan lafazh "Tidak menggerakkannya" didhaifkan oleh Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma'ad dan didhaifkan oleh Albani dalam Tamamul Minnah. Dari Wail bin Hujr berkata, saya berkata, "Sungguh saya melihat shalat Rasulullah s.a.w. bagaimana beliau shalat, saya melihat kepadanya, beliau berdiri, lalu takbir mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan dua telinganya, kemudian meletakkan tangan kanan di atas telapak tangan kiri, pergelangan dan lengan. Ketika hendak ruku' beliau mengangkat dua tangannya dan bertakbir sambil mengangkat dua tangannya hingga sejajar dengan dua telinganya, kemudian meletakkan dua tangannya di atas lututnya. Kemudian ketika mengangkat kepala, beliau mengangkat dua tangannya seperti tadi, kemudian sujud, menjadikan dua telapak tangannya sejajar dengan dua telinganya kemudian duduk dengan membentangkan kaki kiri dan meletakkan telapak tangan kiri di atas pahanya dan lututnya yang kiri dan menjadikan batas sikut kanan di atas paha kanan kemudian mengepalkan dua jarinya dan membuat lingkaran kemudian mengangkat telunjuknya dan saya melihatnya menggerakkannya sambil berdoa." (HR. Nasai, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan oleh Albani dalam Irwa` Al-Ghalil).
Posted by Surono Karti at 1:32 PM 0 comments
Labels: Sholat
Wednesday, September 9, 2009
tata cara dan bacaan Jenazah/Shalat Ghaib
Bila jenazah berada di tempat yang jauh dan tidak terjangkau maka disyariatkan untuk melakukan shalat ghaib. Bentuk shalatnya sama dengan shalat jenazah biasa, bedanya tanpa kehadiran jenazah. Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang pensyariatan menshalati jenazah yang ghaib/tidak berada di negeri kita.
a. Pendapat Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah
Tidak boleh shalat ghaib. Sedangkan shalat ghaib yang dikerjakan oleh Nabi SAW dahulu atas jenazah Raja An-Najasyi adalah pengecualian atau pengkhususan (untuk beliau saja). Saat itu shalatnya makruh.
b. Pendapat Asy-Syafi'i dan Al-Hanabilah
Dibolehkan shalat atas mayat yang tidak berada di tempat tinggal kita (ghaib), meski jaraknya dekat dan tidak berada di arah kiblat. Maka yang melakukan shalat ghaib ini tetap wajib menghadap kiblat. Dasarnya adalah hadits berikut ini:
Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat jenazah untuk Raja An-Najasyi dengan melakukan takbir 4 kali. (HR Muttafaqun Alaihi).
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits yang sama dari Abi Hurairah r.a., demikian juga dari An-Nasa'i serta At-Tirmizy.
Namun kebolehan melakukan shalat jenazah ini menurut Al-Hanabilah hanya bisa dilakukan selama sebulan saja sejak kematian seseorang. Rentang waktu ini sama dengan rentang waktu yang dibolehkan untuk melakukan shalat jenazah di dalam kuburnya. Sebab secara umum, dalam setelah rentang waktu sebulan, jenazah di dalam kubur sudah tidak bisa dipastikan lagi keutuhannya. (Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili).
2. Rukun Shalat Jenazah Dalam Pandangan Fuqaha
Ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang jumlah rukun shalat jenazah.
a. Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun shalat jenazah hanya dua saja. Pertama, mengucapkan takbir empat kali,. lalu yang kedua adalah berdiri. Maka dalam mazhab ini, niat shalat jenazah, membaca Al-Fatihah, membaca shalawat maupun membaca doa untuk jenazah yang sedang dishalatkan tidak termasuk rukun shalat, melainkan hanya sunnah saja.
b. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa rukun shalat jenazah ada lima.
[1] Niat, [2] Mengucapkan 4 takbir, [3] Mendoakan mayit di sela-sela takbir, [4] Salam dan [5] Berdiri (bila mampu). Maka dalam mazhab ini, membaca Al-Fatihah dan shalawat kepada Nabi SAW tidak termasuk rukun shalat.
c. Adapun Al-Hanabilah dan As-Syafi'iyah mengatakan bahwa rukun shalat jenazah ada 7 buah. [1] Niat, [2] Mengucapkan 4 takbir, [3] Membaca Surat Al-Fatihah setelah takbir yang pertama, [4] Bershalawat kepada Rasulullah SAW setelah takbir kedua (Al-Hanabilah mengatakan bahwa shalawatnya adalah shalawat Ibrahimiyah, yaitu shalalat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya), [5] Mendoakan mayit setelah takbir ketiga dengan lfaz (Allahummaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fuanhu), [6] Salam dan [7] Berdiri (bila mampu).
3. Tata Cara Shalat Jenazah
a. Takbir pertama, lalu membaca surat Al-Fatihah dengan sirr (tidak dikeraskan)
b. Takbir kedua. lalu membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. (... Allahumma Shalli ala Muhammad wa ala aali Muhammad, kamaa shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala aali Ibrahim. Wa barik ala Muhammad wa 'ala aali Muhammad, kama barakta 'ala aali Ibrahim wa alaa aali Ibrahim...).
c. Takbir ketiga, lalu membaca doa untuk mayyit. Dianjurkan membaca (Allahumaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fuanhu) atau Allahumaghfir lihayina wa mayyitina. Innaka hamiidun majid.).
d. Takbir keempat. Setelah takbir keempat, dalam mazhab As-Syafi'i masing-masing membaca doa berikut : ...(Allahuma Laa Tahrimna Ajrahu, Wa Laa Taftinna ba'dahu Waghfirlana wa lahu...). Disunnahkan untuk memperpanjang doa setelah takbir yang keempat ini.
e. Setelah itu salam dan selesailah shalat jenazah berjamaah itu.
4. Sunnah-sunnah shalat jenazah
a. Disunnahkan untuk melakukan shalat jenazah secara berjamaah dan membuat shaf menjadi minimal tiga baris.
Berdasarkan hadits: "Orang yang dishalatkan dengan tiga shaf diampuni dosanya," dalam lain riwayat disebutkan, "sudah diwajibkan untuk diampuni dosanya" (HR Khallal dengan sanadnya dan At-Tirmizy mengatakan bahwa hadits ini hasan, juga riwayat Abu Daud dan Tirmizy). Disunnahkan untuk meluruskan shaf itu sebagaimana perbuatan Nabi. Namun boleh juga melakukan shalat jenazah sendiri-sendiri, sebab dahulu ketika Rasulullah SAW wafat, dishalatkan secara sendiri-sendiri oleh para shahabat.
b. Mengangkat kedua tangan setiap takbir, kecuali Al-Malikiyah yang mengatakan bahwa yang disunnahkan hanya pada takbir pertama.
c. Meletakkan tangan pada di bawah dada di sela-sela takbir menurut As-Syafi'i. Atau di bawah pusar menurut Al-Hanabilah.
d. Tidak disunnahkan membaca doa iftitah, kecuali membaca ta'awwuz (auzu billahi minasysyaithanirrajim) sebelum membaca surat Al-Fatihah dan juga disunnahkan mengucapkan "Aamien" setelahnya.
e. Menurut As-Syafi'iyah, disunnah mengucapkan hamdalah sebelum bershalawat kepada nabi SAW dan mendoakan orang-orang muslim setelah shalawat.
f. Al-Hanabilah menyunnahkan untuk tidak bubar hingga jenazah diangkat.
Silakan baca:
1. Cara memandikan Jenazah
2. Hukum Transfusi Darah di bulan Puasa
3. Mengucap wajah setelah Berdoa
4. Mendapat Hadiah, apa perlu Zakat?
Posted by Surono Karti at 9:36 AM 0 comments
Labels: Sholat
Blog Archive
-
▼
2009
(355)
-
▼
September
(46)
- Bacaan surat pada rekaat ketiga dan keempat dalam ...
- Nishfu Sya'ban
- Tentang Sighat Ta'liq dalam Pernikahan
- Hukum Rokok, Haram atau Makruh?
- Kewajiban/mendoakan terhadap Orang Tua Non Muslim
- Puji-pujian Menjelang Shalat Berjamaah
- Apakah Emas Putih Juga Haram Dipakai?
- Sejarah Azan dan Pensyariatannya
- Bersetubuh dengan Istri yang Sudah Ditalak dan Car...
- Di Tengah Shalat, Menyadari Aurat Terbuka
- Indonesia Kapan, Lebarannya?
- 1 Syawwal 1430 H di berbagai negara
- Posisi matahari dan Rukyat
- 29 Ramadhan 1430 H
- Fase Bulan baru (New Moon, bukan New Month)
- Hisab 1 Syawwal 1430 H (Idul Fitri di Seluruh Dunia)
- Muhammadiyah Pastikan Idul Fitri 1430 H pada Mingg...
- Utama mana yang bacaannya baik atau yang baik peri...
- Syarat yang Harus Terpenuhi untuk Menjadi Imam Shalat
- Siapa Yang Menentukan Nama-nama Surah, Juz, dan Ru...
- Shalat Sunnah Setelah Shalat Jum'at
- Takbiratul Ihram Shalat Id dan Dasar Takbiran di M...
- Menggerakkan Telunjuk Saat Tasyahud
- tata cara dan bacaan Jenazah/Shalat Ghaib
- Cara Sholat Gerhana
- Mengusap Wajah Setelah berdoa
- Menjama' Shalat dan Wudhu dengan Wajah Full Make-u...
- Menjawab Salam dan memberi isyarat Saat Shalat
- Membaca Hamdalah Saat Shalat karena Bersin dan Huk...
- Mengapa Imam Sholat Duduk Menghadap Makmum Selesai...
- Khutbah Jumat Khatib memegang/ pakai Tongkat, Adak...
- Tidur yang Dibenci, tidak mendapat rahmat, dan rej...
- Kitab "Sifat Shalat Nabi" karya Muhammad Nashirudd...
- Lebih Utama Sholat Tahiyatul Masjid atau Dengarkan...
- Kurangi Bau Mulut Saat Puasa dengan Buah dan Sayur
- Apa Bacaan Makmum Saat Imam Membaca Al Fatihah?
- Air musta'mal (sisa), bolehkan untuk berwudlu?
- Terlambat Shalat Jumat, apakah harus sholat dhuhur?
- Tidak Shalat Karena Terlupa atau Tertidur, Harus B...
- Bacaan di Sela-Sela Tarawih
- Batal Puasa Karena Salah Duga Mengira Sudah Maghri...
- Bermakmum pada Imam 23 Rakaat Lalu Pulang Setelah ...
- Meminum Air Kencing untuk Pengobatan, Bolehkah? (k...
- Larangan Menggambarkan Nabi Muhammad (Sejarah Peny...
- Makan Sahur Bersamaan dengan Adzan Shubuh
- Seputar Imsakiyah
-
▼
September
(46)